Semester dua, kelas dua dimulai.
Liburan kemarin masih menyisakan kemalasan dan saat pagi-pagi menerobos gerbang sekolah, rasanya pikiran mereka di tempat tidur terus.
Denise saja menguap sepagian ini, efek begadang bermain game online sampai pagi buta. Dia capek bermalasan, tapi mending bermalasan daripada masuk sekolah.
Tiga hari awal masuk, memang belum ada pelajaran. Mereka membersihkan kelas dulu yang berdebu. Menerima jadwal mata pelajaran baru. Menerima buku baru dan menukarnya yang lama.
Dipanggang di bawah terik matahari di aula untuk menyambut pidato panjang dari pak kepala sekolah yang tidak bakal didengar. Tak luput juga sindiran insiden geng Taeyong. Kasus mandek tanpa kejelasan penyelesaian. Seakan semua dianggap angin lalu.
Baik Dita dan Soodam tidak lagi terseret. Pun tak banyak tanya juga tak ingin cari tahu perihal bagaimana semua itu bisa terselesaikan sangat cepat.
Mereka hanya tahu bahwa Taeyong telah bertanggung jawab penuh.
Selebihnya, mereka punya waktu bebas untuk melakukan apapun dalam balutan baju olahraga.
Ketimbang bermain seperti kebanyakan siswa, kelima gadis kental itu melingkar di undakan, seberangnya lapangan basket out door.
Ada yang mengenali dalam sapa pendek dan lambaian sambil lalu. Setelah itu fokus pada permainan basket.
Dita mengenalinya sebagai anggota geng Taeyong. Tapi mereka tak mendekat. Lebih parahnya ketika Dita melambaikan tangan dengan amat bersemangat kepada Haechan, tapi pemuda itu justru melengos, pura-pura tak melihat. Malah sibuk dengan kegiatannya bermain basket dengan yang lain.
Dita menurunkan tangan amat lesu. "Padahal dia sendiri yang berharap oleh-oleh. Apa dia sudah berubah pikiran?" Gumamnya sendiri.
Jinny yang mendengarnya, berkomentar. "Sudahlah, abaikan mereka. Mungkin itu yang terbaik."
Jinny barangkali benar, kasus yang terjadi telah membangun tembok tinggi di antara mereka.
Memang menyesakkan, tapi mau bagaimana lagi. Batasan itu lebih baik untuk saat ini. Perlahan membantu Dita untuk bangkit dan memulai hidup seperti biasa sebelum Taeyong mengacak-acak hidupnya.
Daripada memikirkan hal menyedihkan, mereka melingkar dan bercerita tentang kegiatan selama liburan kemarin dengan riang yang dipaksakan. Ujung-ujungnya juga masalah yang sebenarnya enggan menjadi tema, terserat tanpa sadar dalam obrolan.
"Kakakmu sudah gila. Menumbalkanmu ke sarang serigala. Kau harusnya menentangnya!" Denise mencak-mencak pada Lea yang cenderung memasrahkan diri pada keadaan.
"Aku lelah ribut. Aku lelah dengan semuanya. Kau akan mengerti jika di posisiku, kau akan tahu mengikuti arus sungai adalah satu-satunya pilihan." Nada rendah yang keluar mulut Lea membungkam kemarahan Denise. Melihat keputus asaan Lea, gadis itu garuk kepala merasa bersalah.
"Maaf." Denise langsung memeluk Lea dari samping dan ikut berempati padanya untuk masalah keluarganya yang kacau.
"Kalian sadar tidak kalau liburan musim panas kali ini kita banyak ditimpa musibah secara bersamaan?" Jinny berkomentar.
Dita mengangguk, begitu juga dengan yang lain dengan amat lesu.
"Aku tidak ingin dijodohkan? Bagaimana aku bisa menyakinkan ayah kalau Jungwoo Oppa tidak bersalah!" Suara Soodam menyerak. Matanya terlanjur berkaca-kaca. Tinggal menunggu waktu bakal meleleh, tapi gadis itu hebat bisa menahan diri untuk tidak menangis. Jinny di samping Soodam mengelus lengannya dan tanpa segan memeluk gadis itu.
"Aku juga." Dita bergumam sambil meremas kaos olahraganya. "Berharap aku dan Taeyong bisa berbicara baik-baik, ternyata keinginan kecilku itu saja sulit terjadi."
Sangat menyesakkan, mengingat kembali usahanya menelepon Taeyong dan berakhir pada kesalahpahaman.
Sebetulnya ia tidak marah saat ia dimaki habis-habisan. Dita mengerti betapa berat beban Taeyong sehingga membuat emosi pemuda itu tidak stabil. Meski begitu, ia tak memiliki keberanian lagi untuk mengangkat telepon Taeyong. Pada akhirnya ia biarkan semua kesalahpahaman itu tanpa kejelasan sampai detik ini.
Meskipun penjelasan Yanan tentang pemuda itu yang diajaknya bertemu, pun tak mengubah pribadi Dita untuk berusaha lebih keras lagi mengajak Taeyong bertemu. Karena ia mengerti sulitnya pemuda itu untuk melanggar janjinya pada Seulgi. Maka Dita mau tak mau mengikhlaskan, bahwa ujung-ujungnya sekadar bertegur sapa saja, adalah hal yang mustahil terjadi.
"Kalau dipikir-pikir masalahku tidak seberat kalian. Aku merasa bersyukur aku hanya patah hati dan tak lama, aku sudah menemukan pengganti Jaehyun. Aku harus menemukan si pemberi roti itu secepatnya!" Kobaran api nyata menyala di kedua mata Jinny lengkap dengan tangan mengepal di udara.
Sepertinya tidak ada yang bisa menggoyahkan semangat Jinny dalam hal percintaan, karena dia tipe agresif nan ambisius yang bakal melakukan segala hal demi bisa menggapai apa yang diinginkannya.
"Aku tidak tahu harus berbuat apa untuk meringankan masalah kalian, aku hanya bisa berdoa semoga Tuhan secepatnya menyelesaikan masalah kalian, jika kalian masih percaya pada-Nya," ungkapan Denise memang klise. Nasihat yang sering digaungkan jika manusia sudah buntu. Tapi itu lebih baik daripada tidak peduli sama sekali.
"Kau yang mendengarkan kami, itu sudah cukup, Nise." Lea menukas. Dan sambutan senyuman Lea menular pada yang lain. Denise yang bermuka sedih karena menyesal tidak bisa berbuat apa-apa saja, ikut tersenyum.
"Bagaimana kalau Minggu ini kita mengadakan pajamas party. Kita bisa berteriak, melakukan hal-hal bodoh dan tentu saja melupakan para bedebah yang sudah menyakiti kalian."
Ide Denise seketika melebarkan senyum dan itu jadi awal mereka tertawa terbahak-bahak. Selama mereka menipu diri mereka dengan tawa, insiden baru saja melayang di atas kepala mereka. Sasarannya tak terduga. Kepala Dita.
Baru saja sebuah bola basket melayang dan mengenai kepala Dita. Menciptakan lengkingan kesakitan dan tak hanya syok bagi sahabatnya saja, melainkan si pelempar yang tak sengaja serta seisi lapangan ikut melebarkan mata.
Haechan berlari pontang-panting menghampiri Dita dengan panik, tapi baru setengah lapangan yang ia lalui, kakinya membeku di tempat. Matanya melotot tajam ketika seseorang yang tak terpikirkan, datang dalam langkah tegas. Lebih dulu menghampiri Dita.
Pun sahabat Dita mendongak dengan ekspresi lebih terkejut, apalagi Dita otaknya mendadak kosong melompong mengamati kedatangan orang tersebut.
Dirasaknnya tubuh Dita melayang ringan. Dalam sekejap, ia berada di dalam gendongan.
Orang-orang meneriaki namanya, namun Dita belum sadar sepenuhnya apa yang telah terjadi. Ia hanya mengamati rahang tegas itu dari bawah sambil berpikir keras sebenarnya apa yang sedang dilakukan pemuda ini, mengapa ia menggendongnya?
Lantas nama selain dirinya disebutkan lantang oleh orang-orang di belakang.
"Taeyong, mau dibawa ke mana Dita!?
Barulah Dita sadar-sesadarnya bahwa orang yang menggendongnya sekarang ini dalah Taeyong.
"Oppa!!!" Dita berteriak sangat keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tetangga Menyebalkan 🔚
FanfictionBertetangga dengan Taeyong, harus menyetok persediaan sabar banyak-banyak. pasalnya pemuda itu sering mengadakan pesta sampai pagi buta di akhir pekan, membuat Dita yang suka kedamaian menangis meratapi insomnia. Kalau ada award orang tersabar di du...