"Berikan aku alamat di mana Seulgi dirawat sekarang?"
Sekilas Haechan menemukan api membara pada mata belo itu yang mendelik memaksa, tapi kue Madeleine buatan Dita jauh lebih enak, menyita kapasitas mulut hingga mencapai batas maksimum kelenturan mulut Haechan.
"Haechan-ah!" Teguran Dita, berikut merebut Tupperware ungu yang tersisa setengah Madeleine, cukup membuat Haechan cemberut berat.
Remah kue asal Perancis itu menyembur ketika pemuda itu berusaha menjawab, alhasil tersedak dan kebingungan tak ada air di meja kecil itu. Terpaksa Haechan berlari menuju keran terdekat. Minum dari kerannya langsung.
Dita menyusul. Sepanjang langkah mengetuk kesal. Setibanya masih dengan muka ketus tanpa ada rasa sedikitpun simpati dengan batuk Haechan.
"Itulah akibatnya serakah."
Haechan mengusap bibir. Teguran Dita membawanya duduk di samping gadis itu yang memeluk Tupperware miliknya. Pindah melirik kue tersisa. Bikinan Dita enak sekali. Haechan mendapatkan benang merah, barangkali gadis itu sengaja mengiminginya kue bukan tanpa alasan. Pertanyaannya saja berkaitan dengan Seulgi. Haechan sepatutnya curiga kalau Dita sengaja menyogoknya demi sebuah informasi.
"Kenapa kau ingin tahu di mana Seulgi sekarang? Jangan bilang kue itu sogokan?"
Interogasi Haechan ditanggapi dengan pipi memerah. Dita membuang muka salah tingkah.
"Apa sih sebenarnya maumu, Nuna?"
"Entahlah." Jawaban rendah. Tarikan napas dalam. Itu saja sudah cukup menggambarkan betapa kesedihan merenggut sudut-sudut bibir Dita melengkung ke bawah.
"Taeyong sudah melakukan banyak hal di saat aku tidak melakukan apapun. Aku juga ingin melakukan sesuatu untuknya, bukan diam seperti ini. Tapi aku gak tahu dengan cara apa. Apa kau ada saran?" Gadis itu melanjutkan, mengungkapkan semua duri yang mengganggu pada Haechan.
"Emosi Seulgi sedang tidak stabil dan dia akan melempar atau melukai siapapun tanpa pandang bulu. Akan sangat berbahaya jika kau memaksa bertemu dengannya. Bukan tidak mungkin kau akan terluka, apalagi kau yang sangat dia benci."
"Lalu apa yang harus aku lakukan, Haechan?"
Mendengar getaran pada suara gadis itu, Haechan tahu benar Dita sudah tak sanggup lagi menahan emosinya. Maka dengan perlahan, Haechan membawa sisi kepala Dita untuk ditaruh di pundaknya.
"Bukankah Taeyong Hyung menyuruhmu untuk menunggunya kalau kau ingin berbuat sesuatu untuknya, tidak ada salahnya untuk menunggunya. Aku tahu kau belum ikhlas melepasnya, meskipun kau menolaknya."
Dita pun menangis.
Haechan tidak punya tisu, yang dia punya cuma pundaknya dan mengelus pundak gadis rapuh itu perlahan. Dia mungkin tidak dapat menghapus rasa sakit Dita, tapi setidaknya rasa empati sudah cukup mengobati sedikit saja perih itu.
"Dua hari dari sekarang. Taeyong Hyung akan pindah ke Seoul. Apa kau tidak ingin mengucapkan kata perpisahan?"
Haechan menunduk untuk mengintip wajah Dita, namun yang didapatinya gelengan lirih. Ia sudah tahu bakal seperti ini—penolakan. Siapapun yang tersakiti juga pasti akan menolak melihat sumber sakitnya lagi.
"Tidak masalah mencoba satu dua kencan dengan pemuda lain. Kau berhak bahagia, Nuna. Jika Taeyong Hyung dengar ini, leherku sudah pasti langsung patah." Disertai kekehan, itupun tidak menghibur banyak.
Haechan mencoba sekali lagi lelucon. "Bagaimana kalau kita pacaran saja, Nuna. Aku menjamin kau tidak akan aku tinggalkan demi wanita lain."
Percuma saja. Dita tidak bakal mudah terhibur ketika hatinya terlanjur remuk redam makin-makin parah untuk sesi ke sekian kali. Menghela napas, Haechan menghentikan leluconnya dan makin memeluk Dita. Ia bahkan buntu. Tidak memiliki solusi. Payah sekali memang dia, rutuk Haechan membatin. Padahal ia sudah pernah berjanji pada dirinya sendiri untuk membantu Dita sebagai seorang yang sudah ia sayangi seperti kakak sendiri. Nyatanya ia pun tidak berguna untuk gadis itu.
*
Seperti yang dikatakan Haechan bahwa Taeyong bakal pindah, Dita sudah mempersiapkan banyak rencana. Sebelum hari keberangkatan pemuda itu besok, gadis itu pulang hari ini langsung berkemas. Memesan taksi dan buru-buru pergi seakan ia sengaja pergi tanpa diketahui orang, terutama Taeyong. Bahkan izin pada orangtuanya saja tidak.
Maka ketika hari di mana Taeyong akan pergi, Dita sudah di rumah Jinny, menginap.
Tidak ada hal terjadi. Baik pesan ataupun telepon. Taeyong tidak berusaha memberi kabar perpisahan langsung. Entah harus bersyukur apa tidak, yang jelas Dita belum sanggup bertemu lagi jika ujungnya pesta perpisahan.
Tahu-tahu saja seminggu berlalu, Dita belum cukup memiliki keberanian untuk kembali ke rumahnya. Ia belum sanggup menatap rumah Taeyong. Takut kenangan kebersamaan mereka yang singkat hinggap tak tahu diri pada ujung-ujung sel otaknya.
Maka dengan senang hati dan empati tinggi, Jinny membiarkan Dita tidur seranjang dengannya sebulan penuh. Banyak waktu yang bisa dilakukan Jinny untuk menghibur sahabatnya.
Keberadaan Jinny sungguh seperti aspirin — pereda nyeri — yang sangat ampuh mengembalikan senyum Dita. Dengan leluconnya, tingkahnya yang atraktif serta; dialog dan debat terus menerus mampu mengisi kekosongan sehingga tidak ada celah lagi untuk memikirkan Taeyong.
Walau pada kenyataannya, setiap sepi dan malam panjang menjelang tidur, gadis itu membungkus tubuhnya rapat-rapat dengan selimut guna menutupi garis-garis kesedihan yang masih saja mengukir pada sudut matanya.
Dua bulan berlalu, keadaan masih saja sama. Jarang sekali melihat senyum alami Dita. Ia makin rajin belajar. Mengiring diri di perpustakaan. Menghabiskan waktu di studio tari. Sekadar berkumpul dengan sahabat sudah bukan lagi agenda rutin, melakukan sekali dua kali saja. Sisanya ia bakal menyibukkan diri dengan pikirannya saja.
Awalnya Lea, Jinny, Denise, Soodam merasa kalau Dita perlu pergi ke psikolog. Mereka menduga psikis gadis itu terguncang pasca perpisahannya dengan Taeyong, tapi ide mereka ditentang habis-habisan. Makin dinginlah sikap Dita, dianggapnya ia sudah mulai tak terkontrol. Merekapun menyerah, lantas membuang jauh ide gila mereka karena tak ingin Dita memusuhi mereka.
Yanan pun tak mampu berbuat banyak. Kedekatannya tak mampu menarik Dita dari jurang kesedihan absolut.
Gadis itu sungguh mencintai Taeyong sangat dalam, tidak mudah menyembuhkannya dari patah hati cinta yang sudah mengakar akut.
Pada akhirnya yang bisa mereka lakukan, sebisa mungkin menjaga Dita tidak sendirian. Meski kebanyakan diusir halus kerap mereka dapatkan, setidaknya mereka tidak memaksa Dita ketika gadis itu menginginkan privasi.
Waktu bagi Dita rasanya sangat menyakitkan. Ia seakan dipaksa untuk menghirup oksigen setiap waktunya meski itu seperti duri.
Ia bisa melakukannya. Rapalnya setiap waktu, sudah seperti doa yang mengafirmasikannya.
Dan doa itu sering ia rapalkan di tempat-tempat di mana kenangan Taeyong membekas; di rumah, di perpustakaan, di kantin, lorong studio tari, lapangan basket, nyaris semua tempat di sekolah dan rumah.
Bahkan halte.
Lagi-lagi dia menangis ketika menunggu busnya datang.
"Aku ingin membeli sepeda." gumamnya. "Naik bus hanya membuatku makin susah move on."
Cuma satu hal yang bisa melupakan Taeyong. Mengajar tari di studio tari milik Hui.
Dita sangat bersyukur masih memiliki tempat di mana anak-anak di bawah umur—muridnya— membuatnya masih memiliki hal yang dapat membangkitkan semangatnya.
Tapi hal tak terduga terjadi, setelah dua atau bahkan tiga bulan lebih pasca penyekapannya di markas Jimin. Kala itu ia baru pulang dari studio tari Hui malam harinya. Karena ia meminta izin untuk menyewa tempat latihan itu guna refreshing dan Hui mengizinkan asalkan dikunci setelahnya.
Tak terasa Dita menari sepanjang malam dan tepat ketika jam sepuluh malam ia baru menyadari kalau ia kemalaman. Buru-buru ia berkemas dan mengunci tempat itu. Naik ke permukaan lewat tangga, jalanan sangatlah sepi. Dita harus segera menemukan taksi di jalan besar jika tak ingin bayangan teror di otaknya terjadi. Seseorang yang nakal mencegatnya, misal.
Namun sebelum ia keluar dari gang sempit itu, ia dihadang oleh seorang berpakaian hitam. Kadang ketika kita terlalu memikirkan hal negatif, tak jarang hal itu bakal menimpa kita dalam waktu yang sangat cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tetangga Menyebalkan 🔚
FanfictionBertetangga dengan Taeyong, harus menyetok persediaan sabar banyak-banyak. pasalnya pemuda itu sering mengadakan pesta sampai pagi buta di akhir pekan, membuat Dita yang suka kedamaian menangis meratapi insomnia. Kalau ada award orang tersabar di du...