Bagian 22

170 31 1
                                    

Keesokan paginya, Naruto bersiap untuk pergi ke galery. Ya, Mau tak mau kini hanya dialah yang harus mengambil alih pekerjaan Kiba, meski tak sepenuhnya  karena ada asisten Kiba yang membantu. Semalam, ia sempat berdebat dengan Kakashi ingin menemani Kiba di rumah sakit, tapi itu tidak mungkin, karena kondisi Kiba belum ada kemajuan. Kakashi juga memaksa Naruto untuk tetap tenang, ia harus menjalani harinya seperti biasa, biarkan kasus Kiba di tangani oleh polisi.
Semalam juga, sebelum kembali ke apartement, Naruto terlebih dahulu mengantarkan Hinata. Pria itu sudah menceritakan persoalan tentang seseorang bernama Toneri. Hari ini Naruto meminta Hinata untuk menemaninya bertemu dengan Toneri.

Sesampainya di galery, Naruto sudah di suguhkan pemandangan para pegawainya disana. Pegawai yang bekerja di galery, tidak lebih dari sepuluh orang termasuk Kiba. Pemandangan yang ia dapat, ia bisa melihat raut wajah mereka. Terlihat suram dan juga sedih. Naruto sempat heran, namun ketika matanya melirik pada televisi yang tersedia dekat resepsionist, barulah ia paham. Mereka sedih karena berita menyuguhkan berita tentang Kiba. Apalagi mereka mengetahui bahwa Kiba di temukan dengan kondisi yang tak biasa dan itu menimbulkan tanda tanya publik. Naruto segera berlalu, dan ia masuk ke ruangan Kiba.

Dalam kondisi seperti ini, ia harus tetap tenang. Pria itu meyakini dirinya sendiri, bahwa ia tak sendiri. Masih ada Hinata, gadis itu siap membantu mencari pelaku dan juga teka teki yang bersemayam di otaknya. Meski ia tak ingin melibatkannya, tapi lain hal di mata Hinata. Kita akan mencari bersama Naru, ingat jangan merasa sendiri. Kita ini teman bukan? Aku akan siap membantu sebisaku. Kau hanya harus percaya padaku. Aku tak akan meninggalkanmu sendiri. Itu yang di katakan Hinata padanya. Kata-katanya sungguh menguatkan hati Naruto, seolah ia menemukan ketenangan, setelah bertahun-tahun yang ia rasakan hanya kebencian dan rasa tak peduli.

Tiga jam lamanya, Naruto sudah selesai dengan pekerjaannya. Ia menyerahkan kembali pada asisten Kiba. Saat ini ia harus bergegas pergi ke kafe milik keluarga Hinata. Ya, dia  akan menjemput Hinata disana sekaligus membicarakan rencananya bertemu dengan Toneri.

Tiba-tiba laju mobil Naruto memelan sekitar seratus meter dari kafe hyuuga. Matanya menyipit, ia tak percaya dengan apa yang di lihatnya. " Apa lagi ini? Kenapa banyak garis polisi di depan kafe itu?" Ia terus bergumam dan memerhatikan sekitar. Sudah banyak wartawan dan masyarakat yang sengaja ingin tahu apa yanh terjadi. Disana juga, ia melihat sudah ada detektif Kakashi.

Naruto mulai gelisah, perasaannya tak tenang. Terlebih pada Hinata. Ia berfikiran buruk dan memukul stir mobilnya keras. "Sial!! Hinata!!" Emosinya tak terkontrol, fikiran negatif mylau menyerang. Pria itu segera menepikan mobilnya, ia segera bergegas keluar dan menghadang garis polisu disana.

"Aku harus masuk!" Teriaknya. Namun, polisi segera menghadang.

"Anda siapa? Ada keperluan apa?"

"Aku ingin bertemu Hinata! Jangan halangi aku brengsek!! " Naruto tetap memaksa masuk dan meneriaki nama Hinata. "Hinata!! Hinata!!"

Sedangkan Kakashi yang sedang menerima telepon, sontak ia melihat ke arah keributan. Benar saja. Itu adalah Naruto. Kakashi segera berlari menghampirinya.

"Lepaskan dia! Naruto tenangkan dirimu. Ikuti aku!" Titahnya.

"Tapi aku..." Ucapannya terpotong kala Kakashi berbicara.

"Ikuti aku sekarang. Hinata baik-baik saja." Dia tau ke khawatiran pria pirang itu, memang ia belum sempat memberitahu Naruto saat ia mendengar laporan perihal orang tua Hinata.

Naruto di paksa mengikuti Kakashi, ia masuk ke dalam mobil bersama Kakashi, dan ada Konohamaru disana. Selama perjalanan. Ia hanya diam. Fikirannya kacau, meski tadi di katakan Hinata baik-baik saja, tapi itu belum cukup.

Sekitar sepuluh menit, mereka telah sampai di rumah sakit forensik. Naruto hanya mengekori Kakashi dalam diam. Wajahnya sulit di artikan. Namun samar-samar ia mendengar tangisan dari seorang gadis di ujung lorong. Saat matanya memandang ke depan, barulah ia tahu bahwa itu Hinata. Gadis itu terduduk dengan memeluk lututnya. Tubuhnya bergetar.

Apa sebenarnya yang terjadi?

Atensinya tetap memandang pada sosok gadis yang menangis, dengan perlahan ia mendekat.

"Hime..." Ucapnya, dengan lembut dan ia hendak menyentuh pundak gadis tersebut. Sesaat mata ametis itu menoleh, penampilannya kacau, mata sembab, air mata yang deras membasahi pipi. Gadis itu berdiri dan ia langsung berhambur memeluk Naruto. Ia menangis sejadi jadinya di dada Naruto. Naruto hanya diam, ia melihat tubuh itu sangat bergetar. Sesaat kemudian dia mengerti apa yang terjadi pada gadis ini. Apalagi saat matanya melihat pintu kamar di depannya. Ia tidak tahu apa yang terjadi. Tapi pastilah ada kerabat, atau keluarganya di dalam sana. Ya, itu adalah kamar jenazah. Naruto segera memeluk erat Hinata dan memejamkan matanya. Saat ini ia tak ingin berbicara dulu sampai gadis yang di peluknya itu tenang.

"Nona Hinata... Bagaimana keputusanmu? Kita perlu melakukan ini secepatnya. Aku tahu situasi ini sulit. Tapi ini juga demi kebaikan semua, agar kita tahu penyebabnya." Ucap Shikamaru. Hinata masih diam terisak, dia makin mengeratkan pelukannya pada Naruto.

Setelah beberapa saat, akhirnya Hinata sudah tenang. Ia sudah siap dan berusaha tegar. Gadis itu membalikan tubuhnya, ia menghela nafas pelan dan memejamkan matanya.

"Baiklah, lakukan saja. " Air matanya kembali mengalir, meski itu sulit tapi dia harus menerima bahwa kedua orang tuanya perlu di autopsi.

Naruto, memegang pundak Hinata.

"Baik, akan kami lakukan. Silahkan Nona beristirahatlah dulu. Karena ini membutuhkan waktu yang cukup lama." Shikamaru segera menghampiri dokter forensik dan juga Kakashi.

Hinata berbalik menghadap Naruto, matanya mulai berkaca kembali. " Naru, orangtuaku..." Air matanya kembali mengalir. Naruto memberanikan diri untuk bertanya karena masih di landa kebingungan.

"Maaf. Aku tidak bermaksud... Tapi apa yang terjadi Hime?" Ia menuntun Hinata untuk duduk di kursi yang tersedia.

Hinata mencoba tegar, untuk berbicara pada pria di sampingnya.
"Orang tua ku, mereka... Di temukan tak bernyawa tadi pagi." Hinata menggigit bibir bawahnya menahan tangis. Naruto yang mendengarnya sangat terkejut. Ia memeluk bahu gadis itu. Pandangannya fokus pada Hinata. Ia melihat betapa tegarnya gadis itu. Namun, di hatinya sangat rapuh saat ini.
"Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi, tapi perasaanku tidak enak sejak semalam. Mereka tidak memberiku kabar. Saat pagi sekali, aku berniat menyusul mereka disana, mungkin mereka beristirahat di kafe... Nyatanya saat aku temukan mereka, sudah tiada." Sambungnya dengan isakan tangis disana.

"Ba-bagaimana mungkin..." 

Hinata hanya menggelengkan kepalanya. Ia kembali menangis.

Naruto termenung, dia hanya menatap lantai koridor dengan perasaan kacau. Pria itu merasa akhir-akhir ini banyak kejadian tak terduga, terlebih dia merasa menjadi malapetaka bagi orang-orang terdekatnya. Apa benar ini kutukan yang di maksud ibunya? Bahwa dia memang tidak pantas berada di dekat orang-orang normal. Dia sudah terlahir menjadi iblis yang akan mendatangkan kesengsaraan.

Seketika sekelabat bayangan masa lalunya datang kembali. Bayang-bayang wajah kedua orang tuanya yang meregang nyawa. Senyuman ibunya yang ceria namun menyiratkan kebengisan. Dalam hati, Naruto menangis, kepalanya sakit. Ia ingin meraung. Benar, kalian tak seharusnya mengenalku. Aku membawa kesialan pada kalian. Mengapa pembunuh sialan itu tidak mencabut nyawaku saja. Aku tak seharusnya berada di dekatmu, Hime.

.
.
.
.
.
.
.Tbc

KILLER (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang