20. Apakah Dia Ditolak?

2.1K 523 42
                                    

Yuhuuu!

Selamat Rabu pagi! Gimana hari kalian di tengah minggu? Enggak kerasa, udah November aje ye?Winny yang lagi rajin sempet lupa apdet Senin kemaren, hehehe.  So didobel aja hari ini, tapi bab 21 nanti malem menjelang podcast Dear Precious Me tayang ya.

Oh, hari ini eike bahas soal stres di podcast ya. Cuss yang kepo pengen dengerin soal stres di mata Winnyraca.  Uhuy.

Now, enjoy.

BAGIAN DUA PULUH: APAKAH DIA DITOLAK?

“Saya enggak invalid, lho, Mas. Saya masih bisa nyetir, Mas Tyo enggak perlu harus selalu mengantar saya.” Diana berkata, sok enggak butuh, padahal senang setengah mati karena Tyo memaksa untuk menggantikannya menyetir.

“Saya tahu, saya hanya ingin memastikan Mbak Diana tiba dengan selamat tanpa diganggu oleh siapa pun di perjalanan,” jawab Tyo tanpa perubahan ekspresi.

“Memangnya siapa yang mau gangguin saya terus, Mas? Saya enggak sepenting itu kali,” cibir Diana, berusaha terlihat tak acuh dan tangguh—walaupun memang sebenarnya dia tangguh, hanya saja saat ini sedang bersikap seperti perempuan kebanyakan yang senang diperhatikan. Butuh enggak butuh gitu.

“Kita enggak tahu. Lebih baik mencegah daripada mengobati.” Tyo menjawab tenang. Dia memegang roda kemudi dengan mantap, membuat Diana beberapa kali mencuri pandang pada lengannya yang berotot dan tampak kuat. Ke mana lengan kurus waktu itu, ya? Apa matanya picek?

Diana tertawa. “Haduh, Mas Tyo. Kalo gini saya jadi kebiasaan, lho, nanti minta disetirin dan dijagain terus. Gimana?” godanya.

“Saya tidak keberatan.”

Diana melebarkan matanya. “Widih … beneran, nih?”

Tyo tersenyum tipis, tidak mengalihkan sedikit pun pandangannya dari jalan. Meski terlihat fokus menyetir, jelas petugas satu itu tetap waspada. Dia sesekali melirik spion untuk memeriksa sekitar, mengawasi dengan saksama setiap kali ada kendaraan yang terlalu dekat, atau berjalan dengan kecepatan terlalu rendah.

Diana memiringkan tubuhnya menghadap Tyo dan tersenyum melihatnya. Tadi pagi pria itu sempat mandi dan meminjam pakaian Aryo yang ketinggalan mode berupa kemeja denim dan celana jin belel. Rambut gimbalnya diikat, membuatnya terlihat lebih rapi dan tidak terlalu menyeramkan. Malah jadi terkesan seksi. Diana senang melihat sorot matanya yang teduh, sama sekali tidak menakutkan meski dengan wajah seperti penjahat begitu. Aneh juga kalau ada yang percaya pria dengan sorot mata lembut begini adalah preman.

“Kalau Mas Tyo enggak keberatan saya dikit-dikit minta tolong, saya betulan bakal sering minta tolong, lho,” katanya, menakuti.

Lagi-lagi Tyo tersenyum tipis, tapi tak menjawab. Matanya masih terus mengawasi sekeliling, mirip elang pemburu yang anggun saat sedang mencari mangsa.

“Mas Tyo, bisa minta tolong sekarang?” Diana mendadak bertanya.

Tyo melirik, terkesiap. “Tolong apa?” Dia balik bertanya.

Diana mengerucutkan bibir. “Jangan senyum kayak gitu terus, bikin saya deg-degan, tahu? Jangan salahin saya kalo naksir sama Mas Tyo, nanti.”

Tyo langsung berdeham, salah tingkah. “Mbak Diana bisa saja.”

Diana berdecak. “Ya bisa, lah! Mas Tyo enggak tahu? Saya gampang jatuh cinta orangnya. Apalagi sama orang pemalu yang punya senyum tipis semanis gula kayak Mas Tyo.”

Hening selama beberapa saat. Tyo mengarahkan mobil ke jalur lambat, bersiap untuk masuk ke tikungan tak jauh lagi.

“Uhm … ada yang perlu saya koreksi dari pernyataan dan juga dugaan Mbak Diana.” Tiba-tiba Tyo berujar.

Diana, Sang Pemburu BadaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang