enam

1.9K 284 15
                                    

Ketika seseorang merasa paling bahagia di dunia, itu tandanya dia telah mendapatkan sesuatu yang paling diinginkan.

Perihal alasan Dita merasa begitu adalah Yanan sendiri.

Akhir pekan, libur sekolah jalan dengan gebetan, bukankah sebuah mimpi? Orang yang cuma dilihat diam-diam dalam kagum selama setahun belakangan. Hanya bisa digapai dalam angan, kini berjalan di sampingnya dalam ritme sama.

Dua jam, entah lebih, sebelum jalan, Dita membongkar lemarinya. Melempar isinya untuk mencari pakaian yang cocok sesuai kondisi.

Menjajal setiap outfit dan dandanan di depan cermin seolah nyawanya sedang dipertaruhkan. Tentu saja, kesan pertama itu penting seperti sebuah pertaruhan.

Jika impresif, bukan tidak mungkin akan ada episode jalan-jalan berdua berikutnya.

Dita berharap lebih Yanan terkesan dengan penampilannya. Syukur-syukur terpesona.

Anggaplah perjuangan Dita seperti gadis yang sedang berkencan, walau kenyataannya bukan. Ia terlalu percaya diri mengeklaim dirinya sudah selangkah lebih maju dalam proses pendekatan.

Memang masih abu-abu perasaannya tersambut. Tak apa. Ia adalah gadis paling optimis pada peluang sekecil apa pun. Asal pemuda itu masih menyendiri, Dita akan mengegas seluruh tenaganya setiap kesempatan itu datang.

Seperti sekarang, tawaran menjadi pengajar tari, diterima tiga hari lalu tanpa pikir panjang lagi. Dan mereka baru saja dari studio baru milik teman Yanan. Bernama Hui.

Orangnya tegas, tapi ramah. Meminta Dita menunjukkan bakat tari.

Dipantau Hui bukan masalah besar, justru kendala terbesar adalah eksistensi Yanan, ikut melihat geraknya tiap inci.

Apa aku melakukan kesalahan?

Apa gerakanku benar?

Apa aku jelek sekarang?

Teror pikirannya sendiri yang menciptakan gugup, takut Yanan kecewa dan malu. Ternyata orang yang direkomendasikannya tak sehebat yang dikira.

Saat musik habis. Ditutup tepukan beriring, Dita mengeluh beban pikirannya bertambah. Ia menatap Hui dalam balutan gelisah dan napas memburu. Ia takut dikomentari tidak bagus.

"Kau tahu mana bagian gerakan yang harus ditekan dan diperhalus. Tempo selaras ritme musik. Hanya saja gugup membuat gerakanmu terkesan kaku. Aku maklumi, siapa pun akan gugup untuk pengalaman pertama. Selebihnya, oke. Kau punya bakat. Yanan tidak salah merekomendasikanmu." Hui menjelaskan.

Nyaris saja Dita mati jantungan. Memang belum maksimal, tapi komentar Hui lebih dari cukup menenangkannya.

"Dita bisa berlatih lebih keras, dia orang yang pekerja keras." Yanan menyerahkan sebotol air mineral yang dengan malu-malu disambut Dita bersama ucapan terima kasih.

Kalau boleh Dita geer sedikit, ucapan Yanan seperti terselip pujian untuknya. Dalam minumnya, gadis itu menahan senyum untuk dirinya sendiri.

"Berhubung kau masih sekolah, kau boleh datang di akhir pekan. Nanti aku kasih jadwal lesnya."

Dita mengangguk bersemangat. Gembiranya tumpah-tumpah, berbentuk senyum love nyaris merobek bibir. Kalau tak ingat harus jaga imej kalem di depan gebetan, barangkali ia langsung berteriak dan melompat seperti monyet dapat pisang.

Pertemuan itu berlanjut pada obrolan basa-basi santai tentang karir Hui yang seorang lulusan terbaik universitas seni terkemuka di Seoul. Bekerja di agensi lumayan, sebelum akhirnya ia memberanikan diri membuka studionya sendiri.

Tetangga Menyebalkan 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang