21

177 30 7
                                    

Setelah dari panti, Melati langsung diantarkan pulang ke rumahnya. "Thanks ya, lo udah banyak bantuin gue hari ini."

Melati hanya tersenyum seraya menganggukkan kepalanya.

"Gue duluan, jangan lupa packing," ucap Jordan sekali lagi.

"I..ya.. bawel banget sih," jawab Melati seraya tertawa kecil.

Saat hendak memarkirkan motornya, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depannya. "Eh.. Om Ahsan."

"Tumben, pulang eskulnya jam segini," ucap sang papa seraya melihat jam yang melingkar dipergelangan tangan sebelah kiri.

"Pulangnya sih tadi om, sekitar.. pukul setengah lima. Cuma tadi-"

"Tadi Meli ngerjain laporan dulu bah, ternyata masih ada dia. Yaudah, Meli minta anterin aja. Soalnya udah makin sore juga kan," timpal Melati dengan berbohong. Sedangkan sang papa hanya menatap putri sulungnya itu.

Jordan mungkin merasa tidak enak pada papa nya Melati, akhirnya dia berpamitan. "Ya, hati-hati."

"Meli.. masuk juga ya bah," ucapnya seraya tersenyum khas.

Setibanya di kamar, Melati buru-buru membersihkan dirinya. Karena kegiatan malam ini bukan waktunya untuk me time, melainkan dia harus segera berkemas untuk membereskan barang bawaannya.

"Oh iya.. harus makan malam dulu anjir. Pasti babah bakalan ngasih wejangan dulu nih, soalnya besok gue berangkat turnamen kan," ucapnya pada diri sendiri.

Melati pun turun. Dan ternyata benar saja, kedua orang tuanya beserta sang adek sedang bersiap-siap untuk makan malam.

"Euh.. lama banget," dumel Leo yang tentu tidak ada jawaban dari Melati.

Seperti biasanya, mereka melakukan makan malam dan mengobrol tentang kesehariannya.

"Bah, Leo mau jadi atlet aja ya. Pengen jadi penerusnya kayi. Soalnya seneng aja gitu, bisa keliling dunia, terus punya banyak temen dari negara-negara lain," ucapnya.

"Ya.. babah sih dukung-dukung aja kalo adek beneran serius ngejalaninnya," jawab sang papa.

"Mami juga terserah adek aja. Cuma, adek tau kan resiko jadi atlet gimana?" timpal sang mama.

"Sebenarnya.. mau jadi apapun juga pasti ada resikonya, ya kan? Kayak papa nya Fadia. Beliau kan tentara yang ditugaskan menjaga perbatasan, resikonya harus jauh dari keluarga. Terus juga mama nya Vito. Udah hampir 15 tahun, mamanya ini masih jadi guru honorer yang gajinya pun gak seberapa. Padahal jadi seorang pendidik itu berat kan," timpal Melati.

"Betul kata kakak. Cuma.. mungkin maksud mami ini, kalo jadi atlet tuh harus bener-bener kuat dari segi apapun. Resikonya udah pasti kan cedera. Tapi, ada hal lain kak. Mental kita harus kuat juga," ucap sang papa.

"Maksudnya gimana bah?" tanya Leo.

Kemudian, sang papa menjelaskan lagi, "selain kita harus punya fisik yang prima, mental juga menjadi salah satu faktor utama. Selain bawa nama sendiri, atlet tuh bawa nama Indonesia juga. Terus.. kebanyakan masyarakat tuh berekspetasi tinggi terhadap kita. Kalo menang kita pasti disanjung, sedangkan kalo kalah? Ya sudah pasti dihujat, komentar disosial media juga bakalan dipenuhi sama caci maki."

"Mental kita juga diuji, pas poin tertinggal jauh dari lawan. Kita harus kuat, harus kembali fokus. Kalo ga kuat? Perasaan kita pasti sedih, pengen nangis, takut, yang menyebabkan permainan kita jadi gak stabil. Malah jadi beban kan? Semakin down lah kita," tambahnya lagi.

"Kakak sama adek kan suka ikut turnamen bulu tangkis, nah.. gimana rasanya kalo gak nyumbang poin? Untuk grup ya ini," tanya sang mama.

"Ya.. sedih sih mi, apalagi kalo kita jadi match penentuan gitu buat masuk ke babak selanjutnya," jawab Melati.

KEPINGAN MIMPI [revisi] // on goingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang