Part 9

5.8K 468 14
                                    

20 Mei 2022

•••

Tak butuh waktu yang lama, bahkan amat singkat, Brendon sampai di depan rumahnya. Namun kemudian, ia tersentak pelan.

"Lah? Lho heh?!" Brendon menunjuk ke belakang, di mana dua rumah setelahnya adalah rumah yang saat ini katanya akan ditinggali Tommy dan ibunya. "Lho lho lho." Kok dia baru tersadar jika ini perumahan rumahnya? Meski yah antar rumah terlihat legang jarang-jarang tetap saja antara rumah Tommy dan Selena ... deket oi!

Niat Brendon sebenarnya ingin menjauh lho, biar tak banyak interaksi antara ia dan Tommy, jadi Tommy paham dia bukan ayahnya lagi dan tak bisa jadi ayahnya. Namun siapa sangka, mereka malah tetanggaan (jauh). Rasanya dunia ia, Tommy, dan mama seksinya Selena muter-muter saja di tempat. Kalau begini, sih, bisa runyam ya.

Dengan itu pun, Brendon segera menelepon seseorang, sang pemegang drum, sobatnya, Dani.

"Sup!" sapa Dani kala panggilan tersambung. "Siap-siap malem ini, kan?"

"Ugh, yah." Brendon menghela napas, bukan itu yang ingin dia bicarakan sih.

"Ngapa nih?" Dani pasti merasakan kejanggalan di suara Brendon.

"Gue nebeng ke kost-an lo, buat beberapa hari ke depan, boleh gak?" Brendon akhirnya angkat suara.

"Ya udah sini." Brendon bersyukur tak ada drama mengawalinya. "Tapi bayarin yak, gue bulan ini rada telat."

"Ya ya, beres. Thanks, Dan." Brendon mematikan ponselnya dan masuk rumah, mengambil tas berisi pakaian dan perlengkapan kampus serta merta gitar kesayangannya.

"Lho, Tuan Muda mau ke mana?" Sang pembantu heran melihat Brendon seperti mau minggat, kalau manggung pun paling cuma bawa gitar, tetapi ini tas gembong juga ikut.

"Gue mau nginep di rumah temen, Bibi jagain rumah ya."

"Eh, tapi Tuan Muda--"

"Gue berangkat, dah!" Belum menyelesaikan kalimatnya, Brendon sudah beranjak keluar dan naik motor, tancap gas dengan cepat menuju kost-kostan Dani. Saat sampai, ia sudah disambut Dani yang tengah bermain gitar akustik di sana.

"Lo kenapa?" tanya Dani santai, tampak pemuda itu menyimpan pertanyaan tersebut di telepon tadi dan memilih menanyakannya empat mata.

"Yah, ini soal ... anak itu."

"Tu bocil lagi?" Dani bertanya, nadanya sedikit terkejut, dan Brendon menghela napas gusar karenanya. Mulai ia menceritakan soal Tommy berdasarkan sudut pandangnya, mulai dari ketemu lagi di depan mall dalam keadaan ruwet, kemudian Tommy pingsan, dia bawa ke rumah sakit, dan kemudian pagi tadi dia berniat menjenguk karena ada rasa bersalah pada Tommy yang ternyata kabur dari rumah.

Jengukan gagal, tetapi mereka ketemu, dan Tommy malah kembali kek mode anak mencari bapaknya, dan mereka meminta dia mengantarkan pulang, siapa sangka kala mengantarkan ke tujuan ketahuanlah fakta kalau mereka malah tetanggaan. Ia pun berusaha menjauh karena takut Tommy semakin menjadi-jadi memanggilnya Papa

"Hah ... bocah memang ruwet," komentar Dani seadanya. "Bisa lama lo bakal di sini keknya Bren, mending lo sekalian aja ambil kost-an di sini, sebelah kosong tuh."

"Hm ide bagus juga sih, cuman nanti bonyok gue marah kalau gue ketahuan Dan, kalau nginep doang mah mereka gak masalah. Gue yakin gak bakal lama lah, Mamanya dah usaha jelasin."

Dani menghela napas. "Ya udah deh. Terserah."

"Thanks ya." Brendon menyengir lebar. "BTW, lo ada makanan gak nih? Laper banget gue."

"Ada mie instan di dapur tuh." Brendon garcep menuju dapur tanpa babibu seakan itu rumahnya, tak hanya membuat mie instan, pemuda itu juga membuat teh anget mantep dan menceplok telor mata sapi. "Wei, itu telor buat makan malam!"

"Alah, nanti gue beliin lagi sekilo!" Brendon meremehkan.

Dani hanya bisa menghela napas. "Dasar anak sultan." Ia meneruskan memainkan gitar akustiknya seraya bersenandung pelan.

Sementara itu di sisi lain ....

"Maaf ya, Sayang, kalau kamar kamu kecil." Selena mengusap puncak kepala putranya yang terbaring di kasur, siap tidur siang selepas makan siang dan meminum obatnya.

"Gak papa, Ma. Kan aku masih muat. Lagian badanku kan juga kecil." Keduanya tertawa pelan akan hal itu. "Papa Beebo mana, Ma?"

Selena terdiam sejenak, oh anaknya ternyata masih mencari pemuda itu, tetapi ia yakin tak akan lama karena dengan begini Selena bisa sepenuhnya menjaga Tommy sendiri, tanpa terganggu oleh ayahnya atau pekerjaan-pekerjaan lain yang biasa diberikannya.

"Dia pulang, Sayang. Dia pulang ke rumahnya."

"Mama ...." Tommy yang terlihat mulai mengantuk memanggil sang ibu lembut. "Aku yakin Papa Beebo bukan kayak Papa jahat, dia gak hanya bakalan jaga aku, tapi juga bakalan jaga Mama, kita bakalan bahagia kalau sama Papa Beebo, Ma."

Anaknya berkata, penuh keyakinan, tetapi Selena tetap bersikeras yakin akan pendiriannya. Meski demikian, wanita itu hanya tersenyum seraya mengusap puncak kepala sang putra, membiarkannya terlelap perlahan tetapi pasti, bersama senyuman hangat yang diberikannya.

Akhirnya, Tommy pun tertidur.

Selena pun segera bergerak, beres-beres rumah yang sudah lama ia beli, tetapi tak pernah ia kunjungi ataupun pakai karena menunggu waktu ini, menunggu waktu ia dan Tommy melepaskan diri dari sang kakek, yang tak pernah ikhlas akan keberadaan mereka berdua di sana, meski memberikan apa yang mereka butuhkan, jelas ada keengganan dan ketidakikhlasan di sana.

Selena menghela napas, tetapi mau bagaimanapun tetaplah dari awal ... ini salahnya.

Andai ia tak terbuai godaan pria berengsek itu ....

Masa lalunya ....

"Well, kita bisa menikahkan anak-anak kita sekarang, untuk menjalin hubungan lebih kuat, bagaimana?" tawar pria tua di hadapannya, sambil membanggakan seorang pria muda yang juga ada di sana, duduk di samping ayah dan ibunya.

Pemuda itu tersenyum, tetapi Selena merasa tak nyaman, jujur saja. Ia masih duduk di bangku sekolah, sebentar lagi pun kuliah, ingin meneruskan masa depannya, menjadi wanita independen yang kuat tak goyah akan apa pun.

"Ah, benar, Pak, itu ide yang sangat bagus." Ayah Selena setuju begitu saja karena memang yang dipikirkannya hanyalah bisnis, uang, dan kekayaan.

Namun, ibunda Selena memeluk putrinya, wanita itu menyadari jika Selena masih tak berniat naik ke jenjang sana.

"Maaf, Pak, tapi Selena masih terlalu muda untuk menikah. Dia juga ingin meneruskan kuliahnya."

"Ah, ini bisa aja, sambil nikah ya sambil sekolah ...." Ayah Selena meremehkan.

"Oh, juga, lagipula, untuk apa sekolah dan kuliah, bersamaku Selena juga gak akan pernah kekurangan apa pun." Mata Selena membulat sempurna, kaget.

"Enggak, aku gak mau!" Akhirnya gadis itu angkat suara dengan setengah berteriak, mengheningkan semuanya.

"Oh, baiklah kalau dia tak mau, kami tak akan memaksanya." Wajah pria tua itu memasam, begitupun pria muda di hadapannya.

"Eh, Pak, jangan begitu. Dia bukan gak mau, hanya tak siap--" Belum menyelesaikan kalimatnya, keduanya telah beranjak dari hadapan. "Ck, Selena, kamu apa-apaan! Kamu tahu hidup tujuh turunan kamu akan terjamin kalau kita punya jalinan dengan mereka!"

"Aku gak mau, Pah! Aku belum siap! Aku mau sekolah tinggi, dan gak mau suami--"

"Argh! Anak sialan!"

"Pah, jangan paksa Selena--"

"Kamu juga sama! Menyebalkan!"

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

PAPA BEEBO [Brendon Series - P]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang