Bab. 14

855 110 5
                                    

Saat alarmnya berbunyi, Sasha baru benar-benar terlepas dari bayangannya tentang kejadian tiga tahun lalu. Angel dan Rendi dengan mudah meminta Sasha melupakan kejadian itu. Malah katanya, Sasha seharusnya berterima kasih karena agensi sudah menyelamatkan karirnya. Persetan dengan karir, Sasha lebih baik membayar kesalahannya di balik jeruji besi, daripada harus menanggung rasa bersalah seumur hidup begini.

Melepaskan kungkungan lengan kekar Attar dari tubuhnya, Sasha bergerak perlahan. Ia tidak ingin membangunkan sang suami yang tidur sambil mendengkur. Sasha baru sadar kalau sejak tadi ia melamun diiringi alunan suara dengkuran sang suami. Berhasil menyingkirkan lengan Attar, Sasha mulai beranjak dari selimut berwarna cream yang menutupi ia dan Attar. Rasa dingin dari AC langsung menyentuh tubuhnya yang hanya terbalut gaun tidur yang tipis. Sasha tak sabar mencari keberadaan kimononya yang dilempar sembarangan oleh Attar, semalam. Sebelum turun dari tempat tidur, Sasha kembali merapikan selimut Attar, menariknya hingga mencapai leher Attar, khawatir suaminya yang tidur hanya memakai boxer itu, akan kedinginan.

Memungut kimononya dari lantai, Sasha segera memakainya, lalu keluar dari kamar. Dapur, yang menjadi tujuan langkahnya kini. Hari ini, ia ada kegiatan di luar bersama Septi, sedangkan Attar memiliki jadwal kerja shift dua, masuk pukul dua dan pulang pukul sebelas malam, seringnya malah mencapai pukul dua belas malam. Kata Attar, di dunia retail memang begitu, terbiasa berkerja dengan loyalitas. Harus bersedia bekerja over time tanpa dibayar lembur.

Tiga puluh menit lamanya, Sasha menghabiskan waktu di dapur. Sup baso dan jamur buatannya itu ia biarkan berada di dalam panci di atas kompor, tanpa ia sajikan ke mangkuk. Agar nanti Attar bisa langsung memanaskannya saat ingin makan. Sasha juga mengisi satu kotak bekal dengan nasi dan beberapa buah perkedel di sekat yang tersedia. Untuk sayurnya, Sasha mengemasnya dengan thinwall sekali pakai berbentuk bulat. Niatnya akan Sasha berikan Septi untuk sarapan nanti. Sasha sendiri tidak makan nasi hari ini. Ada pergelaran fashiow show yang harus ia ikuti minggu depan. Sasha tidak ingin kena marah Septi jika nanti berat badannya tiba-tiba bertambah menjelang hari pergelaran.

"Kalau begini caranya, bisa-bisanya karir kamu hancur, Mbak Sha!"

Seperti biasa, Sasha cuek saja melihat Septi garuk-garuk kepala akibat kelakuannya. Sasha menolak kembali satu tawaran pekerjaan dari brand lokal ternama. Alasannya, karena ia masih memiliki kontrak kerja di dua brand lain, dan jika ia menambah lagi, Sasha takut ia akan disibukkan pekerjaan hingga waktunya untuk Attar berkurang. 

Sebelumnya juga Sasha menolak tawaran pekerjaan, hanya karena fotografernya tidak Sasha senangi. Sejak dulu Sasha memang pemilih, apalagi sekarang ia sudah bersuami, Sasha menghindari pekerjaan-pekerjaan yang menjurus ke arah suramnya dunia modelling.

"Mbak Sha, kalau sudah nggak mau jadi model, bilang dong, Mbak!" kata Septi lagi.

"Ada niat ke sana sih, tapi nggak sekarang, Ti," jawab Sasha kembali melahap jambu kristal di meja.

"Ini serius, Mbak Sasha nggak mau terima?" tanya Septi lagi.

"Aku nggak mau terlampau sibuk, sampai melupakan tugasku sebagai istri, Ti."

"Lho, kata Mbak Sasha, Mas Attar mendukung karir Mbak Sasha." 

"Tapi bukan berarti aku bisa menyalahgunakan dukungan Attar itu, sampai membuat aku melupakan kodratku sebagai istri."

"Kalau Mbak Sasha sibuk, itu kan resiko Mas Attar karena menikahi seorang model," celetuk Septi.

"Terbalik dong, Ti. Bukan resiko Attar. Tapi, resiko aku karena sudah menjadi seorang istri. Aku harus menerima kalau aku tidak bisa lagi bebas mengambil pekerjaan seperti saat belum menikah, dulu."

"Dalam bayanganku, karirku ini nggak akan lama lagi, Ti," lanjut Sasha.

"Astaga, Mbak! Tamat riwayatku, Mbak! Cicilanku masih banyak. Mbak Sasha, sih enak sudah punya suami, lah aku?"

Sasha hanya terkekeh, seraya menuang kembali bubuk bumbu rujak ke atas jambu kristal dingin miliknya. "Kamu bisa ajukan ke manajemen, untuk mencari pengganti model untuk kamu dampingi. Siapa tahu, kamu dapat supermodel, Ti." 

"Dapat model kurang laku seperti Mbak Sasha aja, aku nggak punya waktu buat cari calon suami. Apalagi, kalau aku dapat supermodel," keluh Septi.

"Aku kira kamu nggak ada keinginan buat nikah, Ti. Aku nggak pernah dengar kamu dekat sama cowok."

"Ada Mba, tapi sayang cowok itu suami orang!"

Sasha tersedak bubuk bumbu rujak mendengar jawaban Septi. Septi dengan cekatan memberi Sasha air minum. "Ja…ngan coba co…ba, Ti!" Sasha mengomel di saat batuknya belum mereda.

"Maaf ya, Mbak. Aku nggak bermaksud menyinggung," ucap Septi, tak enak hati.

"Nggak apa-apa, Ti. Tapi, memang label pelakor rasanya nggak pernah akan hilang dari diri aku. Belum lagi dosa-dosa aku yang lainnya. Aku merasa begitu buruk Ti, sampai Attar datang hadir di hidupku dan menerimaku apa adanya."

"Iya, aku tahu bagaimana Mbak Sasha bersyukur memiliki Mas Attar. Tapi, Mbak, terlepas dari kehadiran Mas Attar di hidup Mbak. Mbak Sasha tetaplah orang baik, Mbak Sasha sudah banyak berubah sekarang. Boleh mencintai Mas Attar sedalam itu, tapi Mbak nggak boleh sampai lupa mencintai diri sendiri … lho kok, jadi jomblo ngenes ini yang memberi nasehat," Septi geli sendiri.

"Nasehat itu bisa datang dari mana aja, dari siapa saja, tanpa harus melihat siapa yang bicara. Yang kamu bilang, benar 'kok Ti," balas Sasha.

Septi terkekeh saja.

"Terima kasih ya, sudah mengingatkan," ucap Sasha lagi. "Tapi, saking cintanya aku dengan Attar, aku nggak mau sampai buat dia kecewa. Aku ingin selalu berusaha maksimal untuk menjadi pendamping hidup yang baik. Aku memang sudah lama menutup lembaran masa laluku yang penuh coretan hitam. Dan di lembaran baru hidupku ini, aku benar-benar ingin menjadi pribadi yang lebih baik lagi, Ti. Agar Attar tidak menyesal menikahi aku."

"Kamu sudah melakukan yang terbaik, Mbak. Mana ada Mas Attar menyesal, yang ada dia beruntung dapetin Mbak Sasha."

"Tumben kamu bilang aku yang baik-baik, Ti. Biasanya kamu ngomel terus kerjanya," ucap Sasha kemudian. 

Belum sempat Septi ingin menjawab, Sasha langsung menyambar tasnya di atas meja lalu berlari kecil ke pintu apartemen meninggalkan Septi. Ia tahu pernyataannya hanya mengundang kekesalan Septi. Kebetulan juga, Attar sudah memberi kabar kalau ia menunggu di depan lobi apartemen. Sedikit berbeda dari kebiasaan Attar selama ini yang menjemput Sasha sampai pintu apartemen. Namun, Sasha tidak mengambil pusing, ia berpikir mungkin saja Attar lelah, karena hari memang sudah malam.

Membalas sapaan seorang satpam yang menjaga lobi, Sasha mengulas senyum lalu menuruni undakan tangga. Berlari kecil, Sasha menghampiri mobil Attar yang terparkir tidak jauh dari sana. Dari arah belakang mobil Attar, Sasha melihat kaca di sisi kursi kemudi yang di duduki Attar terbuka. Sasha berjalan mengendap-endap berniat mengagetkan Attar.

Dengan jarak dua langkah lagi, Sasha baru menyadari Attar sepertinya sedang menerima telepon. Sasha memilih diam sebentar, untuk bersembunyi. Baru nanti ia mengagetkan Attar, setelah Attar selesai dengan ponselnya. Namun, kalimat Attar yang ia dengar membuat tubuhnya menegang seketika.

"Jangan coba-coba memunculkan wajah di depan Sasha lagi, atau saya akan membuat kamu jadi gelandangan! Dan jangan coba-coba berniat menghancurkan rencana saya terhadap Sasha!"

Belum terjawab kebingungan Sasha, mengapa kemarin Attar mengomentari berita tabrak lari dengan nada yang tinggi. Sejauh mengenal Attar, pria itu selalu bertutur kata baik dan lembut dengan tidak menghilangkan aura ketegasan dalam nada bicaranya. Kali ini, malah menambah keanehan Attar yang tidak Sasha pahami. Attar marah dengan siapa? Lalu, rencana apa yang Attar punya untuknya?

TBC

Terima kasih vote dan komennya cintaku ❤

'Crush' On You ✅ | Lengkap Di KaryakarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang