Part 35

2.6K 289 33
                                    

15 Juni 2022

•••

Ayah Selena menunduk, dadanya sakit, sangat, mendengar penuturan putrinya. Memang benar semua yang dikatakan, tepat sekali, hingga ke detail terdalamnya. Simon munafik pada diri sendiri hanya karena harga dirinya.

"Terlalu banyak kebencian di sana." Selena menunjuk dada sang ayah. "Kebencian yang menghancurkan diri Papah sendiri."

"Maafkan Papah, Selena. Maafkan Papah atas segalanya ...." Dengan tangan yang baik-baik saja, ayah Selena memegang tangan putrinya. "Papah janji akan berubah, Papah akan berusaha, untuk kamu ...."

Selena menghela napas gusar, ia menunduk. "Katakan itu juga pada mereka, Pah. Bukan hanya aku. Sepasang sahabat yang Papah sakiti, dan seorang anak tak berdosa yang Papah hina, atas kesalahanku, bukan kesalahannya."

"Papah ... akan berusaha Selena." Ayahnya berkata lirih, ada ketidaksiapan di sana, bukan karena harga diri, tetapi rasa takut tiada tara akan tidak diterimanya dia lagi di sana.

"Aku ngerti, Pah. Perlu waktu. Selain fisik, juga mental." Selena tersenyum hangat pada sang ayah, akhirnya pria itu mau mengalah dengan perasaannya, kini sang wanita duduk di hadapan sang ayah.

Lihatlah ayahnya, memang sangat rapuh sekarang, tidak ada lagi keangkuhan yang menopengi wajahnya. Kelihatan kefrustrasian karena sendirian. "Maaf soal tangannya, Pah."

Sang ayah tertawa. "Tidak, tak apa, Papah yang harusnya minta maaf."

"Jangan lakuin itu lagi, Pah." Selena mengecam, meski ia membenci kelakuan pria itu, dan dia meminta memutus ikatan, tetap saja ayahnya adalah ayahnya.

Selena, ada masa baginya, tak bisa melihat itu semua ....

"Setelah Mamah kamu meninggal, Papah hancur, Selena." Ayah Selena memulai pembicaraan. "Dan bukannya ikut mengurus kamu demi kesembuhan Mamah yang sudah Papah liat mustahil, Papah malah menyerah di tengah jalan, Papah gak mau melihat dia, itu terlalu sakit, tetapi akhirnya siapa sangka Papah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana dia meninggal. Papah hancur, Papah terluka, Papah ...." Ayah Selena menggeleng sendu.

Selena tak menyangka, ayahnya lain dari yang lain, memang jalan yang dipakainya sudah sesat.

"Kamu tahu, Papah kadang ke rumah sakit, tapi hanya berani berdiri di luar tanpa masuk ke dalam, Papah terlalu takut, Papah ...." Ia menunduk. "Ini penyesalan terbesar dari hidup Papah."

"Pah, sudahlah, sepertinya Mamah sendiri memahami perasaan Papah, dia sering nanyain keadaan Papah, dan gak maksa Papah ketemu dia." Itu benar, ibunya selalu menanyakan ayahnya saat sebelum koma, tetapi Selena kadang menjawabnya dengan kesal karena kenapa ibunya bisa sebaik itu pada orang yang bahkan tak mau mengurusnya.

Selena sakit hati, jujur saja, tetapi ia ingat perkataan ibunya. "Kamu jangan ninggalin ayah kamu sendirian, ya. Dia takut sendirian."

Sekarang ia paham, maksud itu, meski awalnya agak jijik mendengarnya.

"Papah hanya bisa mengawasi kalian dari jauh, dan kadang Papah ngasih bonus melalui gaji kamu di pekerjaan kamu, hanya itu yang Papah bisa." Selena kaget, sungguh? Memang benar, dia pikir dia karyawan teladan karena dapat bonus terus. "Dan Papah tetap mengawasi kamu, maaf tak bisa jadi ayah yang baik untuk kamu, Selena."

"Apa benar juga soal Papah yang menghancurkan perusahaan keluarga Brendon, tapi berhenti ...."

Ayahnya diam sejenak, sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Ya, Papah berhenti, Papah gak kuat juga melihat mantan sahabat Papah terluka begitu, terlebih Papah ... bertemu Mamah kamu, Papah jadi lebih tenang."

"Ternyata bener ya kata mereka, Papah ini paling cengeng dan perasa, semua yang Papah pakai selama ini ... topeng?"

Ayah Selena tersenyum sendu. "Dia bilang jika ingin menghancurkan seseorang, maka kita harus membuang empati dan simpati yang ada, dan itu ... Papah sadari ... seseorang yang hancur itu ternyata diri Papah sendiri." Ia mulai terisak pelan. "Papah tak mau lagi bertemu mereka, karena takut kebencian, karena takut rasa sakit, tapi siapa sangka saat bertemu tadi mereka malah ... Papah merasa tak pantas jadi Papah menolaknya."

"Jujur saja, Pah. Jangan menyakiti diri sendiri." Selena mengusap bahu sang ayah menenangkan.

"Papah terlalu hina, Selena."

"Minta maaf dan belajar menjadi orang baik yang menerima kesalahan, Pah. Itu usaha terbaik kebanding lari dari kenyataan atau mengedepankan harga diri." Selena menghela napas panjang. "Papah sadar kan Papah takut sendirian?"

"Iya, Sayang. Papah mohon pulang ya, kamu sama Tommy, Papah janji akan berubah, sungguh."

Selena menggeleng.

"Ke-kenapa? Oh, Papah mengerti, kesalahan ini terlalu besar untuk dimaafkan dengan cepat."

"Lebih baik Papah ikut kami tinggal di sana, rumah itu lebih enak, nyaman, dan private. Kebanding rumah yang dulu." Selena tersenyum hangat. "Papah mengerti kan maksudku?"

Wajah ayah Selena tampak khawatir.

"Gak usah memikirkan hal itu dulu, aku akan ngasih waktu Papah menenangkan diri, mereka bisa menunggu kapan saja, yah seenggaknya kalau mereka gak kerja lagi." Selena menghela napas. "Oke Pah?"

"Baiklah, terima kasih Selena. Papah akan jadi ayah dan kakek yang baik untuk Tommy, Papah janji."

"Aku pegang janji Papah, karena kalau enggak, tangan Papah mungkin bukan sekadar terkilir aja." Sang ayah menenggak saliva, ia tak menyangka putrinya yang manis sekuat itu. "Aku bercanda, Pah. Intinya jangan nyakitin Tommy kek dulu, jangan lupa minta maaf."

"Iya, Selena. Papah janji."

"Jangan make topeng lagi ya, Pah." Ayahnya mengangguk.

"Omong-omong, Selena ...." Selena mendongak menatap ayahnya. "Apa kamu sungguh tak ingin tahu, di mana Gio?"

"Gio? Pengen sih, tapi saat ketemu ya aku maunya mukulin dia sampe mampus." Sang ayah menatap seram putrinya, kekuatan Selena ngeri lho.

"Ya, kamu berhak membencinya Selena, dia memang pria berengsek." Selena menatap ayahnya.

"Papah tahu?"

"Ya, dia itu orang sewaan dari Caleb dan anaknya, nama aslinya bukan Gio, dia pria tanpa identitas, dan tugasnya menghancurkan masa depan kamu." Terkejut, tentu saja, ternyata ... dugaannya .... "Dia dikirim untuk menghamili kamu, yang menolak perjodohan itu karena merasa harga diri diinjak, jadi dia melakukan serangan balik agar harga diri keluarga kita pun hancur."

"Papah serius?" Ayahnya mengangguk.

"Dia cerdas, sangat, jadi Papah pun kesulitan mencari si berengsek itu, meski Papah sudah bisa mengalahkan Caleb dan anaknya. Maaf karena itu Papah jadi gak banyak fokus ke kalian." Ayahnya tampak menyesal. "Papah akan terus mencari si berengsek itu, Selena. Kita akan hajar dia sama-sama."

Selena menghela napas. "Udah, Pah. Gak usah ambil pusing sama orang itu. Udah cukup." Dia tak mau banyak berurusan dengan masa lalu, males. "Yang penting sekarang adalah persoalan Papah dengan Tommy dan keluarga Brendon."

"Tommy ... ah Papah menyesali anak tampan cucu Papah itu, Papah sayang sama dia, Selena. Tapi kadang Papah melihat Gio dari dia, anak itu cerdas, Papah takut dia ... jadi seperti--"

"Anakku gak akan jadi seperti Gio, Pah, kalau Papah dan aku, ngasih pengertian antara baik dan buruk dengan benar, bukannya membenci dia tanpa alasan. Tommy itu cerdas, dia pandai, tapi itu keturunan dariku, bukan dia. Oke Pah? Lagian, meski matanya hijau, dan rambut pirang ala bule, muka Tommy justru lebih mirip Papah."

"Ah, iya ... Papah sadar hal itu. Papah janji bakalan jadi kakek yang baik. Papah sayang sama Tommy."

Selena tersenyum, ia bisa melihat kesungguhan yang teramat sangat dan semangat menggebu tersebut. Baguslah, semua salah paham mulai diperbaiki.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

PAPA BEEBO [Brendon Series - P]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang