Met pagi!
Biar pagi tetep semangat, ditemenin Diana dulu yuk.
Enjoy.
****,*****
Delapan tahun kemudian.
Panas banget, sih? Diana menggerutu dalam hati. Ada dua liputan lagi dan dia masih terjebak di tempat ini tanpa kepastian apakah sumber yang harus ditemuinya ada atau tidak.
"Dia takut kali, Di." Bejo yang punya nama asli Rizky, kamerawannya, berkata sambil menyulut rokok.
Diana tersenyum sinis. Wajar saja sih kalau orang itu takut, kalau sampai ketahuan kebocoran masalah ini berasal darinya tentu akan ada konsekuensi yang ditanggung. Makanya, Diana tidak akan terlalu menyalahkan pria itu kalau sekarang memilih kabur atau menghindar.
Masalahnya, dia paling benci pada orang yang ingkar janji. Seharusnya orang ini tidak perlu menghubunginya kalau akhirnya malah bersembunyi seperti tikus.
Sebuah notifikasi masuk dan Diana langsung memeriksa ponselnya. Pesan dari Deborah, satu-satunya teman sejak kuliah yang kini menjadi pengacara di LBH. Meski hubungannya dengan Ora, panggilan Deborah, tidak berjalan sebaik yang dia mau-karena Ora memang sulit didekati-tetapi perempuan itu tetap menjadi teman favoritnya. Pribadinya yang jauh dari munafik, tipe yang kaku dan tidak suka bicara, tapi Diana sangat menghormatinya. Lewat pesan Ora menyampaikan kalau ada berita yang bisa dibaginya. Seorang perempuan yang mengalami pelecehan seksual selama bertahun-tahun dari seorang pejabat yang merupakan kerabatnya sendiri. Berita yang menarik, cukup untuk jadi kompensasi kekecewaannya karena telah membuang waktu untuk menunggu.
"Hm ... kita cabut, Jo. Si Ora ngasih info, nih, mendingan ngejar yang nyata, deh, daripada diam di sini," putusnya.
"Ashiap!" Bejo langsung mengangkat tas kameranya dan memasukkan ke mobil.
Diana memeriksa perlengkapannya sejenak, lalu mengerutkan kening. "Sial, gue kehabisan cash, Jo. Sebentar, gue narik dulu di ATM situ, ya," katanya sambil menunjuk sebuah gedung bank tak jauh dari tempatnya parkir.
Bejo mengangguk dan meneruskan berberes, sementara Diana bergegas menuju kantor bank itu. Suasana di dalam bank sedang ramai oleh beberapa karyawan perkantoran yang memanfaatkan waktu istirahat untuk mengurus keperluan perbankan mereka. Diana langsung menuju deretan mesin ATM dan ikut mengantri bersama beberapa orang yang sudah lebih dulu. Dia berdiri dengan sabar, sampai kemudian terdengar sebuah suara dalam yang menyenangkan dari arah pintu.
"Terima kasih untuk kunjungannya, sehat selalu, Ibu Ranti."
Diana refleks menoleh dan matanya seolah-olah terpaku pada sosok itu. Seorang pria bertubuh tinggi ideal dengan wajah tampan yang tersenyum ramah, membukakan pintu untuk salah satu nasabah bank yang sudah berusia lanjut. Seragam sekuriti putih biru melekat sempurna di tubuh tegap itu, membuatnya terlihat gagah, dan tag nama di dadanya bertuliskan 'Prasetyo Aji'. Senyum langsung terkembang di bibir Diana. Pria itu seksi, kenapa tadi dia tidak melihatnya?
Pengantri di depan sudah selesai dengan urusannya. Diana bergegas maju dan mengambil sejumlah uang tunai untuk persediaan, tetapi sebuah ide mendadak melintas. Dia pun kembali melakukan transaksi dan dengan sengaja memasukkan password yang salah sampai tiga kali hingga kemudian kartunya tertelan mesin.
"Aduh, gimana, nih?" serunya dramatis.
Pengantri di belakangnya menjenguk sedikit. "Kenapa, Mbak?"
Pura-pura bingung Diana menoleh. "Kartunya ketelan. Salah password kayaknya. Aduuhhh ...."
Si penanya yang mengagumi wajah cantik sang jurnalis feminis menunjukkan ekspresi simpati. "Wah ... coba tanya ke satpam," sarannya.
Merasa disebut-sebut, petugas satpam yang dimaksud melihat ke arah situ dan dengan sigap menghampiri. "Selamat siang, ada masalah, Ibu?" tanyanya ramah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diana, Sang Pemburu Badai
ActionTamat. Ayahnya terbunuh, dia sendiri mengalami kekerasan serta harus kehilangan tunangan. Namun, Diana tak mau menyerah kalah. Dia meneruskan jejak sang ayah menjadi seorang jurnalis, tak peduli risiko pekerjaannya begitu besar. Saat menginvestigasi...