tiga belas

1.8K 285 68
                                    

"Wajah bodohmu benar-benar lucu."

Seketika Dita terlepas jerat pesona ketampanan tidak nyata Taeyong lantas bergumul pada kesalnya terhadap pemuda itu yang dengan gampangnya tertawa lepas.

"Aku memang babi yang bodoh," sarkas Dita dan itu menghentikan tawa Taeyong. Kontan memandang Dita dengan seluruh intimidasinya.

Sadar telah lancang, Dita kembali mengkeret. "A-aku ...." Untuk menyelesaikan kata-katanya saja terasa sulit. "mau pulang." Dan ia berhasil melakukannya tanpa menarik napas dulu.

Sudah siap melangkah padahal, tapi keburu disetop, "tunggu!" Dari mulut Taeyong yang ajaibnya Dita membeku di tempat.

"Kau bisa berhenti takut kepadaku."

Dita mengedip sepersekian detik dan bibir tetap terkatup rapat. Otaknya terlalu lama memproses keadaan. Babi bodoh, sepertinya memang ejekan yang pantas untuk dirinya saat ini.

"Haechan benar. Sesama tetangga, kita harus saling akrab dan selama ini kita jauh dari hal itu." Taeyong tidak lagi melipat lengan, ia memasukkan tangan ke kedua saku jeansnya. Bahunya lebih santai, tidak seperti tadi yang tegang saat mengangkat telepon.

"Orang tuaku sempat berpesan untuk bersikap baik kepadamu karena kau tidak punya siapa-siapa di sini selain aku yang lebih dekat darimu. Orang tuamu pun berpesan sama untuk menjagamu selagi mereka pergi. Aku mengiyakan, mengingat orang tuamu dan orang tuaku memiliki hubungan persahabatan yang baik," lanjutnya lagi.

Bagian orang tua Dita yang menyuruh Taeyong untuk menjaganya, Dita bersumpah tidak pernah mendengarnya langsung. Dita perlu klarifikasi pada mereka nanti untuk memastikan ucapan Taeyong bukan kebohongan belaka.

"Kupikir kau tipe yang mandiri, yang tidak terlalu mengandalkan bantuan orang lain, tapi kurasa bukan itu kau menghindariku. Memang sebaiknya begitu kalau kau tidak ingin mendapat banyak masalah."

Reaksi yang didapat Taeyong adalah gadis itu serasa jauh pikirannya, tidak bersama raganya di sini.

Taeyong melepas sandaran  pinggangnya dari birai. Sepertinya sudah cukup ia bicara. Juga percuma saja berbicara dengan orang yang tidak fokus pada lawan bicaranya.

"Kalau ada apa-apa jangan sungkan datang kepadaku." Langkah pemuda itu menyadarkan Dita. Gadis itu panik melihat Taeyong menuruni anak tangga.

Entah bagian dirinya yang mana, tiba-tiba memanggil nama pemuda itu. "Taeyong-ssi!"

Praktis Taeyong menoleh dan Dita makin panik, sebab ia sebenarnya cuma refleks saja memanggilnya.

"Wae?"

Tidak kunjung Dita jawab, sibuk meremas jari sambil melarikan mata pada anak-anak tangga.

"Kalau tidak ada yang dibicarakan, aku pergi."

"Bi—bisakah ...." Buru-buru Dita membuka mulut sebelum Taeyong benar-benar pergi. "Bisakah kau tidak memutar musik keras di malam akhir pekan. Aku ... aku tidak bisa tidur."

Sejenak Taeyong mampir di bola mata almond itu yang memancar kecemasan. Ia angkat alis sebelah. Rasanya kupingnya baru saja digelitik oleh suara mengandung takut campur merengek dan itu menggelikan.

Sudah terlanjur menumpahkan keluh kesah, Dita tidak peduli pemuda itu bakal tersinggung atau tidak. Pemuda itu duluan yang membuka diri dan mengajak bicara, berusaha memperbaiki komunikasi mereka yang buruk. Jadi, Dita pikir tidak apa-apa mengadukan masalahnya yang terpendam selama bertahun-tahun bertetangga dengan Taeyong. Siapa tahu pemuda itu serius taubat dari mengganggu Dita lewat musik-musik keras yang rutin mereka mainkan.

Tetangga Menyebalkan 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang