Aku bersama Dilla, yuniorku di Saka Wanabakti baru saja turun dari bus. Jarak jalan raya, tempat bus berhenti ke tempat tinggal kami lumayan jauh. Angkutan umum pun tidak tersedia, sehingga kami harus menunggu tumpangan baik itu motor, mobil, bahkan truk yang akan memasuki desa kami.
Jalanan tidak seramai biasanya, Minggu sore ini. Membuat kami masih berdiri di bahu jalan sambil bersendau-gurau. Tak berselang lama datanglah sekawanan pemuda yang sedang konvoi mengendarai sepeda motor mereka. Sekawanan pemuda itu mengenakan pakaian dan kaca mata serba hitam. Kendaraan mereka terlihat mengkilat dan keren, motor-motor keluaran terbaru. Meskipun wajah-wajah mereka tertutup helm, aku yakin setiap gadis yang melihat pasti akan terpukau, persis adegan di drama FTV.
Kupikir mereka hanya lewat saja, namun dugaanku meleset ketika mereka semua berhenti di tempat kami menunggu tumpangan. Sejujurnya, detak jantung mulai tak beraturan. Dua orang perempuan sedang berdiri di antara sekelompok pemuda. Tidak ada firasat buruk yang mengatakan mereka mungkin berbuat jahat, namun aku tersipu saat beberapa pasang mata menatapku ketika helm mereka sudah dibuka. Kutundukkan wajah karena merasa tak nyaman, sedangkan temanku tampak santai saja. Aku berharap ada kendaraan yang segera lewat, sehingga kami bisa cepat-cepat meninggalkan tapal batas desa dan jalan raya ini.
Pucuk dicinta, seorang Kakak kelas di sekolah memperlambat laju motornya dan menoleh kepada kami, kemudian berhenti saat dirinya mengenali aku dan Dilla.
"Habis Pramuka, ya? Ayo aku antar pulang, Dek!"
Dilla bergegas membonceng duluan, saat aku baru saja naik di jok motor dan duduk di samping Dilla, samar-samar kudengar salah satu dari sekelompok pemuda yang berhenti itu menyebut nama Mas Arhan."Gus, Arhan! Kita sudah sampai di gapura Desa Telaga yang kita cari! gimana, nih?"
"Iya, benar! Kita ikuti saja lorong masuk desa ini!" Seseorang yang berdiri membelakangiku terlihat seperti ketua rombongan yang memberi keputusan pada anggotanya."Mbak Harmoni sudah dikasih tahu, Gus?" Dadaku sedikit berdebar, kali ini nama yang mirip denganku disebut. Tapi, Mas Arhan yang kukenal bukanlah seorang putera Kiyai, melainkan santri 'ndalem' jadi tidak mungkin dipanggil Gus. Sementara Harmoni banyak di dunia ini, tentu saja bukan diriku seorang.
Sesampainya di rumah, adzan Magrib berkumandang. Kulepas sepatu, tanpa berganti seragam terlebih dahulu bergegas mengambil air wudu di sumur yang terletak tepat di halaman rumah. Sumur tradisional peninggalan Kakek, lengkap dengan roda yang dipasang di antara pilar penyangga pada sisi kanan dan kiri sumur. Tali tambang dililitkan pada roda tersebut, sehingga saat tambang ditarik maka roda akan berputar dan timba yang terpasang di ujung tali tambang akan terisi air.
Saat menuang air ke dalam 'padasan', sebuah kendi besar berbahan tembikar, sekawanan pemuda yang kulihat di ujung desa tadi melewati halaman rumahku. Mungkin mereka akan mengunjungi teman atau kerabat di desa Telaga ini. Kutuntaskan wudu dan kembali masuk ke dalam rumah. Ketika mukena sudah membalut tubuh, aku bersiap menunaikan salat.
"Gus Arhan, sepertinya ini rumahnya! di halamannya ada sumur kan?""Iya, benar! tapi tak baik bertamu magrib-magrib, kita cari masjid saja!"
Sebelum kuangkat tangan untuk mengucap takbir, terdengar jelas sekali percakapan mereka yang masih berada di sekitar rumahku. Namun, lagi-lagi hati kecilku mengatakan bahwa Mas Arhan tidak mungkin melanggar kesepakatan dan tiba-tiba datang tanpa meminta ijinku terlebih dahulu. Kutunaikan kewajibanku dengan khusyuk tanpa memikirkan Mas Arhan lagi.
****
"Kak, Moni! aku mau ngomong sebentar!" Dilla, gadis hitam manis itu menghentikan langkahku saat ingin menaiki tangga menuju kelasku. Dilla terbiasa memanggil dengan sebutan Kakak karena selain menjadi adik kelas dia juga yuniorku di kegiatan ekstrakurikuler Pramuka di sekolah. Aku menjadi Pradana Puteri, yang bertugas menjadi pengajar Pramuka bagi adik-adik kelas."Kak, ingat genk motor yang sedang konvoi tadi sore?"
"Iya, kenapa, Dek?"
"Mereka semua berhenti di depan ponpes dekat rumahku, ceritanya nanya alamat, tuh! salah satu dari mereka menyadari bahwa aku gadis berseragam Pramuka yang berada di ujung desa. Lalu mereka semua membuka helmnya, beuh! ganteng-ganteng banget ....""Hmm ... terus?" tanyaku mulai tak sabar.
"Mereka itu nanyain alamat Kak Moni, loh!"
"Masa, sih?" aku setengah tak percaya.
"Iya, Kirani Bumi Harmoni! nama lengkap Kakak, kan?" Spontan saja, kututup mulutku sendiri.
"Eh, tapi kok aneh, ya? kemarin itu Kak Moni berada di antara mereka tapi, kok bisa mereka enggak ngenalin?"
"Ceritanya panjang, Dek! lain waktu kujelaskan detailnya, ya!" Aku meninggalkan Dilla dengan perasaan teraduk-aduk, bisa-bisanya Mas Arhan melanggar kesepakatan secara terang-terangan begitu.
****
"Harmoni ... masih di sekolah, ya?"
"Mas Arhan, Jahat! jahat banget, banget, banget!" Aku menjerit di telinganya, sedangkan dia malah tertawa.
"Hmm ... ya! aku sudah mengetahui tempat tinggalmu. Maaf, enggak ngasih tahu dulu, sekalian perjalanan menuju puncak gunung Muria."Setelah dari desaku, Mas Arhan dan rombongannya bermalam di area makam Sunan Muria. Kata Mas Arhan, itu ritual tahunan untuk meminta doa sebelum mengikuti ujian nasional. Sebentar lagi Mas Arhan lulus dari SMK IB, sedangkan aku naik kelas XII di SMA swasta di desaku sendiri.
****
Aku pulang berjalan kaki, jarak sekolah menuju tempat tinggalku harus melewati beberapa sungai, salah satu sungai tepat berada di sebelah rumahku. Saat hampir sampai di halaman rumah, kulihat belasan motor terparkir rapi. Tiba-tiba badanku gemetar hebat, aku berjalan mengendap-endap, melewati pintu belakang rumah. Urung masuk melalui pintu depan, karena kudengar suara-suara pemuda sedang bersendau-gurau di dalam rumahku."Nduk! sudah pulang, ya?" Suara ibuku membuatku hampir terjengkang.
"Buk, ada tamu siapa? rame bener?"
"Loh, bukannya mereka itu temanmu dari SMK IB? cepat temui sana!" Kakiku terasa lemas, menurut penuturan Ibu, mereka sudah datang sejak jam sembilan pagi. Itu artinya saat Mas Arhan menelponku tadi siang, dirinya sedang duduk-duduk di rumahku. Terus terang, aku sangat gugup sekali, ini pertemuan pertamaku dengan Mas Arhan selama setahun lebih persahabatan kami. Apa yang harus kulakukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
HARMONI SAGA
RomanceCinta Tak Biasa *Novel ini sudah tahap lay out, doakan semuanya lancar, yak! 🤗