Kujelajahi HP baruku, di dalamnya penuh dengan lagu-lagu pilihan Mas Saga. Juga dilengkapi fitur kamera yang keren. Klik! Tak sengaja kupencet tombolnya, hingga wajah ganteng Mas Saga tertangkap sedang mengobrol dengan Mas Panca. Itu selembar foto pertama yang kuabadikan di ponselku, dan tak ada keinginan menghapusnya.
Malam kian larut, satu persatu saudara serta Mas Panca pamit pulang. Sementara Ayah dan Ibu sudah tertidur pulas. Badanku juga pegal-pegal seolah baru selesai lomba marathon. Tak kusangka gelaran pesta hajatan sangat menguras tenaga. Kuputuskan untuk pergi tidur namun di dalam kamarku sudah terlebih dulu ada Mas Saga yang tengah merebahkan diri di sana.
"Mbak! Ngapain mondar-mandir di depan kamar? Ayo, masuk!" Rupanya Mas Saga masih terjaga dan melihatku dari balik gorden pintu kamarku yang lumayan tipis.
"Hmm ... i--iya, Mm--mas!"
"Kalau Mbak Harmoni enggak nyaman, aku bisa tidur di luar ...."
"Eh! Tidak! Tidak, Mas! Kami tidak punya kamar kosong lagi, di ruang tamu juga banyak nyamuk." Kilahku. Padahal, sebagai seorang istri tak mungkin kubiarkan Mas Saga terusir dari kamar pengantin di malam pertamanya menyandang status suami. Lagian, aku bisa habis dimarahi Ayah jika membiarkannya terjadi.
Dengan hati berdebar, aku naik di atas ranjang mengikutinya. Kami menatap langit-langit kamar, larut dengan pikiran masing-masing.
"Mbak Harmoni enggak tidur?"
"Hmm ... anu ... aa--kku terbiasa tidur dengan memeluk guling, Mas!" Sedangkan kulihat guling kesayanganku berada di dalam pelukannya. Dengan sigap, diberikannya guling itu padaku. Setelah mengucapkan selamat tidur, Mas Saga membelakangiku. Seolah memberiku ruang untuk sedikit merasakan kenyamanan mengistirahatkan badan tanpa saling berhadapan.
****
Hari berikutnya, acara 'ngunduh mantu' digelar di rumah Mas Saga. Bersama rombongan pengiring kami menempuh perjalanan kurang lebih satu jam menuju Jepara. Kedatangan kami disambut antusias oleh keluarga besar Mas Saga. Aku gugup sekali, menjadi pusat perhatian semua orang yang hadir. Apa lagi mayoritas dari mereka hanya beberapa saja yang kukenali.Usai menciumi keningku, Ibu Mertua dengan bangga mengajakku berkeliling menemui para tamu. Sejujurnya aku merasa tersanjung, jika dulu dengan Mas Arhan kami bagai bumi dan langit, sekarang dengan Mas Saga aku bagai Cinderella. Keluarga Mas Saga tidak mempermasalahkan latar belakangku sama sekali. Mereka menerima kehadiranku penuh sukacita dah tangan terbuka.
Dulu, Saat liburan pondok sesekali aku menginap di rumah Mas Saga. Karena orangtua Mas Saga ingin mengenalku lebih dekat. Toh Mas Saga berada di Depok, jadi tak perlu takut digunjing tetangga atau bakal menjadi fitnah. Untungnya, salah satu dari anak asuh orangtua Mas Saga ada yang seumuran denganku, sama-sama perempuan, keakraban kami membuatku betah tinggal di sana menghabiskan jatah liburan.
Ibu Mas Saga sangat menyayangiku. Setiap tahu aku akan datang, semua keperluanku sudah disiapkan. Mulai dari alat mandi, baju ganti, hingga pakaian dalam semua dibelikan. Anehnya, ukuran nya selalu pas di badanku.
Perbedaanku dengan Mas Saga cukup kentara secara nasab. Ibu Mas Saga adalah puteri Kiyai Besari dari Pati. Sementara Ayah Mas Saga adalah seorang imam masjid, putera Kiyai Mawardi, Jepara. Keduanya dijodohkan untuk menghidupkan agama Islam di lereng Gunung Ragas, tanah kelahiran Mas Saga. Jadi, orangtua Mas Saga merupakan sesepuh desa yang disegani di kampungnya.
Silsilah keluarga Mas Saga serta kebiasaannya sudah kupelajari jauh sebelum masuk menjadi bagian keluarga, sementara orang yang menjadi suamiku sekarang ini sama sekali belum kukenali.
'Mas Saga, beri aku waktu ....'
****
Yang kusukai di rumah Mas Saga adalah ketika membuka jendela kamar, mataku dimanjakan dengan pemandangan gunung yang diselimuti rimbunnya pepohonan. Burung aneka warna beterbangan di sekelilingnya. Juga bisa kulihat aktivitas orang-orang yang sedang mencari kayu bakar atau panen jambu monyet di hutan. Aku senang berlama-lama di jendela, menghirup oksigen yang melimpah ruah.Hamparan sawah berada di dekat halaman rumah Mas Saga, membuatku senang duduk-duduk di teras sambil makan dan memandang padi-padi yang menghijau, atau menguning saat masa panen raya. Terkadang turun ke sawah mencari jamur merang atau semanggi. Sementara halaman belakang rumah Mas Saga ditumbuhi aneka palawija, tinggal petik-petik saja saat ingin memasak pindang serani, atau sayur kunci. Sedangkan untuk memperoleh ikan, tinggal jalan beberapa meter saja ke TPI, tempat pelelangan ikan segar tangkapan nelayan. Di sana surganya ikan, membuatku lapar perut juga mata.
Kampung Mas Saga sangat eksotis, harus melewati berhektar-hektar hutan karet untuk sampai ke sini. Selain gunung ragas, juga terdapat gunung kapur sebagai matapencaharian masyarakat sekitar. Seperti desa yang tersembunyi, keindahannya alami nan asri.
****
Kamar Mas Saga yang sering kutempati saat menginap, banyak sekali perubahannya. Cat tembok yang semula hijau kini seputih kertas. Lemari, ranjang, serta meja rias, dari bentuk dan aromanya masih baru. Bahkan disamakan dengan yang dikirim ke rumahku sebagai seserahan.Mas Saga menghempaskan tubuhnya di sampingku, di atas ranjang king size yang sangat longgar untuk ditiduri dua orang. Di luar, suara tonggeret bersahut-sahutan, serupa orkestra malam yang mengiringi kami di peraduan. Suasana yang cukup syahdu untuk berbulan madu bagi sepasang pengantin baru. Hatiku berdebar, menghawatirkan mahkotaku terenggut di malam ini. Tubuhku tak berani bergerak, jantungku berdegup kencang sekali.
"Mbak ...." Suara Mas Saga memecah keheningan.
'Please! Mas ... jangan sekarang ....' Batinku berteriak.
"Dulu, Gus Arhan sering menginap di kamar ini ...."
"Lalu?"
"Gus Arhan senang bermain ombak di Pantai Benteng. Setiap habis subuh, kami berboncengan sepeda ke sana. Berguling-guling di pasir mengejar bola. Lalu pulangnya memanjat pohon kelapa di depan rumah untuk menyembuhkan dahaga. Gus sangat mahir memanjat, dan menyukai kelapa kopyor. Tiga butir kelapa bisa dihabiskannya sendiri ...."
"Oh, ya?" Mendengar apapun tentang Mas Arhan membuatku bersemangat.
"Meskipun Gus Arhan pilih-pilih makanan, tapi saat di sini begitu lahap bahkan bisa nambah-nambah. Kadangkala Gus lebih nyaman di sini dan malas kembali ke pondok." Suara Mas Saga mulai serak.
"Mas Saga merindukannya?"
"Sangat ...."
'Aku juga, Mas ....' Bisikku di dalam hati.
"Gus Arhan seperti Kakak bagiku. Apapun diceritakannya padaku. Diapun memberitahu bahwa menyukai seorang gadis yang fotonya dipasang di dalam buku agenda. Gus tidak pernah memberitahu siapa nama gadis itu apa lagi wajahnya. Aku pun sering melihat Gus tersenyum-senyum sendiri saat menulis surat. Bodohnya, aku sama sekali tidak tahu gadis yang dicintai Gus adalah Mbak Harmoni ...." Mas Saga mulai terisak. Tangisnya membuat mataku ikut basah.
"Saat aku melihat Mbak Harmoni pertama kali, waktu serasa berhenti. Sepotong mangga yang Mbak berikan padaku itu adalah makanan termanis yang membuat candu untuk terus mengingat mu, Mbak ... akk--u ... akk--u jatuh cinta pada pandangan pertama. Kuceritakan semuanya pada Gus Arhan tentang pertemuanku dengan gadis bernama Harmoni. Gus tidak marah, bahkan memelukku ...."
"Apa Mas Saga menyesal?"
"Iya ...."

KAMU SEDANG MEMBACA
HARMONI SAGA
RomanceCinta Tak Biasa *Novel ini sudah tahap lay out, doakan semuanya lancar, yak! 🤗