lima puluh enam

737 118 22
                                    

Enam bulan lebih berlalu begitu saja. Tragedi kemarin mulai ditinggalkan. Terlebih untuk mereka-mereka yang hanya membicarakannya sambil lalu. Fokus pada ujian yang begitu berat yang bikin frustrasi untuk anak kelas tiga dan untuk adik tingkat di bawahnya yang naik ke tingkat selanjutnya.

Gerbang kelulusan di depan mata merupakan suatu pencapaian prestis, apalagi cara meraihnya saja penuh pengorbanan dan perjuangan.

Dita merekam di balik kamera polaroidnya. Membantu mengabadikan sekumpulan geng tanpa nama dengan jas almamater merah kebanggaan, membawa masing-masing buket di tangan. Seraya merentangkan senyum bahagia nan gaya bebas.

"Hana ... Dul ... Set ... Kimchi!"

Jepretan selaras dengan sorakan kimchi. Berikut tawa lega ketika lembaran polaroid putih menyembul. Dita cepat-cepat mengibasnya. Serta-merta ia dikeroyok satu geng tersebut untuk melihat hasil jepretan Dita.

"Ayo kita makan-makan! Aku yang traktir!" Johnny bersuara. Rambutnya yang panjang dibiarkan sampai tengkuk adalah bentuk apresiasi pada dirinya sendiri untuk keberhasilannya dalam ujian.

"Tentu saja tawaran menggiurkan itu gak bisa ditolak!" Taeil menimpali.

Satu geng berjumlah sekitar 20 orang tersebut mengerumun, membicarakan seputar agenda makan bersama. Membiarkan Dita tersisih.

Gadis itu menatap sekumpulan anak-anak kecil yang riuh itu yang baru saja lulus dalam senyuman sendu. Betapapun girangnya mereka, ada satu saja hal yang ganjal.

Taeyong.

Dita melempar tatap pada awan yang konvoi di langit biru. Setahun lagi gilirannya lulus, pikirnya. Apakah ia akan sebahagia mereka?

"Dit!" Jaehyun menyenggol lengan Dita. "Kau harus ikut!"

Kesal badannya yang kecil tidak siap dan berakhir limbung, giliran Dita membalas senggolan Jaehyun, meskipun tidak berarti apa-apa. "Yang harusnya kau ajak itu Jinny!"

Jaehyun garuk kepala. Agaknya frustrasi mendadak mencetak wajahnya.

"Kenapa diam saja?! Tidak berani?!" Ultimatumnya lengkap dengan bibir mencibir.

"Bukan begitu!" Jaehyun mengelak. Dita memperhatikan pipi pada pemuda itu memerah. Lengkap sudah eforia Dita dalam menggodanya. Siapa mengira pemuda cuek ini bisa kelimpungan terhadap gadis hiperaktif macam Jinny.

Jaehyun pun kesal. "Kau lihat saja nanti!" Lantas pemuda itu bergabung dengan yang lain. Mengabaikan Dita.

Kepergian Jaehyun mengembalikan lagi senyum Dita yang sendu.

Pasca pertemuannya dengan Jimin, tidak ada hal yang berarti terjadi. Semuanya mengalir tenang tanpa ada ombak besar. Dita pikir, mungkin seperti inilah akhirnya. Kembali tidak saling mengenal.

Dita menghela napas kasar. Toh, jika tidak ada yang membicarakan keadaan Seulgi maupun Taeyong, ia pikir memang tidak perlu lagi memikirkan mereka.

Ia berhenti melangkah ketika tiba-tiba keinginan melihat benda yang tersemat di jari manisnya.

Cincin Daisy pemberian Taeyong.

Dita mengelusnya penuh perasaan.

"Jika pemilikmu tidak datang." Dita berbisik lirih tanpa beban. "Aku berjanji akan tetap memakai4mu sampai kapanpun, ingat itu. Karena kau satu-satunya benda berharga milik orang yang kucintai."

Dita sudah putuskan bahwa tidak buruk juga sedikit menanti lebih lama.

"Kudengar Seulgi hamil."

Bagai kilat menyambar kepala, praktis Dita angkat kepala dan menemukan dua gadis melewatinya begitu saja. Asyik bergosip ria.

"Masa sih! Kau yakin?!"

"Aku dengar sendiri selentingan yang beredar."

Kedua siswi yang tak tahu tempat bergosip itu tentu saja menarik Dita guna mengejar mereka. Di belakang punggung mereka, Dita pasang kuping baik-baik. Meskipun sulit mendengarkan, sambil menjaga hati dan pikiran tetap berpikir positif.

"Jika benar Seulgi hamil, lantas anak siapa?"

"Kenapa kau masih bertanya siapa? Tentu saja Taeyong."

"Mungkin saja Jimin."

"Hah, memang itu masih jadi tanya besar. Jimin ataukah Taeyong yang menghamili Seulgi. Tapi jika bukan Taeyong untuk apa dia susah payah mengikuti Seulgi sampai keluar dari sekolah segala?"

"Kau benar juga, ya. Kalau aku jadi Taeyong selama aku bukan ayah dari janin itu, aku gak bakal repot mengurusinya."

Dita berhenti. Selayaknya magnet di kakinya. Memaku di tempat. Hiruk pikuk di sekitarnya lindap seketika. Ia mengedip cepat. Bulir hangat bergulir perlahan di sekitar pelupuk mata.

Itu hanya gosip murahan.

Dita mendesis pelan. Menekan dada yang terasa sesak. Itu hanya gosip murahan, tapi mau bagaimanapun menanggapi kabar buruk yang tak jelas, tetap saja hal itu terasa menyakitkan untuk diterima akal sehat.  

"Kau benar juga, ya. Kalau aku jadi Taeyong selama aku bukan ayah dari janin itu, aku gak bakal repot mengurusinya."

Kata-kata si penggosip berhasil mencuci otak Dita. Gadis itu mulai kehilangan kepercayaan.

Tetangga Menyebalkan 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang