lima puluh tiga

666 130 25
                                    

Menyandar kepala pada dinding halte dan menangis diam-diam memanglah sangat melelahkan. Dita sudah melewati transit bus dua kali dan ia membiarkan diri duduk seperti itu sambil meremas kantong plastik yang ditinggalkan Taeyong.

Bersyukurnya orang-orang apatis atau memungkinkan bertanya, "mengapa kau menangis?" Itu tidak mereka lakukan, dan itu memang yang dibutuhkan Dita sekarang adalah kesendirian. Meskipun sulit menahan rembesan tangis jika ia masih saja meremas kantong pemberian Taeyong dan mengingat pertengkarannya dengan pemuda yang ia cintai itu.

Tebak apa isi kantong yang Dita temukan sehingga ia memiliki stok tangis tak habis-habis. Isinya memang plester luka, tapi selain itu sebuah kotak cincin dan cincinnya melingkar cantik di jari manisnya.

Taeyong meninggalkannya begitu saja dan Dita memungutnya, tak menyangka isinya sebuah cincin bermahkotakan bunga Daisy. Entah apa maksud Taeyong menaruh cincin berharga itu pada plastik lusuh.

Dita boleh sedikit menebak jika Taeyong sedang merencanakan sesuatu, namun Dita sudah merusak rencana Taeyong lewat pertengkaran terhebat mereka.

"Apa kau akan melewatkan bus lagi? Ini sudah hampir malam."

Seseorang bersuara rendah tepat ketika bus transit yang ketiga. Dita mendengarnya jelas, tapi tak yakin seseorang itu berbicara kepadanya.

"Kalau aku jadi kau, aku akan memilih menangis di kasur yang empuk ketimbang bersandar pada dinding yang keras. Apalagi kepalamu sempat terkena hantaman bola basket."

Ini sedikit mengejutkan. Daripada fokus pada orang-orang yang mulai naik bus, Dita memilih memutar sendi lehernya searah pada si asing yang ternyata mengajaknya berdialog.

Seragam olahraganya sama seperti yang dipakai Dita, tapi Dita belum pernah melihat gadis imut berponi dan berambut pendek itu sebelumnya di sekolah.

Memperhatikan saksama dalam pertanyaan 'siapa' yang siap diutarakan, gadis itu keburu mengacungkan selembar tisu. Dita cengo seketika dan ia cuma memperhatikan benda putih itu melambai-lambai.

"Nih!"

Agak ragu awalnya menerima pemberian kecil itu. Tak lupa Dita mengucapkan rasa terima kasihnya. Lantas mengusap bekas air matanya pelan-pelan.

Tak sampai di situ saja, ternyata si gadis asing menempati bangku besi kosong itu dan menjadi penghuni kedua setelah Dita.

"Busnya sudah pergi."

Mendongak, pernyataan gadis asing itu benar adanya.

"Aku tidak mengerti mengapa kau membiarkan pacarmu pergi."

Dita menengok pada si gadis asing. Ia memasang sangsi pada wajahnya atas ucapan si asing ini.

"Aku melihat pacarmu menggendongmu dan aku mengikuti kalian. Juga pertengkaran dramatis kalian. Aku melihat semuanya."

"Kau tidak seharusnya ikut campur masalah orang yang tidak kau kenali." Dita bukannya bersikap keberatan ataupun rasis, hanya saja kebanyakan orang yang ia temui di negara tersebut orang-orangnya lebih banyak yang tak pedulinya pada orang asing dan ia heran orang asing ini peduli kepadanya.

"Aku tahu. Mungkin jiwa sosialku lebih tinggi daripada nilai matematikaku, haha ...." Ia tertawa receh. Menampakkan gigi gingsulnya yang menambah kadar imut. Dita spontan tersenyum dan ikut tertawa, meskipun rasanya selera humor gadis asing ini terbilang rendah.

"Kau belum menjawab pertanyaanku." Si gadis asing mengingatkan. Membuat Dita berhenti tertawa dan ia mengembalikan ekspresi muramnya dalam sekali tarikan napas yang panjang.

"Kami memang saling mencintai. Tapi ia terikat masa lalu yang lebih dulu ia cintai. Kau dengar sendiri bukan dia menyuruhku menunggunya seakan ia bisa mengatasi tanggungjawabnya pada Seulgi, tapi yang dilakukannya tanpa sadar memberiku janji tanpa kepastian. Aku tak ingin ia tersiksa dengan berusaha keras meninggalkan Seulgi demi diriku. Lebih baik aku yang mengalah dan mengakhiri semuanya."

Si gadis asing pendengar yang baik. Ia merekam setiap frasa Dita tanpa interupsi, seakan ia paham betul duduk perkara yang membelit orang baru yang telah ia campuri urusannya itu.

"Bukankah kau yang lebih kejam?" Komentar si gadis asing, menumbuhkan ketersinggungan pada tiap sudut bola mata Dita yang menyipit tajam.

"Apa dasarmu bilang begitu? Kau tak tahu apa-apa!" Dita merasa menyesal, mengapa ia dengan mudah membuka diri pada orang yang belum pernah ia temui sebelumnya, meski mereka bersekolah di tempat yang sama.

"Kau baru saja mematahkan semangatnya dan usahanya untuk bersamamu. Apa itu tidak kejam namanya."

Argumen gadis di sampingnya sungguh tidak masuk akal. "Akan jauh lebih kejam jika kita memaksa bersama, sementara Seulgi ... Seulgi akan kembali melakukan percobaan bunuh diri dan bukan hanya Taeyong, tapi aku! Aku juga! Kita semua akan menderita oleh keegoisan. Aku tak ingin egois. Biar aku saja yang mengalah."

"Berarti kau tidak percaya sama pacarmu itu." Tanggapan enteng si asing itu makin bikin geram Dita.

"Akan lebih mudah untuk tidak tahu urusan orang lain ...."

"Pacarmu yakin bisa mengatasi masalahnya, tapi kau tidak mempercayainya dan malah mendorongnya pergi." Si asing memotong dengan cepat. Tak ada sedikit gentar pada bibir yang terus menerus memamerkan gigi gingsulnya. Meskipun Dita sudah hilang sabar. "Apa kau juga sudah berjuang seperti dirinya, makanya kau menyerah?"

Gadis itu menyudutkan Dita dan berhasil menghilangkan argumen yang tak dapat dibalikkan.

"Apa kau juga sudah berjuang mempertahankan hubungan kalian?" Gadis itu mengulang pertanyaannya lagi.

Kejora di mata Dita meredup. Pualam wajahnya tak lagi meledak-ledak. "Aku masih ingat, dia pernah menyuruhku untuk tidak melakukan apa-apa. Tidak perlu berpikir macam-macam. Dia tak ingin membuatku terbebani. Selagi aku masih menaruh keyakinan padanya dapat meyelesaikan masalah Seulgi, itu sudah cukup baginya." Kejoranya yang kering merebak kembali.

Si gadis asing buru-buru menarik tisunya lagi dan menyerahkannya cepat.

"Kalau begitu apa susahnya menunggu. Kalaupun dia berbohong, setidaknya kau sudah mencoba mempercayainya. Tidak masalah sakit hati lagi dan lagi, toh dunia ini memang tempatnya penderitaan. Itu pun kalau kau benar-benar mencintainya. Bukankah laki-laki yang memperjuangkan cintanya adalah pria yang bisa bertanggungjawab."

"Ah, busku sudah datang!" Gadis asing itu melonjak dari bangkunya dengan riuh, memperbaiki letak tas gendongnya, lantas berpamitan. "Aku duluan, ya."

"Tunggu! Namamu siapa?" Dita buru-buru berdiri di tengah gerimis matanya. Berhasil menahan gadis pendek itu guna berbalik.

"Panggil saja aku Zuu. Aku kelas sebelas."

"Kau harusnya membuangnya jika sudah tidak mempercayainya. Percayalah, dia hanya butuh kepercayaanmu saja."

Begitu gadis yang mengaku bernama Zuu itu melempar senyum serta kata-kata terakhir, barulah gantungan boneka beruangnya bergoyang-goyang saat ia menaiki bus dan hilang di balik pintunya.

Dita merentangkan jarinya untuk sedikit mengamati kilau dari cincinnya. Di senja kala itu, pada pertemuan yang tak disangka-sangka, ia akan mengingat selalu perkataan gadis bernama Zuu itu, jika yang dia katakan tidaklah seluruhnya salah.

Tetangga Menyebalkan 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang