Bulan sabit makin meninggi. Bintang-bintang berkelap-kelip serupa sekumpulan pesta kunang-kunang mengangkasa.
Debur ombak serta desis angin darat, mengiringi petikan gitar Mark yang melantunkan lagu Barat; Shawn Mendez.
Beberapa ikut meramaikan seperti; Jaemin, Jeno dan Chenle. Duduk mengelilingi api unggun.
"I know I can treat you better than he can. And any girl like you deserves a gentleman ...."
Beberapa lagi tinggal di meja makan. Memecah beberapa kelompok. Satunya melakukan permainan kartu, lainnya mengemil dalam obrolan ringan. Dua, tiga orang dari mereka memilih bermesraan dengan ponsel masing-masing.
Sisanya mencuci piring. Tugas itu diserahkan perempuan. Dibantu juga Jungwoo. Keberadaan Soodam tentu jadi alasan kuat ia di sana. Pasangan baru di mana pun, di awal-awal hubungan pasti sedang lengket-lengketnya.
"Sisanya biar aku dan Soodam yang urus. Kalian bergabung saja dengan yang lain." Tiba-tiba Jungwoo berujar.
"Bilang saja kau sengaja mengusir kami supaya kalian bisa bebas berpacaran."
Jungwoo garuk kepala, gugup tampak dari gesturnya disekakmat mulut seenak jidat Jinny. Tidak berbeda jauh dengan Soodam, tetapi ia melarikan gugupnya dengan tetap fokus membilas piring.
"Haish, kau ini jangan bikin mereka tambah malu." Lea memperingati sikap Jinny yang mencibir terang-terangan. Lantas menarik Jinny dan Dita yang langsung mengherankan mereka berdua.
"Ayo, kita keluar. Kita tidak dibutuhkan lagi di sini."
Tanpa Lea mengedip pun, Dita dan Jinny sudah paham orang pacaran butuh privasi.
Andai Denise di sini, dia pasti jadi orang pertama yang bakal menyeret Soodam dan tidak membiarkan mereka ditinggal berdua saja di dapur.
Dita ingin mengganti peran Denise, menjauhkan Soodam dari Jungwoo Terlalu khawatir Soodam kenapa-kenapa di tangan namja itu. Tahu sendiri sebaik apapun pria, pria tetaplah pria. Isi otak mereka sulit dipercayai karena suka berkeliaran ke mana-mana.
Namun, Lea tidak memberi celah untuk Dita memuluskan niatnya. Sarung tangan karet di tangannya keburu dilepas Lea dengan tak sabar.
Justru dirinya yang diseret dari dapur Taeyong dan Jinny mengekor.
"Apa kalian tidak mengkhawatirkan Soodam?" Dita mengelak dan berhasil lepas dari cekalan Lea yang memang lemah.
"Untuk apa khawatir jika Jungwoo sudah berjanji akan menjaga Soodam sebaik ia menjaga diri sendiri."
"Kalau Soodam diapa-apakan bagaimana? Tidak baik meninggalkan mereka berdua saja."
"Kau tidak perlu berlagak seprotektif Denise." Jinny menimpali. "Soodam bahagia dengan Jungwoo sekarang. Dia sudah dewasa, sudah tahu mana yang baik untuknya. Sebagai sahabat yang baik, kita tidak berhak merusak kebahagiaannya."
Benar juga, sih. Tapi tetap saja Dita cemas. Soodam masih polos dan baru pertama merasai jatuh cinta. Dita hanya tidak mau Soodam kebelabasan. Atau memang ia yang keterlaluan berpikiran negatif, padahal mereka hanya mencuci piring saja.
"Sudahlah, kita bergabung dengan yang lain saja. Siapa tahu ada dari mereka bisa dijadikan gebetan." Jinny menyikut lengan Lea dan Dita, plus pamer senyum akal bulus.
Lea lebih antusias daripada Dita yang cengo di tempat, memandangi mereka yang saling merangkul dalam langkah berapai-api. Obsesi memiliki pacar sudah dari setahun lalu menjadi topik panas yang selalu mereka sisipi di sela kumpul-kumpul.
Denise dulu paling getol meledek, bilang bahwa harapan Jinny dan Lea terlalu muluk. Bukan masalah faktor wajah. Justru wajah mereka lumayan mendukung mendapatkan namja tampan. Hanya saja tingkah laku mereka yang Denise soroti, terlalu menyebalkan lebaynya. Terutama mulut yang suka seenak jidat. Denise mencemaskan namja yang kelak jadi pacar mereka berdua, bisa-bisa kena trauma psikis.
Apapun itu, Dita pikir, ini waktu yang tepat untuk harapan mereka. Kesempatan bagus yang tidak mungkin mereka tinggalkan. Kapan lagi bisa berkumpul dengan 21 pemuda tampan, yang statusnya kemungkinan masih single.
Sambil keluar rumah Taeyong, ia sekalian berpikir mau pulang saja. Toh, dia diajak untuk makan-makan saja. Bahkan diminta memasak juga dan semua itu sudah selesai. Ia tidak berminat untuk bergabung mengobrol hal tidak penting. Lagipula tubuhnya sudah sangat lelah. Tidak ada musik keras yang disetel, Dita harus memanfaatkan peluang emas itu untuk bermesraan dengan ranjang dan guling. Syukur-syukur dipeluk mimpi Yanan.
Dita nyengir, tidak sabar pergi tidur. Namun, sebelum itu tentu permisi dulu kepada tuan rumah demi sopan santun.
Rupanya Dita tidak perlu mencari Taeyong, karena namja itu berdiri membelakanginya di serambi rumahnya. Sedang berteleponan.
Dita membeku dengan telapak tangan basah nan dingin saling memilin gugup. Menunggu Taeyong selesai dengan teleponnya.
"Bagaimana dengan perasaanku?"
"..."
"Kau tidak pernah bertanya seberapa rasa sakit diriku setiap kali kau kembali padanya."
"..."
"Berkali-kali aku dan teman-temanku melindungimu, tapi kau tidak menghargainya dengan terus kembali kepadanya. Aku tidak mengira kau sebodoh ini."
Kemudian Taeyong menjauhkan ponselnya. Membuang napas kasar, bebarengan umpatan kasar dan tendangan pada birai kayu. "Asshole!"
Seketika Dita mengkeret takut. Taeyong sedang marah, bukan ide bagus untuk mengusiknya, jadi dengan mengendap-endap Dita pergi dari sana.
Baru dua langkah, Taeyong keburu memutar leher dan melihat Dita di sana. Mereka saling tatap dan Dita menyesal melakukannya karena mata obsidian itu dibakar amarah.
"Apa yang kau lakukan di sini?!"
"A-aku ..." Ucapan Dita dipotong cepat.
"Kau menguping!" Lengkap tuduhan serius yang dilayangkan Taeyong.
"Ani!" Dita mengibas tangan panik. "Aku tidak sengaja menguping! A-aku cuma mau pamit pulang. Sungguh!"
Melihat wajah nelangsa itu yang hampir menangis, marah Taeyong jatuh ke titik terendah. Ia memalingkan wajah; menarik, mengembuskan udara panjang sebelum menyugar poninya. Ajaib emosinya langsung stabil.
"Dua kali kau memergoki hal yang tidak seharusnya kau lihat dan dengar." Intonasi pemuda itu sudah normal, meski begitu Dita masih takut dan was-was akan lonjakan tempramental pemuda itu yang sulit diprediksi. Sangat menyeramkan.
Dita mengerti apa yang Taeyong maksud. Soal ciuman tempo lalu dan sekarang. Masih dalam suasana panik dan wajah memelas, Dita meminta maaf. "Mi-mianhe, semua itu di luar kesengajaanku. Aku tidak berniat untuk ikut campur."
"Aku mengerti. Kau tidak pantas meminta maaf untuk sesuatu yang kebetulan."
"Bajumu basah." Tiba-tiba Taeyong mengubah arah pembicaraan. Matanya turun pada sweater Dita di bagian perut. Ia sengaja melakukannya untuk meredakan gugup gadis itu.
"Ah, i-iya."
"Apa kau benar-benar takut padaku?" Tanpa melepas tatapan selidik, seketika Dita diserang panik. Mata almondnya membulat cemas. Langsung mengubek otaknya mencari kalimat penyelamat.
"Kau takut padaku." Dia yang bertanya, dia juga yang tidak sabar menjawab. Keadaan mereka yang bertetangga selama tiga tahun minim interaksi, bahkan nyaris tidak pernah adalah alasan absolut gadis itu menghindarinya dalam banyak momen saat tak sengaja bersitatap.
Taeyong menunduk. Melipat dada. Menyandarkan pinggang pada birai tangga. Tersenyum-sedikit meringis perih di sudut bibir-untuk hubungan mereka yang lucu sekaligus miris. Jarak dekat, tapi serasa jauh sekali.
"Aku minta maaf untuk situasi akhir-akhir ini yang menyulitkanmu karena ulah anak-anak dan untuk hubungan bertetangga kita yang buruk."
Ini agak berlebihan, tapi Dita mengakui motoriknya kena goncangan hebat, mendadak jadi beloon. Taeyong yang meminta maaf, adalah satu dari seribu kemungkinan yang mustahil. Jadi, wajar apabila Dita syok berat.
Taeyong tertawa hingga matanya yang segelap malam juga ikut tertawa. Dita tidak yakin ia hidup di dunia nyata sekarang, kalau wajah di depannya sungguh tidak riil, dengan sentuhan efek CGI.
"Wajah bodohmu benar-benar lucu."
______
Gimana puasanya, pada lancarkan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Tetangga Menyebalkan 🔚
FanficBertetangga dengan Taeyong, harus menyetok persediaan sabar banyak-banyak. pasalnya pemuda itu sering mengadakan pesta sampai pagi buta di akhir pekan, membuat Dita yang suka kedamaian menangis meratapi insomnia. Kalau ada award orang tersabar di du...