Dilamar

23 5 0
                                    

[Assalamualaikum, udah subuh loh, Mas! Ayo bangun!]
[Harmoni ... di sini belum subuh!]
[Lah! Desa Karang dan Desa Telaga kan satu kabupaten, Mas?]
[Harmoni ... aku sudah di Bandung!]
[Hish! Jangan bercanda, Mas!]
[Demi Allah!]
Kesekian kalinya, rasa kecewa kembali menelusup dada. Mengapa Mas Arhan pergi tanpa pamit padaku.

[Oh! Jaga diri baik-baik, Mas!]
[Harmoni ... kamu marah?]
Kuabaikan pesan terakhirnya, memilih untuk tidak berkata apa-apa alih-alih melontarkan kalimat menyakitkan yang akan kusesali kemudian hari. Meski sebenarnya teramat kecewa.
****
"Dua hari yang lalu, Gus Arhan menungguiku di Difi Warnet. Duduknya gelisah sekali, Mbak. Ingin mengajak ke rumahmu ...." Pemuda hitam manis itu sedang duduk di ruang tamuku sekarang.

"Karena banyak komputer yang harus diservis, aku meminta Gus Arhan menunggu. Tapi, sepertinya Gus tidak sabar sehingga pergi gitu, aja!" Mas Panca menarik napasnya sangat dalam, kemudian menghembuskannya dengan kasar.

"Saat jama'ah salat Magrib, Gus Arhan tidak ada di shaf depan. Aku pikir Gus nekat ke rumah Mbak Harmoni sendirian. Saat kutanyakan ke beberapa santri ternyata Gus Arhan sudah dibawa pergi bodyguardnya Kiyai Bisyir, tanpa sempat berganti baju ...."
Sesulit itu kah hidupnya kaum elit, dadaku terasa sesak.

"Gus Arhan ingin kuliah di Semarang, tapi Pak Kiyai menghendaki di ITB. Lagian, Gus Arhan menghubungimu sedari pagi, Mbak. Tapi enggak aktif!"
Tak terasa meleleh air mataku, dua hari yang lalu HPku memang eror, bahkan SMS dari Mita saja terkirim hanya sebagian, juga tidak bisa kugunakan untuk membalas pesan. Mungkin memang benar Mas Arhan mencoba menghubungiku tapi tidak bisa, padahal gawai kondisi aktif.
****
Semenjak kuliah komunikasi dengan Mas Arhan masih lancar, meskipun tidak setiap hari. Tentunya tugas baru sebagai Mahasiswa sangat banyak. Aku juga mulai sibuk dengan jam sekolah tambahan, serta aneka les untuk persiapan ujian nasional.

Setiap belajar dengan teman-temannya, Mas Arhan selalu mengabari terlebih dahulu, bahkan tak sungkan mengenalkan mereka padaku. Baik laki-laki maupun perempuan sesekali mereka ikut nimbrung saat Mas Arhan mengobrol denganku via telepon. Tak pernah ada masalah yang berarti, kami saling percaya dan memahami diri masing-masing.

Hampir setahun sejak Mas Arhan di ITB kami tidak pernah bertemu. Seperti kembali ke masa-masa awal dulu, saling berkirim pesan, aktif teleponan, sudah cukup mengobati rasa rindu. Hingga suatu hari telepon Mas Arhan membuatku hancur.

"Harmoni ... berhentilah menungguku!"
"Maaf, Mas ... apa aku berbuat salah?" Aku benar-benar tak mengerti maksudnya, selama ini kami baik-baik saja.

"Bukan begitu, Harmoni ... a--kku ... hmm ... kuliahku masih lama! Tak mungkin juga kamu mau menungguku sampai lulus S2, kan?"

"Kalau aku mau, Mas?"
"Harmoni ... aku belum mandiri, berapa banyak lagi hati laki-laki yang akan kamu patahkan dengan mengharapkan diriku yang tak jelas ini ...."
Perkataan Mas Arhan ada benarnya, sudah berkali-kali aku menolak lelaki yang datang melamarku dengan alasan klise 'karena aku masih sekolah'. Sedangkan sebentar lagi aku lulus SMA, entah alasan apa lagi yang bisa kujadikan senjata.

"Aku tidak memintamu menikahiku usai lulus SMA ini, Mas ...."
"Iya, aku tahu ... tapi kamu perempuan Harmoni! Ibarat bunga kamu akan layu bila menunggu terlalu lama!"

'Mas Arhan paham betul kenyataannya, bukankah cinta butuh diperjuangkan, Mas?' hatiku hanya bisa berbisik lirih.

"Mas ... aku tidak sedang terburu-buru untuk menikah!"
"Harmoni, please ....!"
"Aku bisa menunggu, Mas ....''
"Dasar kepala batu! Kita bisa tetap berhubungan baik sebagai sahabat ...."
"Sahabat, Mas? Setelah dua tahun kebersamaan kita ...?" Aku tersenyum kecut, menahan nyeri di dada. Selama ini kututup mataku dari kesempurnaan laki-laki manapun, kubunuh hasratku memiliki perasaan selain untuk dirinya seorang.

"Harmoni ... aku menyayangimu!"

'Omong kosong! Kalau benar-benar sayang, alih-alih berjuang kenapa justeru melepaskan?'

"Tidak perlu muter jauh-jauh, Mas! Langsung aja!"
"Harmoni ... kk--ita akh--iri hubungan ini!"
Petir menyambar ulu hati, bisa-bisanya Mas Arhan sejahat ini. Dia yang memintaku menunggu, meskipun tanpa kepastian.

"Baiklah, Mas ...!"
"Harmoni ... mm--aaf ...."
"Baik, Mas ...!"
"Kita bersahabat!"
"Baik, Mas ...!
Rasanya aku kehilangan tenaga, juga tak ada niat untuk menghiba pada seorang yang jelas-jelas tidak menginginkanku lagi. Bukan karena harga diri, bila kenyataannya sedari awal aku tak berharga.

"Seperti keinginan Mas Arhan ... demi Allah! Entah itu saudaramu, sahabatmu, tetanggamu, siapa saja orang yang dekat denganmu aku akan menikah dengannya meskipun aku tidak cinta!"
Kalimat itu terlontar begitu saja dari bibirku sebelum kututup panggilannya.

Seperti berton-ton batu baru saja dihujamkan padaku, Menerima keputusan dari Mas Arhan yang menyakitkan. Sejak saat itu Mas Arhan menghilang dari hidupku. Nomornya mungkin sudah berganti, bahkan jejaknya tak bisa kutemukan lagi.
****
November 2007

Hari ini reuni SMP akan dilaksanakan, aku bergegas mandi dan menjemur handuk di halaman rumah setelahnya. Saat baru saja ingin masuk ke dalam rumah, kulihat seorang pemuda tengah berjalan ke arahku. Senyumnya tersungging manis sekali, ciri-ciri seseorang yang akan menanyakan alamat.

"Mbak ...."
"Oh, iya! Cari rumah siapa, Mas?"
"Rumah Mbak Kirani Bumi Harmoni!" Katanya dengan mantab.

Kupersilakan pemuda itu untuk masuk, namun rupanya dia bersama rombongan keluarga yang sejak tadi menunggu di jalan dekat rumahku. Hawa-hawa tak enak mulai tercium, mungkin hari ini aku tak bisa beralasan.

Aku melesat ke dalam kamar bersama salah satu teman SMPku, Monsa.  Sementara pemuda dan rombongan itu sudah mengobrol dengan kedua orangtuaku saat Monsa datang.

"Jadi, kedatangan kami ke sini untuk melamar puteri Bapak ...."
Aku dengan Monsa saling pandang, sama-sama tidak mengerti kondisi yang terjadi hari ini. Sama sekali di luar rencana, sebab Monsa kemari untuk menjemputku ke acara reuni.

"Gila! Kamu, Moni! Tunangan kok enggak bilang-bilang!" Monsa memekik tertahan, sedangkan tubuhku tiba-tiba saja menggigil. Kemudian seperti ada tali-temali yang membelit perutku, nyeri sekali. Dengan otomatis tubuhku lunglai di atas kasur.

"Nduk, kok bisa mau ada tamu, kamu enggak ngasih tahu Ibu dan Bapak?" Kujawab pertanyaan Ibu dengan gelengan kuat. Nyeri di perutku kini bercampur dengan rasa mulas.

"Duh! Akting ini anak!" Monsa mencolek pinggangku. Namun diapun tersadar aku tak main-main saat melihat keringat dingin mengucur di dahiku.

"Oh! Dulu Ibu juga begini saat Ayahmu datang melamar ...." Ibu malah terkekeh melihatku, kemudian pergi ke dapur dan kembali dari sana membawa segelas teh hangat.
****
"Serius! Kamu enggak kenal pemuda itu, Moni?" Mata Monsa menyipit pada lubang bilik kamarku.
"Wow! Ganteng banget, Moni!" Kuikuti tingkah konyol Monsa, mengintip pemuda yang masih bercakap-cakap dengan Ayahku.
"Aku enggak kenal!" Rasa nyeri yang tadi kurasakan berangsur menghilang berganti dengan rasa penasaran.

'Siapa pemuda itu?'


HARMONI SAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang