Perundungan

44 3 0
                                    

Aku berjalan keluar dari kamarku yang letaknya di area belakang, dekat dengan dapur. Keringat dingin menjalari seluruh tubuhku. Jika pertemuan ini mungkin bisa diwakilkan, sejujurnya aku memilih bersembunyi seperti yang dilakukan Mita kemarin.

Seperti adegan slow motion di film-film, biasanya si perempuan akan mengebiskan rambutnya saat menjadi pusat perhatian, atau mengedipkan sebelah matanya, namun aku berjalan menunduk. Selain benar-benar malu bingung juga harus menatap siapa, sedangkan dari mereka belum satupun kuketahui namanya.

Para pemuda yang awalnya sibuk bercakap-cakap, menjadi hening sesaat. Sampai akhirnya aku duduk di salah satu kursi yang mudah dari jangkauan tanganku.

"Mm--mohon maaf ..., Mas-Mas ini siapa?" Dengan suara terbata kuberanikan diri membuka suara, sementara mereka saling melempar pandang.

"Loh! Gus--eh Mas Arhan, Mbak Harmoni enggak dikasih tahu? Baiklah kami semua dari SMK IB, Mbak ... salam kenal!" Seorang pemuda yang berwajah mirip vokalis band Lyla menangkupkan tangannya di depan dada.

"Oh, Hmm ... ya! terus ... yang mana Mas Arhan?" Mereka saling pandang lagi, kemudian bukannya menanggapi justeru  terbahak dengan pertanyaanku. Mungkin wajahku sudah seperti kepiting rebus sekarang.

"Lah! gimana ceritanya, sudah saling mengenal lebih dari setahun tapi belum melihat wajah?" Mungkin bagi mereka sangat lucu, namun karena wajahku menampakkan gurat keseriusan akhirnya salah satu mereka menyadari bahwa aku tak sedang bercanda.

"Wah! kalian keren! hmm ... jadi menurut Mbak Harmoni sendiri, di antara kami mana kira-kira Mas Arhan?" Salah satu pemuda yang bertopi menodongku dengan pertanyaan yang sudah terlebih dulu kutanyakan. Kugelengkan kepalaku dengan wajah tak enak.

"Sudah! sudah! jangan digoda lagi! kasihan Harmoni ...." Aku kenal intonasi suara lembut itu. Reflek kutolehkan kepalaku pada seorang pemuda yang duduk di kursi sebelah kananku.

Pemuda yang sedang menatapku itu berwajah rupawan. Berkulit buah Langsat dengan hidung lancip serta rahang yang kokoh. Memang benar, Fahmi Bisyir sangat tampan melebihi Mas Arhan. Tapi karisma Mas Arhan lebih kuat. Sesaat kualihkan pandanganku menyadari kesalahan karena terhipnotis dengan mata elangnya.

"Monggo ... dimakan, mumpung masih anget, loh!" Ibuku keluar membawa nampan yang penuh dengan mangkok-mangkok mie telur yang masih mengepul asapnya. Sedangkan aku pamit ke belakang agar para tamu itu leluasa menikmati masakan Ibuku.
****
[Gimana, aku menurutmu?] Mas Arhan mengirim SMS malam harinya setelah berkunjung dari rumahku.

[Hmm ... mohon maaf ya, Mas. Kupikir Mas Arhan itu kurus, kering, cungkring gitu!]

[Lidi donk, aku! lalu ...?]
[Di luar dugaan!]
[Apa?]
[Good, lah! pokoknya ...]
[Apa?]
[Udah, ah! Nanya mulu!]
[Kalau aku, apa yang selama ini Fahmi ceritakan tervalidasi semuanya. Kamu lebih cantik dari bayanganku ....] Aku tersipu membaca SMS nya, entah itu hanya basa-basi biasa yang jelas hatiku menghangat karenanya.
****
"Duh! Kisah kalian sweet banget ... ini bisa jadi judul sinetron!" Cindy menanggapi ceritaku soal pertemuanku dengan Mas Arhan kemarin.

"Novel, kali! bukan sinetron!" Kutarik hidung mungil Cindy dengan gemas.

"Terus, kalian jadian?" Mita menatapku penuh selidik.

"Hah! kami baru ketemu, dan kami bersahabat!"

Aku belum siap membuang waktu untuk pacaran, karena  berharap jodoh akan datang ketika aku telah siap baik secara fisik dan mental untuk menikah sesuai dengan buku-buku yang aku baca.Terkait perasaanku pada Mas Arhan, aku tak menampiknya. Kurasa masih di batas normal menyukai lawan jenis. Toh bagaimana ke depannya tidak ada yang tahu. Jujur, aku belum meminta tentang jodoh. Doaku masih berputar antara lulus sekolah dengan hasil terbaik kemudian mendapat akses untuk kuliah, sesederhana itu.
****
"Parah banget, ya ... Harmoni itu menggunakan wajahnya untuk menggaet cowok kaya!" Mulut Cellin yang terkenal pedas seantero sekolah sedang bergosip di kelasnya.

"Kok bisa ya, dia kenal sama cowok-cowok di SMK IB? semua cowok di sekolah ini belum cukup, apa?" Rona, gadis yang bermake-up tebal itu mencicit.

"Guru olahraga kita aja ditolak mentah-mentah padahal sudah bermobil. Eh, rupanya ngincar cowok-cowok elit. Amit-amit tuh, es Moni!"  Linda turut mengompori.

Sejujurnya, telingaku panas mendengar ocehan  para gadis yang menjuluki kelompok mereka dengan genk 'Candas', alias cantik dan cerdas. Sejak masa orientasi siswa sampai saat ini tak henti-hentinya mereka merundungku. Baik secara langsung, maupun di belakang seperti ini.

Bisa saja aku membalas, tapi jika  melakukannya lantas apa bedanya diriku dengan mereka? Orang tua mereka juga cukup berperan di yayasan. Mensubsidi biaya sekolah untuk murid-murid yang kurang mampu.

Saat pertama kali aku masuk di sekolah ini, entah bagaimana mulanya tiba-tiba saja teman-teman sudah masuk di dalam kotaknya masing-masing. Bukan hanya Candas, ada kelompok yang terdiri dari anak-anak kalangan menengah tapi tidak begitu pintar, namanya genk 'Asoy'. Genk 'Lola' anggotanya para siswi yang terbuang, yaitu siswi yang tidak cantik, kaya, maupun pintar. Sedangkan genk 'Kenyok' sendiri adalah gabungan dari para anggota 'Asoy' serta 'Lola'. Kenyok adalah bahasa Jawa yang berarti gila. Semua siswi yang ingin bergabung diterima, tanpa memandang latar belakang keluarga maupun fisik seseorang. Anggotanya tersebar hampir di seluruh kelas. Menurutku ini cara untuk meruntuhkan keangkuhan para anggota genk lain yang merasa superior sampai diri mereka merasa berhak menguasai hidup orang lain.

Sedangkan siswa laki-laki terlihat adem-adem saja. Mereka berbaur dengan siapapun tanpa terikat sebuah kelompok. Namun, entah mengapa aku selalu menjadi bahan bakar bagi amarah dan kebencian Genk 'Candas'. Padahal aku merasa bukan ancaman bagi mereka.



HARMONI SAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang