9. The Escort Lady

3.2K 747 59
                                    

Met pagi!

Now, enjoy.

BAGIAN SEMBILAN: ESCORT LADY

"Lo tolong aturin, deh, Jo. Gue butuh ketemu dia besok bareng Ora. Bisa, enggak?" Diana memberikan tatapan polosnya yang mirip anak anjing pada Bejo yang menggaruk kepalanya dengan bingung.

"Masalahnya, dia itu galak banget, Di. Serem gue ngomong sama dia," tampiknya.

Diana mengerucutkan bibir dan membulatkan matanya hingga terlihat semakin imut. "Gue butuh banget, nih. Masalahnya, gue enggak kenal tenaga yang ahli di bidang keuangan sekaliber dia."

Bejo berdecak. "Lo kan kenal Mbak Desi atau Pak Faruk? Mereka ahli keuangan dan dibayar perusahaan kita, Di."

"He'eh. Tapi mereka harus selalu laporan apa pun yang mereka kerjain, Jo. Gue butuh ahli independen."

"Lo kan bisa tanya sama siapa aja? Sumber lo banyak."

"Gue butuhnya Prof Husni."

"Kenapa, dah?"

"Karena dia bapak lo, bukan orang partai, dan enggak terikat sama kampus yang gue curigai."

Bejo merengut. "Dia masih bete sama gue karena kerja jadi potograper doang," katanya. "Makanya, kalo tetiba gue minta dia bantuin lo yang notabene ada di dunia gue, dia bakalan nolak."

"Lo kan belum coba?"

"Enggak usah coba, gue yakin."

Diana mengangkat sebelah alis. "Kalau gue kasih lo koleksi perangko bokap gue?"

Bejo termangu. "Boleh?" tanyanya ragu. Dia penggemar Aryo Seto yang legendaris, dan tahu persis kalau sang idola punya koleksi perangko yang langka dan sangat berharga. Sama sepertinya.

Diana mengangguk. "Lo mau perangko dari mana? Gue kasih lo ...." Dia menimbang sejenak. "Gue kasih lo lima, semuanya langka."

Bejo langsung galau. "Ya udah, gue coba ngomong, deh."

Diana langsung kegirangan. "Nah, gitu, dong, Jo. Eh, bentar." Dia meraih ponselnya yang berdering dan langsung mengerutkan kening. "Eh ... calon narsum yang waktu itu enggak jadi, Jo."

Bejo langsung bersemangat. "Si escort lady? Ambil, buruan, Di."

Diana mengangguk dan langsung menjawab teleponnya. "Iya, Mbak Saskia?"

*****

Gadis bernama Saskia itu masih muda. Menurut informasi profil gadis itu di LinkedIn, usianya baru dua puluh satu tahun, sedang menempuh pendidikan di sebuah kampus yang cukup ternama, dan bekerja lepas di gedung wakil rakyat. Pekerjaan lepasnya inilah yang sedang diinvestigasi Diana.

"Maaf baru bisa menemui Mbak sekarang," ucap gadis itu sopan. Dia tampak begitu muda dan berkelas, terlihat sangat cerdas, dan sepertinya memiliki uang. Ponselnya saja edisi terbaru dan terbatas dengan harga 20 jutaan.

Diana tersenyum. "Enggak pa-pa, Mbak. saya tahu, sulit untuk membuka hal-hal seperti ini, kan?" katanya dengan nada pengertian. Dia menaruh ponselnya di meja, dan bersandingan dengan ponsel gadis muda itu, mendadak dia merasa miris. Dia wartawati senior, lho, tapi harga ponselnya tidak sampai setengah harga ponsel Saskia.

Di hadapannya, Saskia menunduk. "Sebetulnya, saya enggak mau mengungkap tentang ini kalau saja ...." Dia mengembuskan napas keras, jelas sedang bertarung dengan dirinya sendiri. Apa pun yang akan dikatakannya, pasti akan menaruhnya di posisi yang sangat sulit.

Diana mengulurkan tangan dan menyentuh jemari Saskia, memberikannya senyum ramah yang menghangatkan. "Take it easy, Mbak Saskia. Pikirin dulu, saya tahu ini berat."

Diana, Sang Pemburu BadaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang