"Kalian itu sudah menjadi suami-istri, mbok yang mesra! Jangan manggil Nduk Harmoni dengan sebutan 'Mbak' lagi. Enggak enak didengar telinga, Le ...." Ibu menasehati Mas Saga yang cengar-cengir dengan menaik-turunkan sebelah alisnya seolah meminta pendapatku.
"Iya, Buk! Mas Lutfan emang bandel. Udah Yuli bilangin dari kemarin padahal." Mbak Yuli yang baru saja keluar membawa sepiring pisang goreng ikut menimpali.
"Iya udah ... sini, Dek! Duduk di sebelah Mas biar semuanya puas." Mas Saga menarik tanganku untuk berpindah duduk di sampingnya. Kemudian tangan kanannya mengambil sepotong pisang goreng lalu diarahkan ke mulutku. Kuterima suapan dari Mas Saga malu-malu. Gelenyar aneh terasa di perutku saat mata kami saling bersitatap. Cepat-cepat kualihkan pandanganku.
****
Kubaca kertas yang teronggok di meja rias. Sebuah undangan halal bihalal sekaligus reuni alumni SMK IB, angkatannya Mas Saga. Acaranya akan dilaksanakan lusa nanti, tapi Mas Saga belum membahas ini denganku. Mungkinkah dia tak berniat hadir seperti tahun-tahun lalu mengingat gelaran acara ini berada di pondok."Abaikan saja, Dek! Kita tak perlu datang, kan?" Mas Saga baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di pinggang, tangan kirinya sibuk menyugar rambutnya yang basah.
"Kenapa, Mas?"
"Enggak kenapa-napa, hanya belum siap saja." Firasatku mengatakan Mas Saga masih memikirkan predikat pagar makan tanaman yang terlanjur melekat padanya. Dulu, teman-temannya berpikir hubunganku dengan Mas Arhan berakhir karena Mas Saga. Saatnya meluruskan pandangan yang keliru itu, toh Mas Arhan juga sudah menikah.
"Kita akan datang, Mas! Lagian Mas Saga tidak pernah merebutku dari siapapun." Kulihat senyum Mas Saga merekah. Bibirnya merah muda, alami tanpa nikotin yang meracuninya.
"Adek, yakin?"
"Tentu saja!"
'Yes! Aku tak sabar bertemu Mas Arhan dengan istrinya, Purba Sera.'
"Baiklah! Ikut aku sekarang!" Mas Saga menarik tanganku penuh semangat.
"Mas! Mas! Mau kemana?"
"Mau hadir reuni, kan? Kita cari baju couple dulu!"
"Iya, tapi ... Mas yakin berangkat dengan setengah bugil begitu?" Kututup mata dan mengarahkan telunjuk kiriku kepadanya.
"Ya Allah!" Mas Saga memekik keras, lalu setengah berlari menuju kamar sambil memegangi handuknya.
****
Kupakai gaun pilihan Mas Saga, gaun merah marun berbahan sutra dengan kerlip bebatuan yang cantik di bagian pinggangnya, juga hijab pashmina warna senada. Tak lupa, kusapukan makeup tipis, serta lipstik sesegar buah persik.Saat berjalan keluar kamar, gaunku seolah menari-nari seirama langkahku. Membuatku percaya diri, meskipun ada rasa gugup yang tidak bisa kusembunyikan sepenuhnya. Sementara Mas Saga mematung, matanya tak berkedip memandangku.
"K-kkenapa, Mas? Dandananku mirip ondel-ondel kah?" Kutepuk-tepuk wajahku, ini kali pertamanya aku bermakeup mengikuti tutorial yang kupelajari dari YouTube.
"Eng--nggak, kok! Kamu sangat cantik, Dek!"
'Mas juga ganteng banget' lidahku kelu ingin mengatakan itu, padahal Mas Saga terlihat sempurna mengenakan kemeja sewarna dengan gaunku, ditambah lengan panjangnya yang digulung sesiku membuat aura gantengnya semakin bersinar. Wajahnya terlihat bersih dan segar dihiasi senyum yang selalu terbit dari bibirnya.
****
Memasuki halaman pondok, rasa sesak itu kembali hadir. Seolah kepingan memori berputar bagai layar besar yang menampilkan kebersamaanku dengan Mas Arhan. Betapa dulu kami sangat bahagia.Kulihat bunga alamanda bermekaran di dekat jendela yang berada di blok paling ujung, masih begitu terawat. Mungkin terompet kuningnya hanyalah hiasan yang menyejukkan mata bagi yang memandang, bukan lagi serupa sinar rembulan bagi seseorang.
'Mungkinkah itu kamar Mas Arhan?'
Sedangkan kendaraan sudah penuh terparkir rapi di halaman, sepertinya kami datang terlambat.
"Maaf, Dek!" Mas Saga meminta ijin menggandeng erat tanganku, seolah memproklamirkan pada semua orang yang hendak ditemuinya bahwa kami pasangan paling romantis. Kuharap hati Mas Arhan berdarah-darah melihat keharmonisan kami.
Mendekati pintu aula, kami mengucap salam yang dibalas serempak oleh seluruh yang hadir di ruangan itu. Teman-teman Mas Saga tampak memandang kami penuh kekaguman. Satu persatu teman lelaki menghampiri Mas Saga dan memeluknya, sedangkan salah satu teman perempuannya yang bernama Sarah mengenalkan dirinya padaku dan beramah tamah.
Kulihat sebagian dari lelaki berbisik-bisik, saling sikut, lalu kompak menghampiriku.
"Oh, jadi ini Mbak Harmoni? Pantas jadi rebutan!" Seorang lelaki berlesung pipi nyeletuk sambil menangkupkan tangan di depan dada. Kubalas dia dengan seulas senyum. Mungkin dulu dia belum pernah diajak Mas Arhan ke rumahku.
"Mbak Harmoni! Masih ingat aku?" Lelaki jangkung dengan rambut dibelah tengah itu tersenyum jenaka.
"Hmm ... Mas Hilman bukan, ya?"
"Wah! Kirain sudah lupa, Mbak! Sudah bertahun-tahun enggak ketemu padahal." Memang hampir sebagian yang berada di ruangan ini aku mengenalinya meski terkadang lupa nama, kecuali yang fisiknya berubah gempal benar-benar membuatku samar.
"Akhirnya pasangan paling serasi sejagat raya datang juga!" Mas Panca membelah gerombolan yang mengerubungi kami.
"Hei! Hei! Biarkan pengantin barunya duduk dulu, donk!" Sambung Mas Panca lagi.
Kami duduk lesehan di aula, ruang yang dibuat paling luas sendiri di antara ruang yang lain. Mas Saga duduk di sebelah Mas Panca, sedangkan aku di samping Mbak Sarah yang supel dan baik hati.
"Mbak, tadi Gus Arhan di sini ...." Mbak Sarah berbisik di telingaku, rupanya dia juga tahu hubunganku di masa lalu dengan Gusnya. Spontan mataku menyisir ke semua yang hadir, berharap Mas Arhan berada di aula ini.
"Tadi, Mbak. Sebelum kalian berdua masuk ...." Mbak Sarah memahami keresahan di mataku.
"Oh! Mungkin Mas Arhan ada urusan lain, Mbak." Kilahku seolah baik-baik saja, padahal ingin sekali mengetahui keberadaannya.
Aku pamit pada Mas Saga untuk ke toilet tanpa perlu diantarnya. Setelah keluar dari aula kupindai seluruh ruang yang terlewati, berharap bertemu Mas Arhan maupun Purba Sera. Alih-alih bertemu mereka, justeru aku yang menjadi pusat perhatian orang-orang yang berada di area pondok.
Langkahku terus menyusuri Selasar bangunan yang mengarah pada kediaman Kiyai Bisyir. Kulihat sekelebat bayangan Mas Arhan, memakai Koko biru dan kopyah putih berjalan lurus di area taman, kuikuti dirinya sampai punggungnya menghilang di balik pintu rumah Kiyai Bisyir yang menutup kemudian.
Aku mematung di halaman rumah itu, air mata menggenang siap ditumpahkan. Kesedihan menderaku, rasanya sakit seperti saat ditinggalkan Mas Arhan dulu. Sementara tidak ada keberanian untuk mengetuk pintu.
"Ada Bidadari tersesat di sini rupanya ...." Aku tersentak, mengenali suara itu. Bahkan dirinya sedikitpun tak berubah setelah beberapa tahun tak bersua.
![](https://img.wattpad.com/cover/309346696-288-k999076.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
HARMONI SAGA
RomanceCinta Tak Biasa *Novel ini sudah tahap lay out, doakan semuanya lancar, yak! 🤗