60

503 88 8
                                    

Sungguh kalaupun ada yang menyenangkan sekaligus menyebalkan tentu saja momen sekarang ketika Dita, mamanya, Jinny dan papanya belanja bersama di pusat perbelanjaan.

Jinny yang dengan mulut tanpa remnya tiba-tiba membongkar rahasia Dita kalau gadis itu memiliki banyak mantan pacar dan sekarang dekat dengan Nite—cowok tertampan di kampus—setelah putus dengan So Jun.

Mamanya tentu marah besar. Apalagi papanya. Mereka menyidangnya dadakan di tengah orang-orang yang sedang mendorong troli berisi sayuran dan kebutuhan dapur. Betapa malunya Dita.

"Kamu kissing sama mereka semua!?" Papanya bereaksi berlebihan dengan kerut tuanya yang memenuhi wajah, terselip kemarahan.

"Nggak! Sstt, bisakah kita bicarakan di apartemen? Kita ada di tempat publik, ingat?" Dita mencoba meredakan kemarahan papanya dan bernegosiasi.

"Oke!" Papanya setuju. "Ingat jujur sama papa!"

"Dita jujur!" Tak lupa dengan kedua jari terangkat, membuktikan ia tidak berbohong.

Perdebatan itu hanya sementara terjeda sampai nanti benar-benar terselesaikan sepulangnya dari tempat pusat perbelanjaan. Jinny cuma nyengir saja. Ia merangkul Dita dan mengajaknya mengikuti kedua orang tua Dita yang berjalan duluan sambil mendorong troli, sementara itu Dita tidak henti-hentinya menyumpah serapahi gadis ember itu sepanjang jalan.

Perkara berbelanja selesai. Mereka berempat pulang menggunakan taksi dan sedikit terlambat karena jalanan licin akibat salju di mana-mana. Sepulangnya, pemanas ruangan dinaikan suhunya. Setelah membersihkan diri, Mama Ega memasak dibantu Dita dan Jinny yang kebanyakan ketawa ketimbang membantu.

Makan siang sederhana sudah siap. Mereka berkumpul di ruang tengah sambil menonton tv. Habis makan dan beberes piring kotor yang ditugaskan Dita dan Jinny yang membantu membersihkan, saatnya membuka kado untuk Jinny.

Seharusnya momen memberikan kado tepat di hari natal, pikir Jinny. Namun mama Ega sudah menyiapkan dua kado. Satu untuk hari itu karena mama Ega sudah tidak sabar memberikannya untuk Jinny. Kedua nanti di hari natal ada kado tersendiri.

Saat dibuka dengan amat antusias bungkus kadonya, ternyata kalung dengan liontin berbentuk jejak kaki kucing. Pantaslah Jinny senang bukan main. Kucing adalah hewan kesayangan. Ia memiliki satu kucing di apartemennya. Ia bahkan berjingkrak lantas memberikan satu per satu pelukan untuk mama Ega dan papa Andra.

"Thanks, Mom Dad! Jinny suka banget." Karena saking akrabnya Jinny dengan mereka karena persahabatannya dengan Dita, Jinny sudah dianggap anak sendiri oleh kedua orang tua Dita sehingga tidak canggung lagi Jinny memanggil mereka dengan panggilan mom and dad.

"Sama-sama. Terima kasih juga, ya sudah menjaga Dita untuk kami."

"Bukan masalah besar, Mom. Dita emang harus diawasi, kalau gak bakal kelewatan batas," celetuknya sambil mengerling jail ke arah Dita yang mengerucutkan bibir amat jelek.

"Dita mana?" Dengan tampilan cemberut, Dita menampakkan kecemburuan melihat ibunya membantu memakaikan kalung ke leher Jinny.

"Kamu bilang gak minta apa-apa. Cukup mama dan papa menonton dan mendukungmu langsung di acara pertunjukkan pertamamu itu sudah sangat membahagiakan untukmu. Kemarin kamu bilang sendiri. Masa lupa?" Papa Andra mengingatkan dan hal itu sukses bikin Dita makin badmood.

"Terserah, deh!"

Mama Ega tersenyum lantas memberikan elusan di kepala Dita sebagai tanda sayang sekaligus menenangkan. "Kamu akan dapat hal paling spesial nanti di hari ulang tahun sekaligus di hari natalmu."

Kali ini rasanya berbeda. Tidak biasanya mamanya mengatakan hal semenarik itu dengan raut sebinar itu. Karena biasanya hanya tukar kado biasa dan tiup lilin. Jika sudah menjanjikan hal sespesial seperti itu, maka benar ia akan benar-benar mendapatkannya. Mamanya tidak pernah bohong kepadanya. Lagipula Dita tidak begitu tertarik dan tidak pula berharap lebih.

"Jadi soal kissing, kita luruskan di sini!" Papanya yang tadinya senang karena sudah menjaili anaknya, kini mengubah raut serius setengah marah.

Dita menghela napas. Ia menyiapkan amunisi dan banyaknya argumen yang disiapkannya jika perdebatan menjadi alot. "Pa, Ma. Dita akui selama kuliah di sini sudah ada banyak cowok yang nembak Dita dan kesemuanya sudah menjadi mantan. Gak tahu berapa mantan yang Dita miliki. Semua berakhir dalam hitungan bulan, paling cepat hitungan Minggu. Selama pacaran kita gak pernah macem-macem. Kencan pun sekitar kampus paling jauh cuma di sekitar kampus saja. Itupun kami cuma ngobrol. No kissing or hugging. Karena jika mereka melakukan itu Dita langsung putusin dan mereka menerimanya dengan baik. Gimana? Cased closed?"

Andra berdeham sambil mengusap dagu. "Jadi, siapa pacarmu sekarang?"

"Nite. Cowok tertampan di kampus. Juga partner Dita di pertunjukan." Bukan Dita yang menjawab melainkan Jinny yang bersemangat menyambar.

Membuat Dita mendelik tajam. Kesal kepada Jinny yang seakan-akan menaruhnya pada posisi terdakwa. Sebagai saksi sekaligus kompor, Jinny berhasil membuat Dita lama-lama mendapatkan hukuman berat kalau dibiarkan begitu saja. Sementara Jinny tersenyum mengejek, seolah merasa tidak bersalah sama sekali.

"Kami baru dekat, kok." Dita memberi pembelaan.

"Tapi kamu menyukainya, kan?"

"Siapa yang gak suka sama cowok tampan? Siapa tahu dia bakal jadi menantu papa." Dita bersungut-sungut merasa papanya terlalu over protektif.

"Let see. Kalau dia gak sesuai kriteria papa. Siap-siap kamu jauhi dia."

"Ya ya! Sekarang udah, ya sidangnya."

Siang itu mereka habiskan untuk mengobrol santai sambil ditemani teh hangat dan empat kotak pizza ukuran jumbo habis begitu saja. Tahu-tahu waktu menginjak sore. Jinny berpamitan dan berjanji akan datang esok hari lagi untuk ikut sarapan.

"Tidak ada sarapan untukmu!" Dita yang sudah jengkel akan kehadiran Jinny mendorong Jinny ke arah pintu keluar. Lebih tepatnya mengusir Jinny.

"Tanpa seizinmu pun aku akan tetap datang! Bye Mom Dad!" Jinny buru-buru berpamitan sebelum Dita benar-benar mendepaknya.

Di pintu apartemen, Jinny menyempatkan berbicara. "Dit!"

Dita berkacak pinggang, bersikap menantang. "Apalagi? Belum puas membuat hariku buruk dengan ulah menyebalkanmu?!"

Jinny nyengir, tapi sungguh cengiran itu bukan bentuk permintaan maaf sesungguhnya, melainkan kebanggan bisa membuat Dita tak bisa berkutik di depan kedua orang tuanya.

"Bukan." Tiba-tiba Jinny mengubah raut wajah sedetik saja yang langsung mengherankan Dita. "Hanya saja ... Eum ... Gimana ya ngejelasinnya." Sambil garuk kepala, sudah cukup bagi Dita untuk menebak kalau Jinny menyembunyikan sesuatu darinya.

"Apa yang kamu sembunyikan dariku?"

Jinny gelagapan. Ia langsung menggeleng kencang. "Ah, gak ada apa-apa. Eum ... cuma Mama Ega benar, kamu bakalan dapat hadiah spesial. Sudah, ya!" Gadis itu menjelaskan dengan amat buru-buru sampai Dita tidak memiliki kesempatan untuk meminta penjelasan lebih.

"Kamu bersekongkol dengan mamaku, ya?!"
Gadis itu masih berdiri mengiringi langkah Jinny yang setengah berlari menuju lift. Jika dipikir-pikir, mana mau Jinny jujur. Pasti ada apa-apanya. Lagipula Dita mana peduli. Toh, nanti di hari ulang tahunnya ia bakal diberitahu.



Tetangga Menyebalkan 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang