41. Malam Penantian

2.9K 603 144
                                    


Sejak pesan dari Mermadian terkumandangkan, Jeno tak dapat lagi fokus melakukan kerjanya. Ada rasa antisipasi, ketakutan, kemarahan dan kesedihan yang melandanya.


Dia tau bahwa pada akhirnya, jika Raja memutuskan untuk mengambil jalur damai ini maka Jeno lah yang akan dikirim ke Mermadia. Mungkin dulu Jeno hanya akan mengikuti apa permintaan orang tuanya agar mendapat pengakuan yang selama ini dia harapkan.


Tapi sekarang sudah berbeda. Jeno sudah menyadari bahwa hidupnya tak sebatas hanya mencari pengakuan orang tuanya. Dia kini sudah belajar untuk berani berdiri dan melakukan apa yang membuatnya bahagia.

Sekarangpun dia sudah dikelilingi orang-orang yang sangat dipercayai dan disayanginya. Dia juga baru saja memulai gebrakan revolusi untuk membangun Phynexia. Tidak mungkin dia bersedia pergi ke Mermadia dan membuang usaha yang baru saja memiliki tunas ini.


Tapi bila memang kebijakan Raja adalah untuk mengirimkan Jeno, Jeno bisa apa? Jika tidak ada pangeran yang dikirimkan ke Mermadia maka perang akan berkibar. Nyawa bangsanya akan terkikis. Sungguh Jeno tak mau itu, tapi dia juga sudah lelah menjadi tameng saat semua rencana keluarganya keluar dari jalur.


Pangeran kedua itu benar-benar dalam dilema antara meneruskan mimpinya atau berkorban demi bangsanya.


Tiba-tiba pundaknya terasa berat. Jeno sadar dari lamunannya dan melihat kepala Renjun yang tadi terantuk hingga jatuh ke pundaknya.


Tadi saat mereka berpaspasan dan berujung Jeno mengejar Donghyuck, Renjun jadi terus mengekor tunangannya itu. Bingung dengan semua ini akhirnya kedua orang itu berakhir di kolam taman belakang istana. Tempat dimana mereka biasa menghabiskan waktu ketika Croastrow belum dipindahkan ke Kastil Permata Hutan.


Sejak bulan baru terbit hingga bulan sudah tepat ditengah langit, tak ada suara yang keluar dari keduanya.


Jeno berat dengan pikirannya, dan Renjun yang memberikan penghiburan dengan caranya sendiri.


Pangeran Phynexia tersenyum lembut. Kedua tangannya terangkat meraih kepala Renjun dan membenarkan posisinya agar tersandar nyaman di pundak yang lebih muda. "Lelah?"


Anggukan kecil Jeno terima.


"Tidurlah, aku akan terus ada disini hingga kau tertidur." ucapnya sambil mengelus kepala Renjun. Tapi yang dia terima adalah gelengan kepala dari sang gagak.


"Tidak bisa tidur?" candanya. Jeno tau sebenarnya Renjun sudah sangat lelah, tapi mungkin sang putra mahkota menolak untuk tidur dan meninggalkan Jeno yang masih tersadar penuh.


"Hmmm mau dengar cerita?" tawar Jeno dan tawaran ini dijawab dengan anggukan lemah.


"Baiklah ummm, cerita apa ya?"


Sebuah memori singgah di otaknya hingga membuat dia tertawa dulu. "Dulu saat kecil, Mark-hyung adalah pemimpin aku dan Jisung. Pernah satu ketika dia mengajak kami untuk mempersiapkan perangkap sehingga saat ada orang yang lewat di pintu rapat, maka abu api akan jatuh di atas kepala mereka dan berdiam di rambut tanpa mereka sadari. Klimaksnya adalah ketika Mark-hyung dengan sengaja menyalakan api dan melemparkannya ke salah satu kepala aristokrat sehingga rambutnya menyala. Syukurnya rambut kami tak akan terbakar, jadinya aristokrat itu tidak botak."

Imperial Shadow ≡ NoRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang