49. Tindakan Bram

1.5K 398 55
                                    

Met Rabu pagi!

Uhuy, Diana indehaus. Mulai bab ini bakalan rada tegang, nih. Siap-siap ya. Mau ngingetin lagi, ini udah Mei, Winnyraca bakalan siap-siap dongengin kalian dengan cerita baru di Spotify. Cuss meluncur, klik aja icon ijo paling kanan bawah 👇.

Tapi belum mulai ya. Sekarang, enjoy.

BAGIAN EMPAT PULUH SEMBILAN: TINDAKAN BRAM

Beberapa saat Tyo tercenung, mencoba mengingat siapa pria yang sedang bicara dengan Rosyad. Dia yakin mengenalnya, dan pernah berurusan dengannya, tapi di mana?

“Kenapa, Bang?” tanya Dito, salah satu preman yang membantu Tyo mengkoordinir teman-temannya untuk mencari Marini.

“Uhm … itu siapa, Dit? Kok gue baru lihat?” tanya Tyo balik.

Dito melihat sekilas. “Oh … itu rekanannya Bos Rosyad, Bang. Dia yang bakalan jadi perantara transaksi Abang nanti di Puncak,” sahutnya.

Tyo mengerutkan kening. “Rekanan Bang Rosyad? Siapa?”

Dito mendekatkan mulutnya ke telinga Tyo. “Kusno, desertir polisi, orang deketnya Utomo Widiarto dan Rachmat Wijaya. Orang berbahaya.”

Tyo membeku. Itu dia! Orang yang menjadi targetnya dalam tugas penyamaran ini. Orang yang dianggap sebagai mata rantai peredaran narkoba skala nasional dan diduga adalah kaki tangan orang besar dan penting. Ternyata, Utomo Widiarto benar-benar ada di belakang semuanya. Setelah beberapa tahun terpaksa menjadi preman, akhirnya dia akan segera menyelesaikan segalanya!

Notifikasi ponselnya membuyarkan pikiran Tyo. Dia bergegas mengambil ponsel dan melihat pesan di situ, dari salah satu orang kepercayaannya di kepolisian. Nama pemilik kendaraan dengan nomor yang diingatnya tertera di situ. Sebuah perusahaan impor kecil beralamat di Jakarta Utara. Tyo mengusap berewoknya. Sebuah perusahaan terlibat dalam penculikan Marini Seto? Aneh.

Pesan lain masuk, kali ini dari Diana. Isinya berupa terusan dari ancaman yang dia terima, membuat Tyo membeku. Kemarahan merambati nadinya, hingga ke ubun-ubun. Orang-orang ini benar-benar harus dihukum!

*******

Bram berderap dengan langkah-langkah panjang, langsung menuju ke bagian belakang rumah. Mantan asistennya di masa lalu yang kini telah menjadi orang penting di pemerintahan, Musri, berdiri menunggu sambil memandangi kolam penuh ikan koi. Pria itu langsung menoleh mendengar kedatangannya dan tersenyum semringah.

“Siang, Pak Bram. Kejutan menyenangkan sekali Bapak ingin menemui saya lagi,” sapanya, tergesa-gesa.

Bram berhenti tepat di depannya, mengatur napas sejenak, lalu tiba-tiba menamparnya hingga terpelanting dan hampir jatuh ke dalam kolam ikan. Musri, bahkan Tina yang mengikutinya sejak tadi, terkejut setengah mati.

“Kejutan menyenangkan?” bentak Bram. “Apa menyenangkan buatmu kalau pulang tinggal nama?”

Musri ternganga, memandang Bram dengan sorot mata penuh tanya tapi juga ketakutan. “Saya … saya salah apa, Pak?” cicitnya.

Bram masih mengatur napas, berusaha sebisa mungkin menahan murka. Dia berbalik dan menunjuk ke arah Musri. “Jelaskan padanya, Tina.”

Tina mengangguk, lalu mendekati Musri tapi tidak membantunya. “Tidak seharusnya Bapak menyuruh untuk menculik Bu Dosen,” katanya singkat.

Musri mengerjap lambat, berusaha mengingat dan memahami maksud Bram. Lalu, ekspresi tertangkap basah terlihat di wajahnya. Dia buru-buru mendekati Bram yang masih berdiri membelakangi. “Pak Bram … saya … saya berpikir itu yang terbaik. Saya ….”

Bram berbalik dan menatapnya dengan jijik. “Terbaik? Kamu bahkan tidak memeriksa apakah wartawati itu memang mengambil sesuatu dari deposit box ayahnya, atau hanya mengambil uangnya sendiri. Orang bodoh yang mencuri uang itu, seharusnya kamu urus, usir atau apalah itu. Kenapa malah wartawati itu yang kamu ancam, dan istri Aryo Seto yang kamu suruh culik?” katanya.

Diana, Sang Pemburu BadaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang