Part 5

7.5K 592 11
                                    

16 Mei 2022

•••

Setelah lama dan lama diceramahi sang ayah yang membuat Selena sangat terpuruk meski berusaha tetap tegar, Selena akhirnya keluar dari ruangan itu, ada helaan napas lega meski rasa sakit hati masih kentara, dengan semua ungkapan nyelekit sang ayah yang begitu ngena menyindir kehidupannya.

Terutama ....

"Pergaulan bebas sialan itu, membuat kamu akhirnya punya dia." Selena memejamkan mata, isi kepalanya terngiang ungkapan itu, jiwa keibuan di dirinya mewanti biarlah dia yang mendengarkan, jangan sampai Tommy juga menerima ucapan itu terutama dari mulut kakeknya.

Langkah gontai Selena ambil ke depan, kemudian pandangannya mengedar ke sekitaran, tak ada pemuda itu, tiada pula anaknya. Mereka tak mungkin pergi begitu saja kan? Wanita itu lalu menanyai ke salah seorang pembantu yang kebetulan melintas. "Tommy mana?"

"Di kamarnya, Nyonya Muda."

"Kalau cowok sedeng itu?" tanyanya lagi.

Sejenak, sang pembantu bingung, tetapi sadar yang dimaksud segera ia menjawab, "Sudah pulang, tadi keluar."

"Bagus." Selena tak mengharapkan apa pun soal pemuda itu sekarang, meski demikian jiwa keibuannya merasa ... anaknya mungkin akan sedih. Tommy tampaknya sudah tahu kalau cowok itu sudah pergi. Ia harus segera menjelaskannya.

Selena segera melangkah ke lokasi yang dimaksud, kamar Tommy, dan benar, anak itu ada di sana. Tengah duduk di meja belajarnya sambil melakukan sesuatu di atas meja.

Saat Selena lebih dekat, wajah Tommy kelihatan intens menatap pekerjaannya, begitu fokus, dan ternyata ia tengah menggambar gambar legend, gunung kembar, matahari di tengah, rumah di bagian kaki gunung dan nyatanya di sana ada objek lain. Sepasang insan stikman dewasa dan anak kecil di tengah mereka, saling bergandengan.

"Tommy, Sayang ...." Mengetahui anaknya dalam keadaan begini, Selena bisa merasakan kekesalahan dan kesedihan mendalam di sana meski Tommy diam seribu bahasa. "Maaf, ya, Sayang."

Tommy hanya terus diam, ia menyelesaikan gambarannya sebelum akhirnya meletakkan di papan, menempelnya dengan sticky note di sana.

"Gambar kamu bagus banget," komentar sang ibu, berharap keantusiasan hadir di sana, tetapi nyatanya Tommy terus saja diam.

"Tommy--"

"Papah sudah bilang kan berhenti memanjakannya," kata sang ayah, tiba-tiba sudah ada di ambang pintu Tommy. "Dia bukan ayahmu, Tommy, kamu anak cerdas kan? Cobalah mencari tahu sendiri kenapa dia bukan ayah kamu. Papa kamu. Jangan terlalu banyak mengkhayal, faktanya ayahmu hanyalah--"

"Papah!" Selena memekik pelan, ia menatap ayahnya dengan penuh harap pria itu tak melanjutkan kalimatnya.

"Pria berengsek yang tak menginginkan kamu ataupun ibumu." Sayangnya, ucapan itu lolos begitu saja, membuat Selena menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca.

Pria itu hanya menatapnya dengan tatapan dingin tak peduli sebelum akhirnya beranjak meninggalkan keduanya. Selena kini menatap Tommy, ia masih saja diam, tak menangis, tak pula marah, Selena menghampirinya dan siap memeluknya.

Namun tanpa disangka, Tommy menepis tangan Selena. "Tommy ...."

Tommy tak berkata apa pun, ia naik ke kasurnya dan merebahkan diri, diselimutinya seluruh badannya kemudian.

"Aku mau sendiri." Mendengar perkataan itu, Selena hanya bisa pasrah.

"Nanti kita jalan-jalan ya, Sayang. Mama janji bawa kamu ke taman bermain." Lagi, Selena hanya didiamkan putranya, hingga akhirnya merasa anaknya memang perlu sendiri dulu ia pun beranjak dari sana.

Tommy menjauhkan selimut dari wajahnya. "Kenapa Mama gak bilang buat aku gak dengerin omongan Kakek, apa karena omongan Kakek itu bener, Ma? Papaku ... begitu."

Tommy memang mengharapkan ibunya menyangkal ungkapan sang kakek yang begitu menyakiti hatinya, tetapi ternyata ibunya tak melakukan itu. Seakan meski pahit, itulah kenyataan, mata sang anak berkaca-kaca.

"Enggak, enggak, aku gak mau papaku begitu." Tommy mulai menangis pelan. "Kenapa Papaku jahat? Papa Beebo juga ...."

Air mata terus turun deras di pelupuk bernetra hijaunya, Tommy kecil merengut dan terus menangis, sampai akhirnya matanya menatap ke arah jendela yang terbuka.

Haruskah?

Di sisi lain, Brendon tampak akhirnya sampai di kampus dengan wajah lelah, niatnya untuk mengambil motornya yang masih terparkir di sana saja.

"Woi, Bren! Udah beres?" Mendongak, Brendon menemukan Morgan, teman satu band-nya, sang gitaris.

"Ya gitulah, beres, dah gue gak mau mikirin itu lagi!" Brendon menghela napas gusar. "Fokus manggung besok malem!"

"Iya, iya, santai. Gue sama yang lain juga udah bantuin jelasin ke orang-orang." Brendon tampak lega.

"Ya udah, gue mau pulang, capek banget mau tidur gue." Brendon menaiki motornya.

"Yo! Tiati di jalan!" Morgan mengangkat tangan ke udara tanda perpisahan, dan Brendon balik melakukan hal sama sebelum akhirnya menjalankan motornya ke rumah.

Sampai di rumah, Brendon memarkir dan menatap sekitaran. Perbandingan rumahnya dan rumah sultan itu, jauh sekali, suasananya juga beda. Di sini tak banyak bodyguard. Ngeri deh, sekaya apa mereka. Brendon pun terus masuk, dan suasana rumah nyatanya sepi.

"Aku pulang, Mah, Bibik!" Namun tak ada jawaban. "Bibik!" teriak Brendon sekali lagi.

"Iya, Tuan Muda." Akhirnya ada sahutan, segera sosok yang dimaksud datang menghampiri Brendon, wanita yang tak tua dan tak juga muda ada di hadapannya.

"Mamah mana?" tanya Brendon to the point.

"Lho, memangnya Tuan Muda enggak dapet pesannya?"

"Pesan?" Brendon mengerutkan kening, dan segera tangannya membuka ponselnya yang ternyata mati. "Mati nih hape gue, Bik. Emang Mamah ke mana?"

"Beliau dan Papah Tuan Muda lagi ada urusan mendadak keluar kota, sebenernya mau nunggu Tuan Muda pulang tapi sepertinya tak sempat." Brendon menghela napas dan mengangguk paham.

"Ya udahlah." Toh dia bukan anak kecil lagi, ditinggal ya tak akan kenapa-kenapa, lagipula ada bibi.

"Tuan Muda, ada yang bisa saya bantu lagi? Makanan sudah tersedia di dapur."

Brendon menggeleng. "Gak, gak ada, gue mau mandi aja." Ia mencium badannya sendiri. "Bau parfum sultan." Brendon sadari, dia tidak bau, tetapi ada aroma pekat yang melekat, mungkin karena sedari tadi memeluk Tommy.

"Bau sultan?" Pembantunya mengerutkan kening, bingung dengan maksud majikannya itu yang kemudian berjalan pergi melewatinya begitu saja guna membersihkan diri, setelah membersihkan diri ia pun segera makan, makannya pun amat lahap entah kesurupan apa, sebelum akhirnya Brendon tepar di kamar.

Sejenak, ia menatap ponselnya yang baru saja dinyalakan, ternyata banyak notifikasi, terutama dari orang tuanya.

"Jangan lupa oleh-oleh banyak," kata Brendon iseng menjawab.

Dan kemudian ia menatap jam di ponselnya, pukul 3, dua atau tiga jam tidur, kemudian dia ngojek, jam bagus untuk ngojek. Setelah menjauhkan ponselnya, Brendon pun menenangkan diri. Tenang dan damai. Setelah seharian mengalami pengalaman melelahkan soal bocil, mamanya, dan kakek mereka.

Duhileh, Brendon tak menyangka cuma karena nama belakang bisa ruwet.

Pemuda itu pun memejamkan mata, jatuh ke alam mimpi yang menenangkan, tanpa diganggu kenyataan yang rada-rada menyebalkan.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

PAPA BEEBO [Brendon Series - P]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang