Hampir setiap Jumat Mas Arhan datang ke rumahku bersama teman-teman pondoknya. Selama ini orang tuaku tidak pernah repot memberikan suguhan, karena Mas Arhan selalu membawa oleh-oleh dan bekal sendiri. Sehingga Adikku menjadi lebih dekat dengannya karena dimanja dengan aneka jajanan yang dia berikan.
Bahkan, Mas Arhan sama sekali tak sungkan memberi makan kambing-kambingku di kandang, juga membantu Ayahku mengeringkan kulit-kulit singkong untuk pakan ternak. Ringan tangannya membuat Ayah dan Ibuku menyukainya.
Aku mulai merasakan hal yang berbeda setiap kali melihatnya. Bukan lagi menganggapnya seorang kakak, namun gejolak batinku mulai memandang Mas Arhan sebagai seorang pria di mata wanita. Seringkali membuat salah tingkah saat tatapan kami beradu, ditambah senyum manis yang tak pernah surut dari bibirnya membuatku terpesona.
"Harmoni ... Mulai besok jangan pernah memakai gaun merah, ya!" Tiba-tiba saja saat aku membereskan sisa-sisa makanan di meja, Mas Arhan mengagetkanku.
"Hah! kenapa memangnya, Mas?" Dengan serta Merta kuperhatikan gaun yang kukenakan. Sebuah gamis potong pinggang dengan bagian bawah yang lebar. Bahkan kukenakan jilbab menutupi dada. Menurutku tidak ada kesan seksi atau memperlihatkan lekuk tubuh.
"Tidak ada yang salah dengan bajumu! Hanya saja ... kamu semakin terlihat cantik!" Nada bicara Mas Arhan mulai agak ketus. Dia mengambil alih piring-piring yang ada di tanganku, lalu bergegas ke dapur.
"Jangan mendekat! aku bisa mencuci piring-piring ini sendiri!" Mas Arhan terlihat kesal. Dari pintu dapur kuperhatikan Dia menggulung kemejanya sampai sesiku. Mulutnya komat-kamit entah menggumamkan apa.
"Barusan teman-teman memuji kecantikan Mbak Harmoni, makanya Mas Arhan kesal begitu!" Mas Panca muncul di belakangku membawa gelas-gelas kosong. Sedangkan teman-temannya yang lain berada di teras rumah.
"Ayo, Mas Arhan kita pulang! Bisa-bisa piring Mbak Harmoni pada pecah!" Mas Panca menggoda sahabatnya. Sedangkan yang digoda semakin manyun.
****
Pada Jumat berikutnya Mas Arhan datang lagi. Dia mengajak teman-temannya yang berbeda dari teman yang diajaknya Jumat kemarin. Seolah teman satu pondok pesantrennya ingin dikenalkannya padaku. Aku harus mengingat nama mereka satu persatu."Nih, Buat kamu!" Mas Arhan menyerahkan tiga pack permen lollipop bergambar sapi.
"Banyak banget, Mas?"
"Maaf ... kemarin sudah marah-marah enggak jelas!"
"Oh! Jadi nyogok, nih?" Padahal di dalam hati aku sangat senang Mas Arhan masih mengingat jajanan favorit yang kutulis di dalam surat setahun lalu."Besok jadi berangkat?"
"Iya donk, Mas ... tuh koper sudah siap!" Sedari pagi aku sibuk packing segala kebutuhan yang akan kugunakan untuk kemah di Purbalingga. Lagi-lagi, terpilih menjadi perwakilan sekolah yang tidak akan mungkin kutolak, karena ini kemah terakhir sebelum sibuk di kelas XII nanti.Mas Arhan membuang napas dengan kasar berkali-kali, mengubah posisi duduk seolah kursi reyot di ruang tamuku yang menopang berat tubuhnya terasa tidak nyaman. Rahangnya yang kokoh terlihat mengeras.
"Benarkah kamu harus pergi?"
"Ya Allah, Mas! Ini kemah seperti yang kujalani biasanya, hanya ke luar kota belum ke luar negeri, loh!"
"Nanti kamu tidur dengan siapa?" Pertanyaan Mas Arhan terdengar lucu di telingaku."Teman-teman, lah! Masa sama monyet!"
"Hish! Mm--aksudku ehmm...."
"Ya! Ya! Ya! Aku paham maksud Mas Arhan. Jadi gini ya, Mas ... Aku tidak pernah tidur satu tenda dengan anak laki-laki. Meskipun di luar sana kemah dijadikan ajang untuk pergaulan bebas bagi beberapa orang. Namun, kontingen Pati sendiri sangat disiplin dengan aturan dan memegang teguh norma agama ...." Wajah Mas Arhan mulai sedikit berbinar mendengar penuturanku."Tenda laki-laki dan perempuan terpisah jauh, Mas. Meski begitu aku tetap mengenakan sleeping bag meski tidur di dalam tenda. Enggak asal ngegeletak aja! Jilbab juga enggak pernah lepas dari kepala. Sejauh ini, aman kok!" Mas Arhan manggut-manggut.
"Hmm ... Misalnya aku ikut kemah, untuk me--"
"Enggak boleh! Mas Arhan bukan peserta!" Lekas kupotong pertanyaan yang tidak masuk di akal itu. Mana mungkin Mas Arhan ikut demi memastikan aku benar-benar aman. Apa tanggapan Kakak senior dan panitia nanti, toh aku bukan Puteri pejabat maupun Presiden yang harus dijaga seorang bodyguard."Hmm ... baiklah! Tapi janji, ya! Di sana nanti HP harus selalu aktif 24 jam!"
"Siap, bos!"
****
Aku sudah berada di kantor Kwarcab Pati bersama calon peserta kemah dari berbagai sekolah. Meskipun perjalanan ke Purbalingga dilakukan dini hari nanti, tapi para peserta wajib datang pagi untuk mengikuti pengarahan dari para Kakak senior.Namun, aku dikagetkan dengan kedatangan Mas Arhan yang menyusulku ke Kwarcab. Tak hanya itu, dia membawa mie instan, buah-buahan, serta aneka camilan satu karung penuh.
"Hanya pergi tiga hari, Mas! Bukannya sebulan!" Aku merasa Mas Arhan berlebihan membuat teman-temanku heran, mungkin mereka berpikir aku memiliki seorang Kakak laki-laki yang super perhatian pada adik perempuannya.
****
Dia berada di kantor Kwarcab sampai aku berangkat. Namun, tampaknya Mas Arhan akrab mengobrol dengan para anggota Koramil yang kantornya bersebelahan dengan kantor Kwarcab. Bahkan beberapa dari mereka menjabat tangan Mas Arhan dengan tubuh membungkuk, padahal mereka lebih dewasa secara umur, hal itu sedikit mengganggu pikiranku."Harmoni ... baca ini di perjalanan, ya!" Wajah Mas Arhan terlihat memerah saat memberikan sebuah kertas yang diselipkan di saku seragam Pramuka yang kukenakan.
"Oh! Doa naik kendaraan ya, Mas? Ok! Pasti kubaca." Kusunggingkan senyum termanis untuknya sebelum aku masuk ke dalam bus yang sudah siap berangkat membawa rombongan kami. Meskipun sebenarnya aku sudah hapal doanya.
"Eh ... Ehm i--iya! Hati-hati di jalan dan kabari begitu sampai di lokasi!" Mas Arhan terlihat kikuk dan beberapa kali menggaruk kepalanya.
Mas Arhan melambaikan tangannya sampai Bus menjauh. Bunga-bunga di hatiku bermekaran, mencipta sulur-sulur yang menjalar dari dada sampai ke perutku.
KAMU SEDANG MEMBACA
HARMONI SAGA
RomanceCinta Tak Biasa *Novel ini sudah tahap lay out, doakan semuanya lancar, yak! 🤗