Met Senin pagi! Semangat dong, uhuy!
Diana-Tyo manggung pagi-pagi biar semua hepi, cuss. Jangan males yak.Enjoy.
BAGIAN LIMA PULUH SATU; PENGORBANAN TYO
Pisau di tangan pria itu basah oleh darah, sejenak ia mengamati tubuh Marini dengan saksama. Dia mengangkat tangan dan menekan sesuatu di telinganya, semacam perangkat komunikasi yang dipakai para agen dalam film yang sering ditonton Diana. “Apakah ada perubahan? Korban juga harus diterminasi?” tanyanya, dingin.
Sejenak hening, pria itu, Ferdy, mendengarkan jawaban dari seberang. Saat tangannya terangkat, tiba-tiba dia mendengar suara gedebukan di luar kamar. Ia menoleh, dan tidak sempat menghindar saat sebuah botol yang dilemparkan, membentur kepalanya. Membuat dahinya langsung berdarah
“Woi! Berani jangan sama perempuan tua yang enggak sadar. Sini lo!” teriak wanita yang berdiri dengan sikap sigap di depan pintu. Diana.
Ferdy menatapnya dengan mata menyipit. “Kamu wartawati itu,” katanya dengan nada heran.
Diana sempat tertegun, tapi kembali berpikir cepat dan melemparinya lagi, kali ini dengan asbak, meski luput karena Ferdy menghindar dengan lincah. “Iya. Kenapa?” tantangnya.
Ferdy mengerjap lambat, menimbang sejenak, lalu menghela napas. “Harusnya kamu tidak ke sini supaya jangan mati,” katanya. Usai mengatakan itu dia melangkah cepat ke arah Diana.
Untungnya, Diana sudah memperhitungkan itu, dan langsung berbalik, lalu berlari menuruni tangga. Cepat, Ferdy menyusulnya, meski sudut matanya sempat melihat gerakan Bejo yang mengendap masuk ke kamar. Sudut bibirnya turun. Dia sedikit jengkel karena harus melakukan hal yang tidak sesuai dengan prinsipnya, membunuh tiga orang tak bersalah hari ini. Melelahkan dan membuatnya sedikit merasa bersalah.
“Tidak usah ke mana-mana, saya cuma sebentar dengan temanmu,” katanya kepada Bejo yang langsung membeku, dan langsung terkencing di celana. Ferdy hanya berdecak dan terus menuruni tangga dengan gerakan lincah untuk mengejar Diana.
******
Diana menuruni tangga sambil merapalkan doa agar Bejo selamat dan bisa membawa ibunya keluar dari tempat itu. Dia yakin pembunuh tadi mengikutinya, karena akan sangat berisiko bagi orang itu kalau Diana lepas dan sempat berteriak. Rasa sakit menyerang pergelangan kakinya, hampir membuatnya terjatuh. Diana yakin, dia terkilir saat sempat terpeleset tadi saking buru-burunya. Dia memaki keras, dan terus melompati tangga, di belakangnya, sang pembunuh sudah memperpendek jarak dengan mudah. Ketika Diana akhirnya menjejak di lantai dasar, kerahnya direnggut dan tubuhnya dilemparkan ke sembarang arah, jatuh membentur dinding.
Diana langsung muntah saking takut dan juga marah. Tak mengindahkan seluruh tubuhnya yang sakit luar biasa, dia bangkit dan meraih kaki tripod yang sempat terlepas dari tangannya. Dipandangnya pria bertubuh ramping dengan ekspresi dingin seperti mayat itu dengan murka, tangannya menyeka mulutnya yang berdarah.
“Lo!” Dia menunjuk pria itu. “Siapa yang nyuruh lo?”
Ferdy, si pembunuh, membalas tatapannya yang berapi-api. “Maaf, saya tidak bisa bilang,” jawabnya, sopan.
Diana sempat melongo karena sikap sopannya, meski kemudian kembali siaga. “Jadi lo harus bunuh gue juga? Temen gue juga? Kenapa?”
Ferdy mengamati kaki tripod di tangan Diana. “Saya hanya harus membunuh Bu Marini tadinya, tapi kamu dan teman kamu datang. Tidak boleh ada saksi.”
Diana meledak karena kemarahan. “Woy! Ini nyawa orang, setan! Enak banget lo nyabut nyawa orang kayak enggak dosa gitu?”
Ferdy memiringkan kepala. “Tugas tidak ada hubungan dengan dosa atau tidak.” Dia menunjuk ke arah kaki tripod. “Sebaiknya jangan melawan, supaya kematian kamu tidak terasa sakit.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Diana, Sang Pemburu Badai
ActionTamat. Ayahnya terbunuh, dia sendiri mengalami kekerasan serta harus kehilangan tunangan. Namun, Diana tak mau menyerah kalah. Dia meneruskan jejak sang ayah menjadi seorang jurnalis, tak peduli risiko pekerjaannya begitu besar. Saat menginvestigasi...