Part 4

8.5K 704 52
                                    

15 Mei 2022

•••

"Kurang ajar kamu!" pekik mama Tommy dengan kesal.

"Bukan maksud kurang ajar Tante, astaga ...." Brendon berusaha menenangkan dirinya yang ikut emosi, ngeri juga kalau sampai sultan banyak bodyguard sangar ini marah, takutnya dia bonyok. "Tante, coba ... cobalah pikirkan apa yang dari tadi Tante bilang, coba coba, Tante inget-inget."

Sejenak diam dengan mata sinisnya menatap Brendon, wanita itu spontan membulatkan mata sempurna, kaget, serta kedua pipi yang memerah. Ah, Brendon bisa menebak maksud ekspresi mama muda cantik jelita ini.

"Udah dipikirkan Tante?" tanya Brendon memastikan, dan wanita itu mendengkus kasar. "Lebih baik gini aja, Tante. Terus terang sama anak Tante, Tommy, kalau saya ... bukan bapak dia, nama belakang doang sama tapi jelas saya bukan bapak dia, saya juga gak kenal Tante, gak mungkin kan saya hamilin Tante."

"Ada apa ini?" tanya seseorang, baik Brendon dan wanita muda itu spontan menoleh ke sumber suara, hanya untuk menemukan seorang pria tua, yang sepertinya lebih setengah abad, berdiri di ambang pintu. Meski begitu, ia terlihat gagah dengan jasnya, tangan di kantong, berkharisma dan punya rambut hitam ada putih-putih di sana. "Papah dengar ada masalah," kata pria itu, berjalan mendekat.

Papah? Sepertinya dia ayah mamanya Tommy ya? Tak mungkin ayah Tommy ....

Seiring pria itu mendekat, ada sebuah tekanan, yang entah kenapa membuat keduanya bungkam tak bersuara. Atmosfer sekitar dipenuhi beban.

"Siapa pemuda ini, Selena?" tanyanya, menatap mama Tommy, yang Brendon baru tahu, namanya Selena.

Mirip penyanyi itu.

"Saya ... Brendon, Kek ...." Kalau nyebut Selena Tante, maka ... waduh anjay Brendon terkesiap karena diberi tatapan tajam oleh pria tua yang matanya bak elang, menusuk banget. Dia salah panggil ya? Duhileh. "Ma-maaf."

"Pah, ini soal Tommy, dia ...." Selena mulai bersuara setelah sedari tadi diam, ia menarik napas gelisah. "Tommy nyangka pemuda ojek online ini ayahnya karena marganya sama kek kita. Prayuda. Dari kemarin dia nangis, sudah dijelaskan tetap keras kepala, ya ke sini mau bikin perjanjian dia ... jadi papa sewaan Tommy." Ia menjelaskan.

"Sama seperti kamu, keras kepala, dan kamu seharusnya kamu gak menuruti permintaan aneh dia."

"Bener, tuh, Kek! Bener! Saya juga mau bilang, jangan diturutin bocah tantrum begitu, harus dikasih penjelasan, nanti efeknya ke dewasa, bahaya." Brendon tanpa sadar menyela karena saking gregetnya, tetapi kemudian ia membungkam mulut sendiri. "Ma-maaf ...." Ia menghindari tatapan tajam yang rasanya bisa membelah dirinya secara jiwa.

"Dengarkan itu, kamu terlalu memanjakannya jika iya iya saja dengan keinginannya." Brendon mengangguk setuju. "Seperti halnya mendiang ibumu yang selalu mengiyakan keinginanmu, memanjakan kamu, membuatmu jadi begini. Anak pembawa sial."

Brendon terdiam.

Kaget, dengan ungkapan pria tua itu, anak pembawa sial ... katanya? Meski tak terima ucapan demikian sekalipun bukan untuknya, tetapi karena sepertinya urusan pribadi Brendon tak bisa apa-apa, terlalu seram untuk menyela dan melawan. Meski kala melihat wanita itu, oh Brendon bisa merasakan ketakutan dan kesedihan yang dalam, menunduk sendu. Brendon jadi iba.

"Kamu pergilah dari sini," usir sang pria tua pada Brendon.

Brendon terkesiap pelan, diusir gitu saja nih? Gak dikasih ongkos atau tumpangan gitu? Dia datang ke sini tanpa motor dan lumayan jauh dari kampus. Ugh, tetapi dia tak terlalu berani protes, jadi dengan berat hati, Brendon pamit meninggalkan suasana mencekam tersebut.

Sekilas ia masih melihat si wanita, Selena, yang balik menatapnya ... seakan meminta pertolongan.

Ugh, Brendon tak bisa menolongnya, menghadapi Selena saja agak gentar, apalagi ayahnya yang seperti kelipatan lebih horor. Brendon akhirnya keluar dari ruangan itu dan tanpa disangka.

"Papa! Ayo jalan-jalan!" pekik Tommy yang tiba-tiba saja memeluk kaki Brendon, anak itu sudah berpakaian bagus, wangi dan bersih, siap sekali jalan-jalan.

Sayangnya, jelas Brendon tak bisa. Brendon menatap sekitaran, mana yang lain? Tak ada siapa pun di sini, Brendon rasa ia harus menjelaskan sendiri dengan rinci dan sesuai pemahaman Tommy. Pertama-tama, pemuda itu melepaskan pelukan erat Tommy darinya.

Sang anak terheran, ia mendongak bingung. "Kenapa, Papa?"

"Mm Tommy, Kakak udah berkali-kali bilang, Papa ini bukan Papanya Tommy. Papa bukan Papanya Tommy, tanya aja sama Mama sama Kakek Tommy." Brendon menjelaskan, dan Tommy mengerutkan kening. "Kita enggak sedarah, Tommy. Kita beda. Nama aja yang sama tapi kan nama Prayuda banyak yang make. Kakak, bukan Papa Tommy."

Tommy diam, membeku, dan Brendon agak khawatir anak ini nangis seperti kemarin, bagaimana seisi rumah mendengar dan dia jadinya dipukuli para bodyguard karena dikira ngapa-ngapain, kan ngeri.

"Oh, iya, Papa belum resmi jadi Papa Tommy, karena Papa dan Mama belum nikah, harus nikah dulu, iya kan?"

Brendon melongo akan pertanyaan itu, lah ni anak kenapa sih?

"Tommy, bukan gitu konsepnya, Dek Tommy. Ck astaga gimana jelasinnya ya." Brendon menggaruk belakang kepala yang rasanya gatal luar biasa. "Gini gini, ada ayam, kan, ya. Ayam tiga. Dua jantan, satu betina. Anggap ayam cowok satu, ayam cowok dua."

Tommy menyimak, ia seperti mendengarkan cerita dongeng oleh Brendon.

"Nah, ayam satu poktepok tepok ngehamilin ayam dua, nah ayam dua hamil."

"Hah? Ayam dua hamil? Katanya jantan? Ayam bisa eljibiti ya, Pa?"

"Eh, maksudnya, ayam tiga, ayam tiga dihamilin. Nah, lahirlah anaknya." Tommy mengangguk paham. "Nah, anggap aja, ayam satu itu, orang, ya. Ayam dua itu Kakak, dan ayam tiga Mamanya Tommy. Dan Tommy anak yang lahir. Nah, meski sama-sama ayam, tapi Kakak bukan induknya Tommy, tapi ayam cowok satu sama Mama Tommy. Paham gak?"

Tommy menyengir lebar. "Enggak."

Brendon merengek frustrasi, gimana sih cara jelasinnya. "Pokoknya gini aja, Tommy salah sangka, salah orang, Papa bukan Kakaknya, eh Kakak bukan Papanya Tommy! Sampai sini paham?"

"Masa sih?"

Kok jawabnya masa sih?! Andai tak ada bodyguard nengok ni bocah sudah Brendon ketekin.

"Bukan, pokoknya Kakak bukan Papanya Tommy."

"Ah masa?" Ni bocil kenapa sih? Minta disleding sesekali kali ya? Betapa keras kepalanya dia. "Terus gimana aku lahir kalau gak ada Papa?"

"Ya itu ayam satu, bukan Kakak yang hamilin Mama kamu, tapi ayam satu!" Brendon mulai emosi menghadapi bocah satu ini.

"Jadi aku anak ayam?"

"Hooh, kamu anak ayam!" Brendon gregetan menghadapi Tommy.

"Tapi aku maunya Papa jadi Papaku, gimana dong?" Lah? Sejak kapan bapak bisa milih-milih?! Bocah satu ini pandai sekali berkilah, ngeles mulu.

"Gak, gue ogah jadi bapak lo!" Akhirnya, emosi Brendon meledak, dia meneriaki anak ini, biarlah yang penting dia to the point.

Anak ini mungkin memang perlu sedikit keras menghadapinya, agak kasar dan Brendon tak tega, tetapi apa mau dikata, esmosi ini esmosi abis.

"Udah dibilangin, gue bukan bapak lo dari kemarin, runyam banget cuman gegara perihal ini, astaga." Brendon mengomel lagi, dan menatap Tommy.

Mau nangis gak tuh?

Tommy diam, keknya mencerna omongannya ya? Baguslah. Brendon pun perlahan keluar dari rumah itu, dan tak ada apa pun, legang saja dia melakukannya tanpa dihalang atau terhalang.

"Syukurlah ...." Lega abis, bak berak sekebon.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

PAPA BEEBO [Brendon Series - P]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang