Part 2

12.6K 924 10
                                    

13 Mei 2022

•••

Melihat itu, Brendon panik, begitu juga sang satpam. Tak menyangka si anak sekeras kepala ini padahal mereka berusaha menjelaskan dengan baik-baik.

"Mas, sini makanannya, Mas pergi aja." Satpam itu menyarankan.

Brendon awalnya dilema, ingin pergi meninggalkan anak dengan keadaan begini, tetapi merasa ada satpam di sini ia merasa tak masalah kan ya? Toh beliau juga tahu bukan salah Brendon.

Brendon pun segera kabur setelah menyerahkan makanan itu ke sang satpam, sambil bertanya-tanya.

Bocil tadi kenapa sih?!

Meski heran, tetapi ada rasa bersalah di dada kala Brendon benar-benar memilih meninggalkan Tommy dalam keadaan demikian, apa anak itu akan baik-baik saja. Semoga saja dia nemuin Prayuda lain deh, Brendon tak menyangka ia mendapatkan costumer seaneh itu, baru kali ini.

Jalan pikiran anak-anak bener-bener deh, random abis.

Brendon pun berusaha menepis pemikirannya setelah kejadian itu, anggap saja angin yang kemasukan kentut, melanjutkan kegiatannya seperti biasa, dan sesuai janji, latihan bersama teman satu band-nya.

Namun, teman satu band-nya terlihat heran, karena Brendon kelihatan tak fokus saat bernyanyi sambil memainkan gitarnya, seperti banyak pikiran.

"Lo kenapa, Bren? Galau?" tanya salah seorang temannya si pemegang drum, Dani.

"Iya, perform lu payah banget hari ini, mana voice crack mulu," timpal yang lain, pemegang basis, Nico.

Brendon menghela napas. "Kalian pernah gak sih, dituduh Papa sama bocil?"

"Hah? Dituduh Papa?" Pemegang gitar, Morgan, terkejut.

Ketiga teman Brendon bertukar pandang bingung.

"Jadi ... sore tadi, gue nerima orderan atas nama Tommy, dan gue gak nyangka tu pemesan bocil, dan bocil itu ya nuduh gue Papanya karena nama belakang kami sama, Prayuda." Ketiganya masih cengo akan cerita Brendon, sampai akhirnya tertawa geli. "Heh! Jangan ketawa kalian! Gua serius!"

Dan mendengar itu, mereka terdiam. "Lo seriusan? Kok bisa?" Nico melongo.

"Lo hamilin siapa, Bren?!" Mike asal jeblak.

"Gue udah bilang ini serius, tapi sumpah siapa yang gue hamilin! Tu bocil usianya kek anak TK atau SD gitu, gue masih 19 tahun, yakali gue hamilin anak orang pas umur gue bocah! Gila kali kalian!" Brendon menjelaskan seraya mendengkus. "Gila tu bocah sultan, kaget gue."

"Terus abis itu gimana, Bren?" Nico bertanya lagi.

"Gue udah jelasin panjang lebar ke dia sama satpam di sana, kalau marga Prayuda kan banyak yang make, gue juga terlalu muda jadi bapaknya, eh dia gak percayaan, mana bilang muka kami sama dahal dia bule abis."

"Lah, lo kan juga rada bule, Bren?" Mike tiba-tiba menyela.

"Ck, jangan mutus, gue putus senar gitar lu nih!" ancam Brendon sebal. "Dikata bule cuman gue doang, dia itu bulenya bule banget, bahasanya aja cadel, rambutnya pirang plus matanya hijau. Gue mah masih Indonesia banget." Brendon menjelaskan panjang lebar.

"Terus terus, gimana tuh?" Nico dan Mike tampak kepo.

"Ya alhasil karena gagal semuanya, ya gue disuruh kabur aja sama si satpam." Brendon menggedikan bahu.

"Wah, harusnya lo netap aja Bren, nyamar jadi bapaknya, kali aja kecipratan jadi sultan," kata Nico tertawa bersama Mike.

Brendon memutar bola mata. "Yakali, lu!"

"Udah udah, gak usah dipikirin lah, Bren. Namanya juga anak kecil, absurd banget," kata Dani tampak cuek. "Fokus aja ke latihan kita, kan bentar lagi kita perform."

"Maunya sih gitu, cuman gue rada merasa bersalah gitu, soalnya dia nangis kejer pas gue tinggalin ...." Brendon menghela napas.

"Udah, anak kecil itu, jangan dianggap, nanti juga dia nyari orang lain lagi. Keknya dia cuman kebelet kasih sayang aja. Ya udah, lanjut latihan, yang bener lo, Bren!"

Mereka pun melanjutkan latihan dan Brendon berusaha menekan ungkapan Dani di kepalanya, dan syukurlah ... cukup masuk hingga ia kembali perform latihan dengan baik.

Namun ternyata, sekelumit ungkapan positif itu ... nyatanya tak sesuai ekspekstasi yang ada. Karena ternyata, bocah itu, keras kepalanya bisa-bisanya mendatangi kampusnya ke sini. Brendon terus menyusuri koridor di mana orang-orang terlihat berfokus padanya.

Oh, rumor itu menyebar dengan cepat.

"Papa!" Suara itu ....

Brendon menoleh, pemuda itu mendengkus gusar melihat seorang anak kecil, rambut pirang dan manik zambrud, Tommy, bersama dua orang pria berjas di sana. Apa mereka bodyguard? Ia rasa jelas. Anak sultan penjagaan ketat. Brendon semakin gelisah, terlebih tanpa pikir anak itu memeluknya begitu saja.

Orang-orang ia harap paham situasinya seperti satpam itu.

"Duh, astaga Dek, keras kepala banget sih." Brendon menatap kedua bodyguard anak itu, bertanya-tanya kenapa mereka mau saja ngikut sang sultan ke sini, mereka pasti tahu kan kalau Brendon bukan papa bocah ini.

Pusing dah.

"Papa jangan ninggalin aku gitu aja dong, Papa jahat! Papa gak sayang Tommy ya? Padahal kan Tommy anak pinter." Wajah Brendon memiris, lihatlah sekitarnya, pandangan mereka semakin menciutkan nyali pemuda itu.

Lalu kemudian, ia menatap dua bodyguard itu bergantian.

"Pak--" Brendon yang siap berkata unek-unek di kepala diputus begitu saja.

"Tuan Prayuda, bisa ikut kami sebentar?" tanya seorang bodyguard.

"Hah?" Brendon menatap keduanya bingung, tetapi dari tatapannya ... sepertinya mereka ingin meluruskan kesalahpahaman ini. Kan?

Oh, masuk akal, kedatangan mereka di sini sepertinya begitu.

"Papa, gendong!" pinta Tommy, dan Brendon mau tak mau menurut, kalau tidak takutnya memperkeruh suasana dan menyusahkan mereka, setelah ini semoga saja beres.

Huh kenapa mereka ngunjungin di waktu ia ngampus sih, makin ruwet, duh semoga saja tak kena masalah besar deh. Huh ....

Brendon, sambil menggendong Tommy yang lumayan gempal dan agak berat, mengekori dua bodyguard itu ke depan dengan rada menyembunyikan diri dari khalayak ramai. Dan sepanjang perjalanan, Tommy ini nyerocos panjang lebar, dan Brendon tak terlalu mendengarkannya, hanya senyam-senyum menyahut ya ya ya.

"Kita bakalan ketemu Mama!"

Eh?

Namun ada satu ungkapan itu, yang baru Brendon sadari, setelah ia masuk ke mobil mewah yang terparkir di parkiran kampus dengan gagahnya. Dan siapa sangka, saat masuk bersama Tommy ....

"Mama, ni Papa!" Ada seorang wanita bersurai hitam bergelombang, berpakaian ala kantoran nan modis, bibir semerah ceri serta duduk anggun. Kesan glamor terasa dari tas mahal dan kacamata hitamnya, sepertinya outfitnya ratusan juta, atau lebih.

Brendon cengo memperhatikannya dan wanita balik menatap, dilepaskannya kacamatanya sebelum akhirnya menatap sinis Brendon dari atas ke bawah dengan netra biru terang itu.

Buset, cantik sih, tapi galak dan natap remeh sekali.

Lalu saat menatap anaknya sendiri, senyum manis, hm tipe-tipe wanita mandiri suprem yang sepertinya anti pria nih. "Iya, Sayang." Suara wanita itu lembut dan hangat, beda dari penampilannya ala kantoran mewah, faktanya ia sangat keibuan.

Cuman, itu lho, kenapa diiyain gitu aja, kagetlah Brendon.

"Mm ... Bu--"

Lagi, ungkapan Brendon diputus.

"Ayo jalan, kita bicarakan nanti." Oh, ya udah, semoga kelar saja deh. Brendon ngikut sajalah.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

PAPA BEEBO [Brendon Series - P]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang