tujuh belas

1.6K 250 24
                                    

Huruf Hangul dan angka-angka di buku pelajaran, bagai semut konvoi rebutan gula pasir. Dita kesulitan membacanya, di saat netranya mengembun. Dia takut mengerjap bakal menjatuhkan tetesnya dan mengotori lembaran itu.

Untunglah, wali kelasnya tidak memergokinya yang kacau dan Dita sanggup mengontrol kendali dirinya. Gurunya terlalu asik menerangkan trigonometri, hingga tidak ada waktu untuk memastikan wajah-wajah sumpek segelintir anak-anak didiknya yang benci pelajaran satu itu. Betapa sialan sekali orang yang menciptakan matematika, pikir mereka yang memiliki otak terbatas.

Untuk Dita sendiri matematika bukan pelajaran menakutkan, tapi ia mengkhawatirkan imajinasinya bakal seburuk apa ia jika nyata dihukum. Keluar kelas atau membersihkan toilet, dobel cobaan kalau begitu untuk hatinya yang rapuh, mana sanggup Dita menanggungnya sekaligus dalam sehari.

Walau berhasil tak menangis lagi, mempertahankan fokus tidaklah mudah. Sekelumit saja yang bisa Dita kumpulkan dari isi ceramah Siwon Ssaem. Itu lebih baik daripada tidak sama sekali.

Jam istirahat sesi ketiga, Dita justru melarikan diri ke perpustakaan. Denise sudah curiga pasca gadis itu kembali dari memberikan sekotak bakwan pada Yanan. Sejujurnya ia ingin tahu apa yang terjadi pada mata bengkak Dita, sedangkan wajah Yanan justru baik-baik saja.

Kendati otak Denise mendesaknya untuk mempertanyakan keadaan Dita, hatinya malah menahan diri. Denise mengenal baik Dita. Gadis yang bakal bungkam seberapa keras Denise membujuk acap kali masalah datang.

Dita tipe introvert yang butuh waktu sendirian untuk menenangkan diri. Jika sudah waktunya, Denise yakin Dita bakal cerita dari hulu sampai muara permasalahannya tanpa kelewat bagian sedikitpun.

Hingga jarum pendek menyentuh angka delapan malam, kelas bubar hari ini. Dita takjub bagaimana ia bisa melewatinya tanpa ledakan emosional. Begitu juga sewaktu Yanan bertegur kata, Dita sanggup tidak menghindarinya. Mengenai tupperware milik Dita yang dikembalikan dalam keadaan bersih.

Dita menegun melihat tupperware ungunya sudah kesat. "Kau tak harus mencuci kotaknya."

"Gwenchana. Kau sudah bekerja keras membuatkanku bakwan jagung, giliran aku yang berterima kasih dengan mencucikannya untukmu."

"Gomawo."

"Kau baik-baik saja?" Menemukan wajah oval itu kehilangan sinar ceria, Yanan meminta konfirmasi atas kecemasannya yang semoga terjawab.

"Tentu saja." Senyum Dita bisa dibilang layu. Buru-buru ia menjejalkan kotak ungunya ke dalam tas. "Aku duluan, ya. Denise sedang menungguku."

Lagi-lagi, Yanan hanya bisa berdiri dungu menyaksikan punggung mungil itu tergesa mencapai ambang pintu seakan dikejar waktu. Tanpa memberi kesempatan Yanan mengobati cemasnya, perihal gangguan dugaan negatif muncul dadakan; apa yang membuat Dita tampak murung, padahal ia bersemangat  tadi dengannya? Atau Yanan telah melakukan hal buruk yang tidak disadarinya?

Sementara Yanan sibuk mencari letak salahnya, Dita sudah disambut Denise yang sudah menunggunya di lorong. Berpura-pura segalanya normal, dan Denise mengikuti alur yang Dita ciptakan tanpa protes.

Jinny menyusul bersama Soodam, baru saja keluar dari kelas yang  terpisah dua kelas dari Dita dan Denise.

Mereka berjalan beriring dan menemukan Lea juga menanti di bingkai pintu kelasnya paling ujung di antara keempat sahabatnya. Meski berwajah lelah, Lea tidak pernah benar-benar kehilangan sinar semangat, sekalipun redup.

Senyumnya melebar kala merangkul Dita. Sambil mereka berjalan, tanpa disuruh ia menceritakan aksi menggemparkan yang baru siang tadi kelasnya alami; penembakan cinta.

Tetangga Menyebalkan 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang