Yuhu, met pagi!
So, kayak biasa, kalo mau baca cepet, silakan ke Karyakarsa ya, udah sampe bab-bab terakhir di sana. Untuk bab-bab dengan muatan sedikit dewasa, eike taruh di Karyakarsa, supaya bocah-bocah yang enggak pernah baca note otor enggak bisa baca.
Now, enjoy.
BAGIAN SEPULUH: ADA APA DENGAN SASKIA?
"Ke mana dia, Jo?"
Entah sudah ke berapa kali Diana menanyakan pertanyaan yang sama itu, dan lagi-lagi Bejo menggeleng. Berat, dia menghela napas.
"Gimana kalau dia kenapa-napa, Jo? Salah dong, kita?"
Bejo malah membuang pandangannya ke luar jendela, membuat Diana makin frustrasi.
"Kalau lo publish artikel dari rekamannya, kita bisa kena masalah, Di." Bejo berpendapat. Dia mengeluarkan kotak rokok dan menaruh sebatang di bibirnya, tapi tidak disulutnya. Tatapannya menerawang.
Diana memejamkan mata dan mengacak rambutnya. "Kenapa kita enggak mikir untuk mastiin keamanan dia dulu, sih?" keluhnya. "Saking senengnya gue dapet berita ekslusif gini sampek lupa gue ngurusin detail."
"Di, gue juga enggak kepikiran ke sana karena ini berita yang beneran enggak kebayang sama kita. Gambarannya aja enggak pernah melintas. Gue enggak akan membenarkan kelalaian kita memastikan dia aman, tapi, lo enggak perlu nyalahin diri lo segitunya," hibur Bejo.
Diana meremas rambutnya. "Gue takut, Jo," akunya. "Gue enggak pernah takut kalo cuma gue yang terancam, tapi lo tahu enggak rasanya, orang lain terancam karena kita? Enggak enak, Jo."
"Iyalah." Bejo mengetukkan jemarinya ke roda kemudi. "Apa kita coba lagi, siapa tahu dia masih di dalam?"
Diana memandangnya sangsi. "Menurut lo gitu?"
Bejo mengangguk, tapi jelas ekspresinya ragu.
Diana mencoba lagi menghubungi nomor Saskia dan lagi-lagi tidak aktif. Kecemasan semakin menjadi, tetapi entah kenapa, sebuah ide mendadak muncul. Sosok seseorang melintas dalam ingatannya.
"Bentar, gue minta tolong aja sama Mas Tyo, dia kan intel. Seinget gue, dia bilang tempat tugasnya ada di sekitar sini." Cepat dia menghubungi nomor yang kemarin dipakai Tyo. Panggilannya tersambung dengan cepat, tapi Diana terlonjak di tempatnya saat mendengar suara sahutan di seberang.
"Halo? Iya, Mamah?"
Diana melongo, melihat sebentar ke layar ponselnya, sebelum dengan bingung menempelkan lagi ke telinga. "Halo? Mas ... Tyo?"
"iya, halo, Mamah? Kenapa? Papah lagi kerja, nih, ah. Mamah mau minta dibeliin apa kali ini?"
Dia mengerjap cepat. Ini ... apa-apaan, sih? Tepat saat itu terdengar suara bertanya di seberang sana, sepertinya penasaran dengan siapa si penerima telepon bicara.
"Siapa itu, Ceng?"
"Ha? Ah ... Juleha, Bos. Bini nomor dua."
Seketika pengertian mengalir di otak Diana. Astaga, kenapa dia lupa? Tyo sedang menyamar, menerima telepon pun dia harus berhati-hati. Dia pun berdeham. "Halo, Mas Tyo. Mas lagi lowong? Kalau saya minta tolong, bisa?"
"Bisa, Mamah. Tapi jangan suruh beli pembalut lagi, dong, apa kata orang preman beli pembalut? Ih."
Diana terkikik. Ampun, deh. Dia tidak pernah membayangkan pria sekalem Tyo bicara dengan cara begitu, lucu sekali ternyata. "Mas, tolong ke sini, dong. Saya butuh bantuan banget. Saya chat alamatnya, ya."
"Iya, Mah. Iya, Papah minta ijin bos dulu, ya? Enggak usah ngambek, atuh. Enggak Papah kasih belanja, mau?" Telepon pun terputus.
Diana langsung mengembuskan napas keras. Cepat, dia mengetikkan alamat apartemen dan juga lot parkir tempat dia dan Bejo menunggu. Selesai itu, dia menyandarkan kepalanya ke jok kursi dan melempar ponselnya ke dasbor lalu memejamkan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diana, Sang Pemburu Badai
ActionTamat. Ayahnya terbunuh, dia sendiri mengalami kekerasan serta harus kehilangan tunangan. Namun, Diana tak mau menyerah kalah. Dia meneruskan jejak sang ayah menjadi seorang jurnalis, tak peduli risiko pekerjaannya begitu besar. Saat menginvestigasi...