Pagi ini bangku di sebelahku masih kosong. Mita yang biasanya lebih dulu datang, entah mengapa hari ini belum masuk kelas. Aku sedikit gusar, mengingat kemarin dia mengeluh agak meriang.
Pak Zain, guru olahraga yang menjadi idola siswi di sekolahku siap memulai pelajaran. Mita datang dengan tergopoh-gopoh memasuki ruang kelas dengan senyum sumringah seolah tanpa merasa bersalah karena datang terlambat. Untungnya, selain berwajah ganteng, Pak Zain sangat baik hati dan penyabar hingga mentolerir kesalahan Mita.
Teman sebangkuku itu masih saja cengar-cengir, padahal materi yang disampaikan Pak Zain tidak ada yang lucu. Dia sibuk memainkan pulpen, tapi tak berniat menulis. Iseng, kujitak kepalanya.
"Kamu kesambet tuyul, Mit? dari tadi senyum-senyum sendiri enggak jelas!" Bukannya menjawab, dia malah cengengesan.
"Enggak panas, kok!" Kutempelkan telapak tanganku di dahinya. Dia menggeleng kuat-kuat lalu mendekatkan bibirnya pada telingaku.
"Moni, aku sudah menikah!" Mita berbisik pelan, takut Pak Zain maupun teman mendengar apa yang baru saja dia katakan.
"APA!" Aku memekik keras, Mita spontan membekap mulutku. Hingga beberapa pasang mata menatap ke arah kami berdua dengan pandangan tak suka.
"Sstt ...! Nanti kuceritakan saat jam istirahat!"
****
"Jadi semalam itu dia udah nikahin aku ...." Mita mengaduk-aduk bakso di mangkok cap ayam jago dengan sendoknya. Tapi sedari tadi tidak ada sebiji pun yang dimasukkan ke mulutnya."Usai salat magrib, ritual nikahnya dimulai. Dia bilang kalau dahiku merasakan sensasi dingin itu artinya aku sudah sah menjadi istrinya ...."
Aku tersedak kuah bakso mendengar penuturan Mita. Rasanya hidung dan tenggorokanku seperti terbakar, Mita dengan sigap mengangsurkan segelas es teh manis kepadaku. Sementara tangan kirinya mengusap-usap punggungku.
"Maksudmu kalian menikah tapi secara gaib gitu, Mit? dan kamu percaya gitu aja?" Setelah meneguk setengah gelas minuman yang diberikan Mita rasanya lumayan menetralisir tenggorokan. Namun, aku kembali syok atas penjelasan Mita.
"Enggak tahu juga sih apa yang dia baca, yang jelas selama ritual HP ku harus selalu aktif. Dia mengirimkan mantra dari rumahnya, dan aku juga berada di kamarku sendiri. Setelah itu aku tertidur dan bermimpi memadu kasih dengannya, badanku sampai pegal-pegal. Beneran! Dia bilang kami sudah sah dan terikat secara batin!"
"Astaghfirullah ... Mit! itu enggak bener!"
Entah doktrin apa yang sudah merasuki pemikiran Mita. Semenjak mengenal seorang pemuda melalui SMS nyasar kelakuan Mita menjadi aneh. Pemuda yang mengaku berasal dari kota kretek itu--yang menjuluki dirinya sebagai 'Alap-Alap Menara Kudus' itu berhasil membuat Mita jatuh hati setelah tiga bulan chattingan. Bahkan nama aslinya saja Mita tidak tahu, apa lagi wajahnya. Mereka sama sekali belum pernah bertemu.Pemuda itu kerap kali menelpon bahkan saat jam pelajaran berlangsung, membuat Mita akhirnya mojok mencari tempat yang nyaman untuk ngobrol alih-alih mengikuti pelajaran. Semenjak itu, pikiranku sudah tak enak. Kemungkinan pemuda itu tidak bersekolah, atau yang terburuk dia adalah pria dewasa yang mengincar gadis-gadis ingusan. Bulu kudukku meremang memikirkannya.
Tiba-tiba aku teringat Mas Arhan. Kami juga belum pernah melihat wajah masing-masing, tapi aku cukup yakin dia seorang pelajar saat mengirim foto grup mengenakan seragam sekolah IB. Pak Heru juga pasti akan melarang aku didekati pemuda yang putus sekolah, karena tentunya bisa mempengaruhi pergaulan dan semangat belajarku. Ada kelegaan yang menelusup di hati kecil, meskipun belum sepenuhnya. Kecuali kusaksikan sendiri kebenarannya. Tapi, kami sudah saling sepakat untuk berteman dan tidak ada pertemuan. Kecuali takdir mempertemukan kami secara tak sengaja.
****
"Iya, sayang ... pulang sekolah aku enggak ke mana-mana kok. Langsung pulang ke rumah!"
Aku mencuri dengar pembicaraan Mita dengan pacarnya di telepon. Bahkan mereka sudah berani saling memanggil 'sayang'."Mit, gimana bayanganmu mengenai si Alap-Alap kesayanganmu itu?" Aku tergelitik untuk mengetahui ekspektasi Mita terhadap pemuda yang membuatnya kasmaran.
"Menurutku nih, ya! dia itu ganteng, putih, dan salih banget pokoknya."
"Misalkan kalian bertemu tapi ternyata Alap-Alap itu tak seindah bayanganmu gimana, Mit? Bukannya ingin menggoyahkan keyakinan Mita, namun sebenarnya ini juga pertanyaan yang sama untuk diriku sendiri. Bedanya, pikiranku selalu berkata bahwa Mas Arhan itu berwajah biasa saja, jadi tidak akan membuat pengaruh apa-apa.
"Enggak! pokoknya dia ganteng, seratus persen, titik!" Mita sedikit merajuk. Namun, aku masih berharap dia kembali berpikir rasional.
****
"Mon, kamu yang berdiri di depan gerbang, ya! ingat, gerak-gerikmu jangan mencurigakan!" Sudah berkali-kali Mita mewanti-wanti agar aku duduk santai di depan kantor Saka Wanabakti, seolah sedang menunggu bus seperti biasanya. Kusanggupi permintaan Mita, karena tak tega melihat wajah melasnya.Hari Minggu ini, Mita dan si Alap-Alap Menara Kudus mengadakan pertemuan untuk pertama kalinya. Sengaja di area tempatku Pramuka agar aku juga bisa melihat langsung pemuda yang sudah lancang 'menikahi' sahabatku itu.
Hampir setengah jam aku duduk-duduk bersama dua orang teman di kepramukaan yang sedang menunggu jemputan pulang, tentunya mereka tidak tahu misiku yang sebenarnya bahwa aku sedang berkamuflase agar tak begitu mencolok. Beberapa menit kemudian, gawai Mita yang berada di tanganku bergetar, sengaja kubisukan nada deringnya. Nama 'Alap-Alap Cayank' tertera di layar.
[Yank ... aku sudah sampai di lokasi, kamu di mana?]
Aku mencuri pandang sedikit-sedikit ke arah pemuda yang baru saja turun dari motornya. Tampak masih mengenakan helm, jadi tak bisa kulihat wajahnya dengan jelas. Sementara Mita bersembunyi dibalik dinding parkiran, tak jauh dari pintu gerbang.[Bentar lagi sampai, Yank!] Kuketik balasan sekenanya, kuharap dia tidak mengetahui seseorang tengah menyamar menjadi Mita.
Saat pemuda itu membuka helmnya, rambut gondrongnya tergerai bebas. Tampak kumis dan jambangnya tumbuh tak beraturan di wajah hitamnya. Bukan, bukan seorang pemuda yang kulihat, tapi lelaki dewasa yang cocoknya sudah memiliki anak dan istri. Aku terlonjak kaget saat lelaki itu menatapku. Kupalingkan wajah dan menimpali obrolan teman-temanku yang semenjak tadi jemputan mereka belum juga tiba. Jantungku berdegup tak karuan, tambah panik saat gawai Mita bergetar berkali-kali. Lelaki itu terus memanggil, sedangkan aku tak cukup nyali untuk mengangkatnya.
"Kau! Mita, kan?"
Entah bagaimana lelaki itu tiba-tiba sudah berada di sampingku. menyadari gestur tubuhku yang tampak gelisah. Dari jarak dekat, wajah garangnya terlihat tak bersahabat.
"Maaf, Anda cari siapa, Pak?" Aku berpura-pura menoleh ke kiri dan kanan, Kulakukan untuk meredam rasa takut.
"Kamu Mita, Istriku, kan?" Lelaki itu semakin mendekat dan ingin memegang bahuku. Aku menghindar dan bersembunyi di balik punggung dua orang temanku yang ikut menyaksikan keganjilan ini.
"Anda salah orang! ini Moni, bukan Mita!" Temanku serempak menghalau lelaki itu yang terus berusaha meraihku, sedangkan aku menggigil ketakutan.
"Moni! ayo kita pulang!" Mita tiba-tiba muncul bersamaan dengan bus yang tengah menurunkan penumpang tak jauh dari pintu gerbang. Tentu saja ini di luar sekenario. Tadinya, Mita akan menemui pujaan hatinya itu jika sesuai bayangannya. Dengan langkah cepat Mita menarik tanganku. Kami memasuki bus yang segera melaju. Sementara lelaki itu meraung-raung memanggil nama Mita.
Sepanjang perjalanan, baik aku dan Mita sama-sama memilih diam. Meski aku sendiri kaget dengan peristiwa tadi, kuperhatikan Mita lebih pucat pasi. Dia memalingkan wajahnya pada kaca jendela, bahunya bergetar seiring bulir-bulir yang jatuh dari mata indahnya.
Sahabatku Paramita Rosyida, hatinya dipatahkan oleh 'Alap-Alap Menara Kudus'.
KAMU SEDANG MEMBACA
HARMONI SAGA
RomanceCinta Tak Biasa *Novel ini sudah tahap lay out, doakan semuanya lancar, yak! 🤗