tiga puluh sembilan

1K 186 40
                                    

Sinar matahari yang menggantung tinggi di langit bersporadis pada celah-celah gorden dan celah lainnya. Memberi sinyal pada alarm di kepala secara alami untuk merangsang kesadaran.

Mula-mula kelopak mata, bergerak-gerak. Berlanjut terbuka secara perlahan. Masih blur, hingga setiap kepingan menjadi utuh.

Dita mengerjap. Satu hal pasti langit-langit kamarnya tak sepolos ini. Harusnya penuh dengan bintang-bintang. Ia bangun dengan memegang kepala karena denyut sakitnya tak tertahankan dan ia merasakan berat pada tangannya yang lain. Sebuah tangan berotot menggenggamnya. Dita menelusuri tangan itu yang terhubung pada sosok amat yang ia kenali.

Taeyong?

Semalam mereka tidur seranjang?

Terlebih pemuda itu bertelanjang dada!

Dita panik luar biasa. Mulai merangkai asumsi di kepala sepanjang malam ini ia habiskan buat apa saja. Hingga ia mendapatkan potongan-potongan secara utuh. Jimin yang menyeretnya paksa ke dalam klub bawah tanah. Lalu diikat di pilar. Ancaman panah dart. Tamparan karena lesatan Jimin meleset. Berganti bir yang dipaksa masuk mulut, merenggut semua kesadarannya. Tidak tahu lagi apa yang terjadi setelahnya.

Tahu-tahu saja ia bangun di tempat tidur Taeyong dengan pemuda itu terlelap di sisinya. Handuk jatuh dari dahinya, mendistraksi. Ia memungut benda itu untuk sebuah pengamatan. Apa semalam ia demam? Sampai dikompres segala. Lantas benarkah Taeyong yang merawatnya?

Dita menarik konklusi, Taeyong juga telah menyelamatkan dan membawa Dita lari dari tempat terkutuk semalam.

Tapi mengapa ia dibawa ke rumah Taeyong alih-alih rumahnya. Dan lagi pakaiannya. Almamaternya telah lepas. Bernasib sama dengan dasi. Menyisakan kemeja dan rok saja, Dita tak mau berpandangan buruk terhadap Taeyong, tapi tetap saja Dita selalu dibawa ke pemikiran menjurus ke sana.

Tunggu dulu! Dita menyibak poni Taeyong yang jatuh ke dahi untuk melihat luka yang sudah diplester. Beralih ke beberapa tempat di wajah tampannya yang terluka. Sudah dipastikan semalam baku hantam tak terelakkan. Pusingnya seketika melindap digantikan cemas teramat sangat.

Pemuda ini mengapa selalu bikin Dita takjub serta kesal sekaligus. Alih-alih mementingkan lukanya, Taeyong justru merawat Dita semalaman. Bikin Dita tak bisa menghindari perasaan melankolis secara mendadak. Menangis sesenggukan, mengamati wajah Taeyong yang masih betah bermimpi.

Barangkali volume suara tangis yang makin tak tertahankan, mengusik pendengaran Taeyong, yang mulai membangunkannya dari alam bawah sadar.

Baru sedetik terbuka, alih-alih mengumpulkan kepingan nyawa, justru terbangun dengan punggung tegak amat kaku. Taeyong tidak memikirkan apa-apa, selain mencemaskan Dita.

Ia menyentuh sisi kepala Dita lembut. "Apanya yang sakit?"

Dita menggeleng, bukannya tenang, tangisnya malah membuncah. Bikin Taeyong bingung sekaligus dilanda cemas.

"Kau ... Kau terluka!" Makin kencang saja Dita menangis. Seakan tak bisa mengontrol emosinya.

Terenyuh, Taeyong mendekap punggung rintih itu pelan-pelan. Membawa kepalanya untuk rebah di bahunya. Bukan hanya demi menenangkan emosi Dita, juga untuk menyembunyikan mata berkaca Taeyong yang sejujurnya terharu dengan ucapan Dita.

Pasalnya, ketimbang mencemaskan diri sendiri, Dita justru menangisi Taeyong. Apa itu tidak kurang ajar sekali bagi Taeyong yang merasa tidak pantas untuk ditangisi.

Taeyong makin mendekap Dita dan Dita sendiri makin menangis.

"Aku tidak apa-apa, bodoh. Jadi, jangan tangisi aku. Yang harus kau tangis itu kebodohanmu itu," ucap Taeyong pelan.

Tetap saja ungkapan kasar itu tidak mampu meringankan tangis Dita yang makin menjadi-jadi, bahkan terisak-isak parau.

Seperti Dejavu bukan, gadis ini antara takut pada bahaya yang telah menerornya, sekaligus mencemaskan Taeyong atas luka yang didapat pasca menyelamatkan Dita. Terulang kembali setelah insiden Jopok.

"Aku minta maaf sudah membuatmu terluka dengan memilih pergi dengan Seulgi. Aku melakukannya karena aku cemburu berat. Lucu bukan, harusnya aku tak berhak cemburu sementara aku dan kau hanya sebatas tetanggaan."

"Aku juga minta maaf, karenaku Seulgi mencelakaimu. Kau tahu harusnya aku tak pergi kemarin dan berniat mau mengacak-acak dapurmu saja. Nyatanya berandai-andai setelah kejadian tidaklah berguna sekarang."

Taeyong mengelus rambut Dita. Sebaliknya kedua tangan yang bertengger di pinggang Taeyong mengeratkan pelukan. Taeyong tersenyum.

"Oppa, aku mencintaimu."

Taeyong membeku. Elusan di kepala Dita melambat, juga berhenti.

"Sebesar aku menyukai Yanan," imbuh Dita melirih.

Taeyong melepas Dita. Membawa kepalanya menghadap persis tepat di depan Taeyong. Jangan ditanya kabar jantungnya, nyaris saja Taeyong kena serangan jantung di usia muda. "Katakan itu sekali lagi." Taeyong mendesak dengan menelanjangi mata Dita untuk mencari kejujuran di sana amat sangat serius.

Seketika pipi Dita memanas. Isaknya pun sukses melebur pada sikap gugup dan malu-malu. "Oppa, aku mencintaimu sebesar aku menyukai Yanan."

Taeyong nyaris menyemburkan bahak karena Dita tak cocok untuk jadi gadis penurut karena sepanjang di dekat Taeyong yang ada hanya sikap pembangkang dan ahli berdebat saja. Namun singkirkan tuduhan valid itu, sebab Taeyong sedang sangat senang sekarang. Melebihi mendapatkan jackpot, melebihi keberuntungan di seluruh dunia.

Maka untuk merayakan eforianya, masih dengan kedua tangan di sisi kepala Dita, pemuda itu memiringkan wajah untuk dapat menjangkau bibir Dita dalam sekali kecup.

Terlalu syok hingga Dita tidak dapat mengurai apa yang terjadi. Sembari memegangi bibir, tampil membulatkan mata, otak Dita kosong melompong.

Sejujurnya, alih-alih jelek sehabis menangis selayaknya gadis-gadis pada umumnya, Dita justru terlihat jauh lebih cantik berkali-kali lipat dan makin menggemaskan dalam sekali waktu. Kalau boleh Taeyong lebih serakah, ia ingin sekali menunjukkan seberapa besar afeksi yang ia punya.

Tanpa menunggu syok Dita berkesudahan, Taeyong menyusupkan tangan panjang nan berototnya sepanjang leher jenjang tersebut. Menipiskan jarak hingga sempurna sudah bibir mereka saling bertaut. Menyalurkan segenap afeksi yang Taeyong miliki terhadap Dita. Lembut tanpa diburu waktu.

Bisa saja Dita menendang Taeyong dari atas tubuhnya, sayangnya otak Dita sedang tidak bagus untuk diajak berpikir panjang ketika ia sedang merasakan pengalaman pertamanya yang seharusnya tidak terjadi dengan Taeyong. Sejujurnya Dita terjerumus dalam kubangan candu. Pun tak ingin mengakui, kalau ia pun menginginkan jauh di lubuk hatinya terdalam.

Selama bibir Taeyong bekerja sopan, hanya di bibirnya saja serta tangan pemuda itu tidak ke mana-mana dan hanya bertugas memegangi kedua tangan Dita di atas kepalanya saja, Taeyong pikir ia cukup mampu memegang teguh prinsip.

Sebrengsek-brengseknya Taeyong, tidak akan pernah sebrengsek pikiran terliar laki-laki yang memanfaat kesempatan untuk keutungan pribadi. Bahkan ketika hanya sebatas suka sama suka. Apalagi dengan melibatkan perasaan, saat orang yang dicintai dalam genggaman, Taeyong akan mengklaim dirinya orang paling bahagia dan beruntung di dunia dan akan menjaganya segenap jiwa, tanpa pernah berniat untuk merusak. Selayaknya barang berharga yang Taeyong miliki.

Bahwa apa yang dikhawatirkannya, sama sekali tidak berdasar, yaitu kekhawatiran tentang perasannya terhadap Dita ternyata bukan sesaat. Bahkan Seulgi yang mematri penuh di hatinya saja bisa terlupa begitu saja hanya karena entitas Dita mendominasi pikiran.

Hanya Dita dan Dita seorang.

Apapun yang terjadi setelah ini, Taeyong tak ambil pusing, karena jauh lebih penting cintanya yang berbalas serta lebih banyak afeksi yang ia bagi cuma-cuma--yang belum pernah ia berikan terhadap siapapun dan itu hanya untuk Dita seorang. Ketimbang segala hal buruk yang entah apa itu bakal berdampak atau tidak, Taeyong rasa tidak perlu ada yang dicemaskan.

.
.
.
Oy oy, 😳😬 aku mikir apa sih nulis ini. Wkwk keknya otakku agak korslet.

Btw. Aku mau ajak kalian naik rollercoaster. Kalian harus ikut seru, deh.

Tetangga Menyebalkan 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang