Bab. 25

1K 99 9
                                    

Sasha menyipitkan matanya, menghindari cahaya silau yang menyeruak masuk ke indera penglihatannya itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sasha menyipitkan matanya, menghindari cahaya silau yang menyeruak masuk ke indera penglihatannya itu. Butuh beberapa detik baginya untuk menyesuaikan diri, hingga ia bisa membuka mata sepenuhnya. Kantong cairan infus yang tersisa setengah, yang tergantung di sebuah tiang, menjadi objek pertama yang ia lihat begitu membuka mata.

Pandangannya turun mengikuti selang infus, yang berujung pada jarum infus yang tertancap ditangannya. Mendesah pelan, Sasha mengingat terakhir kali, sebelum ia sadar dan terbangun di atas brankar yang ia tiduri saat ini. Tadi, Sasha seolah merasa tidak sanggup lagi menghadapi sikap Attar yang tidak bisa sama sekali ia sentuh. Sebuah sikap yang sama sekali tidak Sasha duga akan ia dapatkan dari suaminya itu.

Netranya kembali menyisir ke setiap sudut ruangan. Dari kalender meja yang berderet rapi dengan vas bunga di nakas samping brankarnya, Sasha mengetahui kalau ia berada di sebuah klinik yang berlokasi tidak jauh dari komplek perumahan tempat ia dan Attar tinggal. Menggeser pandangannya ke sisi kanan, Sasha dapat melihat Attar tengah duduk di sisi kiri brankar, dan tanpa sengaja mata mereka bertemu.

"Sha!"

Sasha memiringkan tubuhnya, memunggungi Attar seraya menutup mata. Rasanya ia masih tidak sanggup jika harus menghadapi Attar yang marah dan bersikap acuh padanya. Ia tahu apa yang ia lakukan saat ini cukup bodoh, tidak mungkin ia pura-pura tidur lagi, sedang Attar sudah mendapatinya sudah sadar. Dari derap langkah yang terdengar, Sasha dapat menebak Attar berjalan cepat mengitari brankar, untuk melihatnya lebih dekat.

"Kenapa, Sha? Masih pusing? Kepala kamu sakit?" tanya Attar.

Sasha merasakan sentuhan lembut tangan Attar di kepalanya. Ia pun perlahan membuka mata, dan raut wajah khawatir Attar menyambutnya. 

"Yang mana yang sakit, Sha … sebentar aku panggil perawat dulu."

"Tunggu!"

Tangan Sasha yang menyentuh lengan suaminya, itu digenggam lembut oleh Attar. Attar mengurungkan niatnya untuk pergi dan kembali mendekat pada sang istri. Ia bersimpuh, menopang tubuh dengan kedua lututnya yang kini menyentuh lantai. Membuat kepalanya kini sama tinggi dengan brankar Sasha, hingga ia mudah menatap wajah pucat istrinya itu.

"Aku baik-baik aja, cuma agak lemas sedikit."

"Syukurlah," ucap Attar lalu mengecup kening Sasha berulang kali. "Syukurlah, kalau kamu baik-baik saja, Sha," ucapnya lagi seraya menatap sang istri dengan lekat.

"Maaf, aku jadi merepotkan kamu," balas Sasha, sendu.

"Ssst," Attar meletakkan jari telunjuknya di bibir ranum sang istri, ia menggeleng pelan lalu kembali menarik jarinya. "Nggak Sha, kamu sama sekali nggak membuatku repot. Justru aku merasa bersalah, kamu sakit hingga jatuh pingsan seperti itu. Bagaimana kalau kamu pingsan saat aku belum pulang, di rumah, sendirian? Aku minta maaf ya, Sha."

Sasha mengangguk pelan, seraya memejamkan mata, memeras air mata yang ia tahan sejak tadi hingga memberi efek sesak pada dadanya. Sasha menangis tergugu seketika, seraya menggenggam erat kedua tangan suaminya. "Maaf, maafkan aku, Mas. Tolong, jangan marah lagi. Aku nggak bisa, aku nggak bisa begini. Jangan tinggalkan aku lagi. Salahkan aku, marahi aku, tapi jangan pergi meninggalkan aku, Mas."

Perasaan takut kehilangan memang begitu menghantuinya. Sosok Attar jelas sangat berarti baginya. Bukan karena Attar pria yang bisa menerima kekurangannya, tapi ini perihal Attar yang sudah menjadi bagian hidupnya. Sasha mencintai Attar lebih dari pada dirinya sendiri.

Sasha tak mendengar jawaban dari Attar. Namun, rasa hangat pada tubuhnya yang berasal dari dekapan tubuh Attar ia anggap sebagai jawaban setuju dari suaminya itu.

***

"Pingsan? Kok bisa? Kamu nggak pernah sakit sampai separah itu lho, Mbak!"

"Nggak parah, Ti! Sekarang aku sudah lebih sehat, kok," balas Sasha.

"Pasti karena banyak pikiran, ya? Iya? Mikirin apa sih, Mbak! Kamu itu sangat menjaga kesehatan lho. Olahraga teratur, vitamin juga rutin diminum setiap hari, bagaimana bisa … ."

Suara dehaman Attar mrnginterupsi kalimat Septi. Sasha sendiri hanya tersenyum geli karena Septi lantas mematikan sambungan telepon. Sasha sudah bersiap menyambut pesan masuk dari Septi yang akan mengomel, karena ia tidak bilang panggilan teleponnya tadi dalam mode loud speaker.

Menyimpan kembali ponselnya ke atas nakas setelah membaca pesan berisi sumpah serapah dari Septi, Sasha kembali merapatkan tubuhnya pada sang suami. Kini ia dan Attar tengah berbaring, sudah bersiap untuk tidur. Kemarin, beberapa jam setelah sadar  Sasha yang didiagnosa hanya kelelahan saja oleh dokter di klinik yang merawatnya, pulang ke rumah satu jam kemudian. Hari ini, Attar juga mengambil libur demi menjaga Sasha di rumah. Sasha sangat menikmati kebersamaannya dengan Attar, hari ini.

"Seandainya aku bisa seperti ini, setiap hari," ujar Sasha, yang kini dagunya mendarat manja di atas dada Attar.

"Seperti ini, bagaimana sayang?" tanya Attar, lembut. Padahal tangannya terasa kebas, setelah digunakan sebagai bantal oleh Sasha sejak tadi.

"Di rumah, jadi istri sesungguhnya," balas Sasha.

"Hei, yang bilang kamu istri jadi-jadian, siapa?" 

Sasha merajuk mendapat balasan seperti itu dari suaminya. "Bukan begitu, maksudnya."

"Lalu, apa?"

"Aku, aku ingin berhenti dari pekerjaanku. Ingin di rumah saja, fokus mengurus kamu."

Attar terkekeh. "Kamu mendefinisikan 'istri sesungguhnya' seperti itu? Di rumah saja, mengurus rumah, mengurus suami, begitu?" tanya Attar.

Sasha mengangguk. 

"Aku menghargai, niat mulia kamu itu, Sha. Tapi kamu salah pengertian. Kamu tetap menjadi istri yang sesungguhnya, kamu sudah menjadi istriku yang sempurna selama ini. Kamu sangat bertanggung jawab atas tugas-tugasmu sebagai seorang istri. Kamu juga bertanggung atas karirmu yang semakin baik. Aku bangga memiliki kamu. Aku bersyukur memiliki kamu, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang kamu miliki saat ini, Sha. Jangan pernah berpikiran kalau kamu harus di rumah saja hanya demi menyenangkan hatiku."

"Tapi, aku memang berniat berhenti dari pekerjaan ini. Sebagai gantinya, mungkin aku akan membuka usaha. Sekarang aku masih memikirkan kira-kira peluang usaha apa yang bisa aku coba nanti," jawab Sasha. "Aku ingin memiliki lebih banyak waktu bersama kamu, Mas."

Sejujurnya Attar merasa sangat tersentuh, mendengar Sasha begitu ingin mengabdikan dirinya sebagai seorang istri yang baik. Ia tidak pernah menyangka Sasha yang dulu ia kenal sangat gigih merintis karirnya, kini dengan mudah mengatakan ingin meninggalkan pekerjaanya itu. Sebagai sorang istri, Sasha benar-benar jauh melampaui ekspektasi Attar. 

Sebelum menikah, Attar mengira setelah mereka menikah nanti, Sasha akan fokus dengan pekerjaan dan mengabaikan dirinya sebagai suami. Namun, yang terjadi justru sangat mengagungkan dirinya sebagai suami. Attar berada di nomor teratas dalam daftar prioritas hidup Sasha. Sama, seperti balas dendam yang berada di urutan pertama, mengalahkan cinta untuk Sasha yang tidak seberapa besarnya.

"Apapun keputusan kamu, aku mendukungnya sayang," ucap Attar lalu mencium lembut bibir istrinya.

TBC

Double!

'Crush' On You ✅ | Lengkap Di KaryakarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang