Alamanda

32 3 0
                                    

Aku menggeliat, setelah beberapa jam tertidur di dalam bus. Tangan kananku memasuki saku baju ingin mengambil permen pelega tenggorokan, namun menemukan surat Mas Arhan yang dia selipkan kemarin. Aku yakin, itu bukanlah doa, aku hanya meledeknya karena dia terlihat kikuk tak seperti biasanya.

"Harmoni ... suatu hari seseorang datang padaku mengantongi rembulan. Dia tidak pernah menunjukkan bagaimana bentuknya, tapi dari bajunya yang menerawang kulihat bias sinarnya serupa emas yang membuatku terpikat.

Aku rasa rembulan itu mengerti perasaanku hingga ia mulai berani menampakkan diri di jendela, bahkan sinarnya menelusup di kamarku membuat hati terasa hangat. Aku mulai bodoh! Menggilai rembulan, selain tinggi dari jangkauan, dia juga mimpi bagi semua orang. Sementara, siapa aku?

Sebagai pelipur lara, kutanam alamanda di dekat jendela. Lonceng kuningnya mengingatkanku pada rembulan. Sama-sama benderang meski di tengah malam. Kuhabiskan waktu bersamanya,  hingga rasa sayangku berubah menjadi rindu. Ini bukan tentang rasa bimbang antara memilih rembulan atau alamanda, karena keduanya adalah orang yang sama.

Rasanya aku butuh magic untuk menutup rembulan, agar tak ada lagi yang berharap bulan jatuh ke pangkuan mereka. Atau membuat pagar baja untuk mengelilingi alamanda, agar tak ada tangan jahil yang hendak mencurinya.

Namun, aku harus menjadi sesuatu yang lebih tinggi dan agung dari siapapun, hingga tak ada yang bisa menandingi kebesaranku. Iya! Aku ingin menjadi langit! Dengan begitu, semuanya mudah kumiliki ....

Sampai waktunya tiba, maukah kamu menungguku, Harmoni?"

Bulir-bulir bening jatuh dari mataku, kalimat Mas Arhan menyentuh hati terdalam. Mungkinkah artinya dia juga menyukaiku, sementara aku bukan rembulan maupun alamanda, aku bumi! bumi ....
****
Rombongan kontingen Pati tiba di bumi perkemahan Munjuluhur Purbalingga pada pukul 6 pagi. Keindahan alam yang tersembunyi di antara perbukitan, itu yang kutangkap saat pertama kali memasuki kawasan ini.

Kami bersiap mendirikan tenda di antara rimbunnya hutan Pinus yang adem. Kemudian melihat-lihat keindahan bumi perkemahan yang pernah dinobatkan menjadi nomor satu di Indonesia. Area belakang, dibangun adventure zone untuk kegiatan outbound maupun latihan panahan. Juga terdapat kolam-kolam dengan mata air yang jernih. Kami tidak perlu merasa takut kekurangan, karena di sini air melimpah ruah.

Memasuki hutan terdalam, mataku dimanjakan dengan hamparan bunga lavender yang tumbuh liar serupa rumput di bawah jenjangnya kaki-kaki pohon pinus. Warna ungu berpadu dengan desiran angin yang lembut sangat menenangkan. Membuatku teringat pada bunga yang disukai Mas Arhan.

[Mas, alamanda atau lavender?]
[Alamanda, donk! Apakah kamu sudah sampai?]
[Hu'um, tadi pagi]
[Alhamdulillah ...]
[Mas, alamanda atau lavender?]
[Alamanda, titik!]
Aku tersenyum-senyum sendiri, mungkin baru terompet kuningnya alamanda yang Mas Arhan lihat sampai dia begitu yakin tidak ada bunga lain yang lebih memikat.
****
Bersyukur mengikuti kemah ini, karena sebagian teman-teman yang kukenal saat menjadi relawan di Yogyakarta ada di sini. Edrus, pemuda gokil dari kontingen Rembang, Anggi, gadis berbulu mata lentik dari Banjarnegara, Wahyu, pemuda dari Solo yang diidolakan banyak gadis dari kontingen lain, serta masih banyak lagi. Kemah ini sekaligus menjadi ajang reunian setelah setahun lebih kami tidak bertemu. Obrolan kami sangat seru hingga membuat lupa waktu.

"Dek! Ada yang nungguin, tuh!" Kak Vika,  sudah berdiri di pintu gerbang kawasan tenda puteri. Sebagai Kakak senior dia bertanggungjawab atas adik-adik yuniornya, juga merangkap sebagai juru masak untuk kami.

"Siapa, Kak?"
"Cowok, ganteng banget! Lihat sendiri aja gih!"
Aku berjalan percaya diri, meskipun seharian belum mandi karena Mas Arhan sudah biasa melihat sisi terburukku. Keringat yang lengket dan bau badan tak kuhiraukan, rasanya ingin segera menggetok kepala Mas Arhan dengan tongkat Pramuka yang kubawa. Bisa-bisanya dia bandel, tetap menyusul meski sudah dilarang.

"Mas Arhan!" Aku memekik keras, pemuda yang sedang duduk di dalam tendaku menoleh. Bukan, bukan Mas Arhan yang kulihat. Namun, seraut wajah yang kukenal saat bertugas di camp Trauma Healing bagi anak-anak korban gempa di Yogyakarta.

Rambutnya dipotong cepak, kulitnya jauh lebih putih dari setahun lalu. Namun, dia tidak mengenakan seragam Pramuka, itu artinya dia tidak sedang mengikuti kegiatan kemah ini.

"Harry?"
"Syukurlah! Kamu masih mengingatku Harmoni ...." Pemuda itu masih seramah yang dulu. Awalnya, kami sering berpapasan saat sama-sama menikmati keindahan Merapi saat pagi. Hingga dipertemukan dalam satu kelompok membuat lagu ceria untuk anak-anak. Saat itu Harry menyanyi dan menari lagu Hoky-Poky dengan lincah.

"Aku mengambil Sekolah  Dirgantara, saat kudengar ada kemah di kotaku, aku bergegas terbang dari Bandung menuju ke sini!" Harry tersenyum sumringah.

"Oh, ya? Sudah bertemu dengan teman-teman yang lain, donk?"

"Hmm ... tidak! Aku hanya berniat menemui mu." Sejujurnya, perasaanku mulai tidak enak.

"Hah! Kenapa, gitu?" Harry tampak mengeluarkan sesuatu yang terbungkus koran dari dalam tasnya, lalu diserahkannya padaku. Dahiku sedikit mengernyit membuka bungkusan itu. Terpampang jelas foto Harry lengkap dengan seragam kebanggannya sekarang. Namun, yang membuatku bingung adalah mengapa ukuran foto dan bingkainya sangat besar jika hanya untuk kenang-kenangan harusnya cukup seukuran polaroid atau pas foto 4x6 saja, kan.

"Aku menyukaimu, Harmoni ... sejak pertama melihatmu di Yogyakarta. Tapi, waktu itu aku enggak berani bilang ...." Seperti disambar geledek, aku syok mendengar pengakuannya. Kalimatnya mengalir begitu saja, padahal saat malam kemah terakhir di Yogyakarta semua relawan diijinkan melihat bazar pameran di bumi perkemahan Kepurun.

Di sana, kulihat Harry sedang bergandengan tangan dengan seorang gadis entah dari kontingen mana. Mereka sama sepertiku, sedang memilih-milih cinderamata untuk oleh-oleh. Tampak keduanya tertawa-tawa bahagia, namun saat Harry menyadari keberadaanku tiba-tiba dia melepaskan tangan gadis itu. Ekspresi Harry waktu itu seperti seorang kekasih yang tengah tertangkap basah sedang bersama selingkuhannya.

"Harmoni! Harmoni!" Telapak tangan Harry dikibas-kibaskan di depan wajahku. Membuat aku tersadar dan kembali pada situasi yang membingungkan ini.

"Harmoni ... tadi aku sudah meminta ijin pada Kakak senior untuk membawamu jalan-jalan mengelilingi Purbalingga, kemudian singgah di rumahku sebentar ...." Mengapa angannya sejauh itu, bahkan dengan Mas Arhan saja aku tak pernah berboncengan motor, terlebih baru kali ini aku dan Harry terlibat pembicaraan pribadi. Apa yang harus kulakukan?



HARMONI SAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang