empat puluh sembilan

658 134 26
                                    

Jika kau sudah terbiasa dengan luka, maka kau akan mati rasa.

Ungkapan itu benar adanya. Itu yang sedang dirasakan Taeyong.

Setiap tarikan napas, selalu ada rasa nyeri yang menyiksa. Itu adalah konsekuensi dari keputusannya meninggalkan Dita dan kembali pada Seulgi.

Hingga ia dibuat terbiasa dan mulai memaafkan diri sendiri. Ia tidak lagi menyalahkan keadaan.

Ia sudah menerima bahwa terkadang ada saatnya di mana manusia tidak melulu keinginannya dapat terwujud. Ada saat di mana ia sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi keadaan tidak kunjung membaik. Satu-satunya yang tersisa dan ia pegang kuat adalah harapan dan keajaiban.

Meski rasanya seperti tidak tahu diri berharap kepada orang yang telah ia beri luka untuk bisa ia raih kembali.

Bahkan memandangnya lewat rekaman video saja rasanya tidaklah pantas. Namun mau bagaimana lagi, satu-satunya memori dalam bentuk fisik yang ia punya adalah hasil rekaman Doyoung yang dikirimkannya kepadanya.

Taeyong patut bersyukur, memiliki sahabat yang mengerti keadaannya. Setidaknya dengan menonton Dita menari setiap hari dan berulang kali, rindunya pada Dita dapat terobati.

"Kau tidak ikut makan?" Sentuhan lembut di lengan atasnya menjadikan pribadi kacau itu menarik diri dari ponsel lantas meletakkan atensi pada Seulgi yang duduk di depannya.

Buru-buru Taeyong mematikan layar ponselnya dan memasukkannya ke dalam kantong jaket.

"Kau sudah selesai?"

"Ehm." Sejujurnya Seulgi sudah selesai sepuluh menit yang lalu dan mengurungkan buka suara demi mengamati apa yang sedang dilakukan Taeyong. Sejak mereka duduk di taman tersebut, Taeyong sibuk pada ponselnya. Pantaslah Seulgi menaruh curiga.

"Kau ingin roti lagi?" Taeyong menyela.

"Tidak perlu kita pulang saja." Seulgi berdiri dengan raut menekuk, lantas membersihkan gaun putihnya dari rumput yang menempel.

Tak banyak bicara, Taeyong mengumpulkan bungkus roti mereka dan membuangnya pada tempat sampah terdekat. Sementara sisanya ia letakkan di keranjang sepeda.

Pemuda itu menjangkau sepeda sebagai kendaraan mereka ke taman tersebut. Melepas standar, naik ke sedal. Sementara Seulgi duduk ke boncengan pada posisi menyamping. Langsung memeluk pinggang Taeyong dan meletakkan sisi kepalanya pada punggung Taeyong. Mereka menjauhi taman tersebut kembali ke rumah sakit pada kayuhan lambat.

"Taeyong." Seulgi memanggil.

Angin sore di pertengahan musim panas begitu hangat dan menyapu lirih gaun selutut Seulgi. Taeyong bisa mendengar panggilan Seulgi, tanpa menoleh ke belakang. Hanya jawaban "ya." Yang berat.

"Kau tidak akan meninggalkanku, kan?"

"Kau sudah ratusan kali menanyakan pertanyaan itu sama persis. Dan jawabannya tetap sama, Seulgi."

Di balik punggung, Seulgi mengeratkan rangkulannya pada pinggang Taeyong dan tersenyum di sandaran punggung pemuda tersebut.

"Di Seoul nanti, aku sangat membutuhkanmu, Taeyong. Karena kau satu-satunya yang tidak meninggalkanku ketika Jimin pergi begitu saja."

Taeyong melampiaskan emosinya pada genggaman stang yang mengeras. Dia tak berkomentar lagi setelah menjawab, "aku akan mendampingimu sampai kau sembuh." Dengan sangat datar, lantas mempercepat kayuhan pedal.

Kembali ke ruang perawatan. Tak banyak hal yang dilakukan setelah membersihkan diri. Dokter telah mewanti-wanti untuk menjauhkan segala barang elektronik, terutama ponsel dan sosial media demi pemulihan kesehatan mental Seulgi.

Maka healing terbaik dan satu-satunya adalah membaca buku. Ada dua tumpukan tinggi di meja sudut ruangan. Taeyong ambil satu secara asal. Kemudian menaruh pantat di sofa di samping Seulgi. Sementara gadis itu meletakkan kepala di bahu Taeyong ketika pemuda itu membuka lembaran halaman pertama.

Baru sadar yang diambil sebuah karya puisi berjudul I See You Like A Flower karya Na Tae Joo.

Taeyong membacanya pelan pada satu bait yang menarik dirinya.

"Saat mengetahui namanya, kau menjadi tetangga.
Saat mengetahui warnanya, kau menjadi teman.
Saat kau mengetahui bentuknya, kau menjadi pasangan. Oh, ini rahasia."

Taeyong tersenyum kecil. Ia seperti diajak si penulis untuk mengenang sebentar bagaimana proses hatinya berlabuh pada satu nama yang takut ia sebutkan. Gadis yang mencuri seluruh hatinya dan menguncinya untuk satu nama, sampai tak tersisa untuk orang lain. 

Kemudian ia membalik lembaran kertas secara acak.

"Orang yang indah.
Orang yang indah.
Tidak tahu harus melihat apa.
Tidak bisa menatapnya, tapi aku tak bisa menahan untuk tidak menatapnya.
Orang yang bersinar tanpa kekurangan."

Tersenyum miris. Taeyong ingin sekali melihatnya, menatapnya lama dengan tatapan seluruh cintanya. Namun, ia tak bisa melakukannya dan tak akan bisa menatapnya seperti itu lagi, meski sangat ingin.

"Jangan merasa rendah, mekarlah itu indah."

"Butuh usaha untuk melihat kecantikan.
Butuh waktu untuk melihat keindahan."

Seketika Taeyong diingatkan cincin Daisy yang belum sempat ia berikan dan masih tersimpan baik di laci lemarinya. Entah itu bakal sampai pada pemiliknya atau selamanya berada di sana sampai berdebu. Taeyong tidak dapat memastikannya dan tidak sanggup menjanjikan hal yang sudah jelas akhirnya.

Perpisahan.

Tapi jika ia memaksa memberikannya,   itu artinya ia sedang memberi harapan kepada Dita. Jelas ia tak bisa dan tak mau memberikan harapan jika yang ia berikan jelas perpisahan, bukan sebuah hubungan pasti. Taeyong tak ingin memberikan luka baru dan membuat Dita membencinya karena telah menyakitinya lebih dalam lagi.

Maka biarkan saja cincin itu berada di lemarinya sampai berdebu.

"Apa tidak ada buku yang lain. Aku bosan mendengarnya." Seulgi mengeluh pada sandaran bahu Taeyong.

Taeyong mendesah. Ia menutup bukunya dan berkata, "aku akan menggantinya."

Pemuda itu bangkit dan mengambil novel fantasi. Tapi puisi di genggamannya menyihirnya, ia akan menyimpannya untuk dirinya sendiri dan akan ia baca nanti ketika sendirian.

Taeyong kembali dengan buku baru, kemudian ia membacakannya. Sampai pada halaman kedua dan seterusnya, Seulgi tak lagi protes. Hanya berkomentar tentang alur cerita dan memberi kritik pada adegan di dalamnya.

****

Jujur aku gak sanggup buat lanjutin adegan sedihnya, karena ini aja aku nangis.

Tapi tentu saja aku harus lanjutin sampai tamat. 😭

Btw puisinya aku ambil dari bait yang dibaca Taeyong di vlive




Tetangga Menyebalkan 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang