tujuh

1.8K 293 42
                                    

Dita pikir kedai kopi bakal jadi penutup pertemuan mereka. Ternyata kopi bukan satu-satunya penghubung kedekatan, melainkan supermarket.

Yanan menemani Dita belanja isi kulkasnya ketika gadis itu meminta diturunkan di depan supermarket saat mereka dalam perjalanan pulang. 

Gadis itu tahu diri tidak ingin merepotkan dengan menolak insiatif pria jentel itu, kendati demikian Yanan lebih keras kepala dari yang Dita duga.

"Tidak apa-apa. Aku yang mengajakmu jalan-jalan, aku juga yang harus menjagamu sampai pulang, termasuk menemani ke mana kau ingin pergi." Begitu keputusan absolut dari pemilik senyum manis itu.

Harusnya tadi tidak usah bilang ke supermarket segala. Ia bisa menundanya sampai pulang lalu pergi sendiri naik sepeda.

Sudah terlanjur mau diapakan. Dita harus terima penyesalan sudah membuat Yanan yang baik hati kerepotan mendorong trolinya.

"Kau suka memasak rupanya?"

Pada saat itu Dita kebingungan memilah lobak atau sawi tepat ketika Yanan bertanya.

"Aku tinggal sendirian di rumah. Orang tuaku menetap di Seoul untuk bekerja. Jadi aku harus memasak. Terlebih sahabat-sahabatku selalu berkunjung di hari libur. Kebanyakan mereka menumpang makan ketimbang belajar, jadi aku harus menyediakan banyak makanan di kulkas."

"Sahabat yang merepotkan."

Dita tertawa. Ternyata bukan dia satu-satunya yang berpendapat demikian. "Ya, begitulah. Mereka selalu memaksaku memasak. Jika tidak, mereka akan meratakan rumahku." Lengkap kekehan membayangkan aksi tidak manusiawi kawan-kawannya yang akan kerasukan monster kalau sudah lapar.

"Sepertinya masakanmu enak sampai mereka mengancammu begitu. Aku jadi ingin mencicipi masakanmu."

Oh, apa itu kode tidak tersirat?

"Kapan-kapan akan kubuatkan nasi goreng dan bakwan jagung karena kau sudah baik hati menemaniku belanja."

"Nasi goreng dan apa tadi bak ... bak ...?" Yanan mengernyitkan dahi, pendengarannya asing menangkap bahasa baru.

"Bak-wan ja-gung." Dita mengejanya pelan. "Makanan Indonesia. Kutebak kau belum pernah mencicipi masakan Indonesia. Sekali-kali kau harus coba masakan Indonesia. Aku ahli memasaknya."

Lihatlah gadis itu begitu bersemangat dan bangga mempromosikan keahliannya, menular pada lekuk sempurna di bibir tipis Yanan.

"Aku tidak sabar untuk mencicipinya."

Gugup menyerang dadakan. Pikiran Dita jadi menyimpulkan yang tidak-tidak. "Kau—kau mau mampir?"

Dita ketar-ketir menunggu jawaban. Semoga saja ia tidak berakhir malu sudah menawarkan pertanyaan itu spontan, seolah ia berharap lebih Yanan bakal mampir.

Belum sempat Yanan membuka mulut. Suara lain menggema menarik tidak hanya kepala Dita dan Yanan, tetapi juga kepala di deretan rak sayuran tersebut yang juga sedang memilah-milah, terpaksa memutar pada remaja laki-laki yang berderap menuju Dita.

Dari suaranya yang unik, Dita sudah bisa menebak siapa pemuda heboh itu yang tidak akan gadis itu lupakan momen karaoke beberapa hari lalu. Panik membuatnya bersembunyi di balik punggung Yanan yang lebar dan tinggi, meski itu terlambat karena dia sudah ketahuan duluan.

Barangkali pula kulitnya yang kuning langsat khas gadis Jawa, mudah ditemukan di antara penduduk asli negara Gingseng tersebut meski dari radius sejauh ujung rak ke tempat Dita berada.

Dita tidak bisa kabur saat lengan Haechan tahu-tahu memerangkap lehernya dan hidungnya membentur pundak keras kembaran sifat Soodam tersebut.

"Kau ngapain di sini?"

Tetangga Menyebalkan 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang