empat puluh lima

695 144 26
                                    

"Pulanglah."

Kepala Taeyong tersentak dari posisi menunduk. Suara teduh Han Min Jung mengalihkan Taeyong dari ruwetnya masalah yang melilit neuronnya belakangan ini. Ibu Seulgi itu  tahu-tahu berdiri di sampingnya, entah sejak kapan wanita itu di sana. Tebak Taeyong, ibu Seulgi telah mendengar semua isi teleponnya tadi.

"Pulanglah." Lagi saran itu dikemukakan. "Kau sudah lama tidak pulang. Orang tuamu pasti butuh penjelasan dan kau juga sangat butuh istirahat."

"Aku tidak bisa meninggalkan Seulgi."

Han Min Jung merespons dengan mimik kasihan, melihat betapa Taeyong jauh lebih buruk dengan tampilan wajah kuyu kurang tidur. Kurus, jarang makan. Kalau tak diingatkan Min Jung, tak bakal makan Taeyong. Juga tanpa hasrat semangat menjalani hidup.

Sudah banyak hal yang telah Taeyong perbuat untuk Seulgi. Dari menyelamatkan nyawa anaknya, hingga merawatnya walau belum pulih sempurna dari diagnosa dokter—bipolar.

Amat tahu benar jika Taeyong berat meninggalkan Seulgi dikarenakan khawatir perubahan suasana hatinya yang sulit dikendalikan. Ketika turun, turun sangat ekstrim. Cemas, tertekan, sedih yang tiba-tiba datang dan berakhir melukai diri sendiri dengan luapan emosi masif.

Min Jung paham betul, kalau Taeyong sedang menebus kesalahannya kepada Seulgi yang sempat meninggalkan gadis itu. Tekad yang dimiliki pemuda itu begitu besar. Sayang, ia terlalu memforsir diri sendiri, baik tenaga maupun mental Taeyong dalam hal memperbaiki keadaan, yang sebetulnya bukan semata-mata kesalahan Taeyong saja. Han Min Jung tidak sepenuhnya menyalahkan Taeyong. Dalam hal ini, putrinya berpengaruh besar turut andil.

"Tapi kau punya kehidupan dan masalah sendiri yang perlu diselesaikan segera, Taeyong. Seulgi bisa dikesampingkan sebentar. Bibi akan membujuknya."

Taeyong menunduk, berpikir barang sebentar. Sebelum akhirnya ia mengangguk pelan. Berdiri ia menuju kamar Seulgi. Sedikit ragu untuk memasukinya, tapi Min Jung mendorong pintunya dan itu sebagai titik awal di mana Taeyong terlanjur berani ambil keputusan dan ia tak bisa menunda-nunda lagi.

Memandang Seulgi di atas ranjangnya, duduk berselimut, terpekur menatapnya sayu, Taeyong membasahi bibir sejenak. 

"Aku harus pulang Seulgi." Pemuda itu cepat-cepat menjelaskan, takut tempramen Seulgi kambuh lagi. "Tapi aku akan segera ke sini setelah urusanku dengan ayahku selesai. Aku janji!"

"Sayang," ibunya mendatanginya. Mengelus kepala anaknya pelan dengan seluruh kasih sayang yang ia punya. "Taeyong sudah merawatmu dua puluh empat jam dalam seminggu ini. Ia tidak pulang sama sekali.  Beri dia sedikit waktu untuk keluarganya dan ia butuh istirahat sebentar untuk memulihkan kesehatannya yang tidak baik-baik saja. Bagaimana ia bisa menjagamu, kalau Taeyong sakit? Kau pun tidak ingin Taeyong sakit, bukan?"

Seulgi dengan mata selidiknya, terselip cahaya khawatir. "Kau sakit?"

"Tidak!" Taeyong tersenyum sendu. "Aku tidak sakit. Hanya saja aku butuh istirahat sebentar dan bertemu dengan ayah dan ibu. Mereka sedikit mencemaskanku."

"Kau hanya akan bertemu dengan orang tuamu, kan. Bukan dengan gadis itu?"

"Tentu saja, aku sudah berjanji padamu. Mana mungkin aku mengkhianatimu."

Sepatah katapun tak terucap dari bibir, Taeyong menanti dalam resah izin dari gadis itu. Hanya malam ini saja Taeyong memiliki kesempatan untuk membuktikan tanggung jawabnya di depan orang tua Dita. Jika bukan sekarang, barangkali dirinya bakal diblacklist orang tua Dita dan kemungkinan besar untuk bertemu Dita lagi sangatlah kecil, atau bahkan tidak ada. Meski pada akhirnya keputusannya untuk meninggalkan Dita adalah keinginan terakhir yang harus ia lakukan.

Tetangga Menyebalkan 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang