2. Anak Kunci

4.3K 930 73
                                    

Met Kamis Pagi!

Enjoy.

******

Peti tempat Aryo Seto disemayamkan tampak begitu terasing dari hilir mudik orang yang datang melayat. Berita tersebar kalau jenazah Aryo hampir tidak bisa dikenali saking buruknya kondisi saat ditemukan dalam mobil terbakar yang ditumpanginya saat kecelakaan terjadi. Karena itu, mereka tidak tega untuk sekadar menjenguk ke dalam peti. Namun, sepertinya itu bukan masalah bagi beberapa pria yang baru saja masuk. Mereka langsung mendekati peti dan berdiri di sekelilingnya dengan sikap hormat.

Beberapa saat suasana hening, para pelayat yang baru masuk sepertinya adalah orang-orang penting yang kehadirannya memberi efek sangat besar. Satu-satunya alasan Diana tidak memberi perhatian sedikit pun kepada mereka adalah karena dia tenggelam dalam dukanya yang terlalu dalam. Dia tidak mampu membagi fokus antara sosok ayahnya di dalam peti dengan para pelayat yang tampak khusyuk memberikan penghormatan pada jenazah yang terbujur kaku. Sempat didengar Diana, salah satu dari mereka mengucapkan belasungkawa kepada ibunya. Suaranya dalam dan berwibawa, bahkan membuat Diana sedikit mengangkat wajah karena terusik oleh keberadaannya yang begitu mendominasi. Namun, dia kembali tertunduk dan memandangi wajah gosong ayahnya dengan penuh kasih sayang. Ini adalah kesempatan terakhirnya melihat sang ayah dan dia tak mau menyia-nyiakan waktu sama sekali.

Tak diketahuinya, sang ibu berdiri gemetaran saat menjawab pria itu. Bukan hanya karena duka yang terlalu mendalam, tetapi, juga ketakutan yang tidak bisa ditahannya. Sepertinya, pria itu mampu mengintimidasi, meski hanya dengan keberadaannya saja.

Jenazah Aryo mengenakan jas favoritnya, tetap terlihat begitu mengenaskan meski telah dirias sebaik mungkin oleh petugas rumah duka. Tangannya mengepal dan harus diikat agar bisa menyatu di dadanya. Menurut petugas yang membantu mengevakuasi jenazahnya, posisi Aryo memang meringkuk di kursi belakang sambil mengepalkan tangannya erat. Karena takut merusak mayat yang sudah begitu lunak karena gosong, petugas terpaksa membiarkan saja bagian itu seperti semula. Itu juga yang membuat keluarga kesulitan memakaikan sarung tangan untuk menutupi lukanya.

Entah kenapa, perhatian Diana mendadak tertarik ke arah tangan Aryo yang mengepal itu. Keningnya berkerut, dan digerakkan naluri, dia perlahan memegang tangan sang ayah. Lengket. Ada daging terbakar yang menempel di tangannya, tapi dia meneruskan tindakannya. Hati-hati, mencoba membuka kepalan sang ayah, dan tertegun. Seolah memang mengharapkan Diana melakukannya, jemari Aryo sedikit membuka dan sebuah anak kunci terlihat di situ. Diana langsung mengambilnya, dia menoleh kanan kiri dan bersyukur tidak ada yang memergoki. Kembali ia menatap ayahnya.

"Pak, Bapak memang mau aku ambil kunci ini?" lirihnya.

Tentu saja tidak ada jawaban. Diana menggengam kunci itu erat, lalu mengambil sepasang sarung tangan putih dan memakaikannya pada Aryo. Dua orang mendekat dan memberitahunya kalau ibadah menutup peti akan segera dimulai, yang dijawab Diana hanya dengan anggukan. Tekun, dia tetap berusaha memakaikan sarung tangan untuk ayahnya. Ibunya ikut mendekat dan memandanginya dengan sedih. Para pelayat yang sempat membuatnya takut sepertinya telah pergi.

"Enggak bisa, Di. Biar saja," katanya.

Diana menggeleng tanpa menjawab, masih meneruskan pekerjaannya. Tak lama, sepasang sarung tangan terpasang, menutupi tangan gosong yang bahkan terlihat tulang belulangnya. Air mata menetes jatuh, di pipi Diana dan juga ibunya. Ternyata, sang ayah ingin putrinya yang memakaikan sarung tangan.

"Selamat jalan Pak. Istirahat yang tenang di sana, ya? Sampai ketemu lagi dan kita lanjut berantem," bisik Diana, lalu terisak. Kunci di dalam genggaman terasa hangat, seperti menyampaikan balasan dari sang ayah untuk harapannya.

Di sebelahnya, sang Ibu merangkul bahu Diana. Ikut terisak. Dalam diam keduanya mengucap salam perpisahan.

*****

Diana keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya yang basah. Matanya masih sembap dan mungkin akan butuh waktu lama untuk menghilangkan bengkaknya. Tadi dia terlalu lama menangis, dan saat ini, tubuh dan jiwanya sudah benar-benar lelah. Meski begitu, rasanya akan sangat sulit baginya untuk tidur.

Dia dan ibunya kembali ke rumah dengan perasaan hampa saat hari sudah jauh malam. Sang ibu langsung masuk ke kamarnya, mungkin ingin menyepi sejenak. Diana sendiri langsung mandi karena itu adalah kebiasaan rutinnya setiap pulang dari mana saja. Sepi menggelayut, asisten rumah tangganya mungkin sudah tidur sekarang. Namun, ada yang mengganggu benak Diana. Dia tahu, ibunya memendam sesuatu, dan merasa khawatir.

Keras dia menghela napas. Dia duduk di depan meja rias, dan memandang bayangan seorang gadis yang terlihat menyedihkan di cermin. Diambil anak kunci yang tadi dia dapat dari tangan ayahnya, dan dipandanginya. Anak kunci itu sudah bersih karena tadi dia sempat mencucinya, dan ada sesuatu yang sekarang bisa dilihatnya. Sesuatu yang tadinya tertutup jelaga.

Penasaran, Diana mendekatkan anak kunci itu. ada barisan angka timbul di situ. Dia mengerutkan kening, tidak mampu menebak anak kunci itu untuk membuka apa. Dia hafal semua kunci yang ada di rumahnya, termasuk kotak penyimpanan di ruang kerja ayahnya. Kunci ini bukan milik salah satunya. Apa yang begitu penting sampai sang ayah menggenggamnya sedemikian erat hinggal ajal menjemput?

Bunyi benda pecah dari kamar ibunya merenggut Diana dari lamunan. Dia menoleh dan bangkit dari kursi. Ditaruhnya anak kunci ke dalam kotak kosmetiknya, lalu dia keluar menuju kamar sang ibu. Pintu kamar tertutup, tapi tidak dikunci karena Diana bisa membukanya dengan mudah.

"Bu? Ibu ngapain?" tanyanya pelan, takut membangunkan seandainya beliau atau penghuni lain rumah sudah tidur.

"Jangan masuk, Di!" Seruan ibunya membuat Diana mengerutkan kening, tapi kemudian dia membeku. Sebuah pisau ditodongkan ke lehernya.

Perlahan, dia bisa melihat situasi kamar, dan menyadari kalau dirinya, ibunya, dan sang asisten rumah tangga, ada dalam bahaya. Dua pria bertopeng ski, masing-masing membawa pisau besar, ada di kamar dan menodongkan senjata mereka pada ibunya dan Titi. Satu orang lain, ada di belakangnya, menaruh pisau yang juga besar di lehernya. Sisi tajam pisau itu bahkan mulai menggores kulitnya, meninggalkan rasa dingin dan bau besi dari darahnya yang mulai meleleh.

Bersambung.

Mpe ketemu di bab berikut, maacih banyak udah mampir.

Winny
Tajurhalang Bogor 16 Juni 2022 publish ulang 23 Oktober 2022

Diana, Sang Pemburu BadaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang