Met pagi!
Enjoy.
*******
"Pergi!" Diana mendesis dingin.
"Di!"
Sambil menahan tangis sekuat tenaga, Diana mencopot cincin pertunangan di jarinya dan dilemparkannya kepada Berto. "Ambil ini. Kamu bebas untuk enggak menemui putri penerima suap!"
Berto berdiri dengan sikap kecewa. "Aku setengah mati memberikan pengertian pada orangtuaku, dan sekarang kamu mengusirku?" tanyanya tak percaya. "Kenapa kamu enggak kasih aku kesempatan untuk menjelaskan, Di? Kamu pikir, mudah buatku untuk membiarkan kamu sendirian di saat sedang berduka? Enggak! Aku ingin bersama kamu. Masalahnya ... aku juga anak, aku punya kewajiban untuk mendengarkan orangtuaku. Atau kamu lebih suka kalau aku melawan mereka demi menemani kamu?"
Diana membelakanginya, menolak untuk menjawab.
Keras, Berto mengembuskan napas. "Baiklah, aku pergi. Kita akan bicara lagi begitu kamu tenang," putusnya.
"Apa kamu bahkan bertanya, kenapa aku dirawat di rumah sakit, Ber?" tanya Diana dingin, tepat saat Berto hampir tiba di ambang pintu kamar. Membuatnya tertegun dan menoleh dengan sesal yang mendadak menguasai benaknya.
Diana perlahan berbalik dan menatap Berto dingin. "Aku, ibuku, bahkan Titi, hampir mati karena ada yang berusaha mencari sesuatu dari brankas Bapak. Sesuatu yang sangat penting. Kalau kamu sempat tanya keadaanku, kamu akan tahu fakta itu, dan mungkin juga akan berpikir sama denganku, kalau kematian Bapak bisa jadi adalah hasil sabotase. Begitu pula dengan semua pemberitaan yang kamu dengar itu. Tapi, kamu dan orang tua kamu lebih memilih untuk menelan mentah-mentah kebohongan yang disebarkan untuk merusak nama baik bapakku. Jadi ingat ini baik-baik. Jangan pernah menemuiku lagi, karena sikap kamu dan orang tua kamu, menunjukkan manusia seperti apa kalian. Kalian tidak berhak mengaku pernah mengenal Aryo Seto. Paham?"
Berto termangu. Sesuatu melintas di benaknya, membuatnya langsung beranjak pergi secepat mungkin meninggalkan tempat itu tanpa menjawab lagi. Ada kecurigaan yang muncul mendengar perkataan Diana. Kecurigaan yang tertuju kepada orangtuanya dan lingkaran pergaulan mereka. Dia harus mencari tahu tentang sesuatu. Dia yakin, ada yang disembunyikan ayah dan ibunya, sesuatu yang terlintas dalam pikirannya saat mendengar soal penyebab kematian calon mertuanya dari Diana sendiri.
Entah kenapa, dia sependapat dengan Diana. Kemungkinan Aryo Seto bukan tewas dalam kecelakaan, tapi dibunuh.
******
Herman Bulaeng, pengusaha pertambangan, salah satu dari orang terkaya di Indonesia, berdiri sambil memandang cemas ke luar jendela pada kegelapan malam. Setelah beberapa hari ini dia melarang putranya bahkan sampai mengancamnya tidak akan meloloskan proposal terakhir perusahaan, tapi tetap saja, Berto pergi juga menemui kekasihnya. Herman sadar, tidak mungkin baginya mencegah Berto menunjukkan empati kepada sang kekasih karena bagaimanapun, banyak orang tahu kalau dia bertunangan dengan putri Aryo Seto. Tetap saja, dia khawatir. Kalau sampai orang itu mencurigai hubungan Berto dan Diana, maka dirinya pun tidak luput dari bahaya. Sekaya dan sehebat apa pun seseorang, selama tinggal di negeri ini, tidak akan pernah bisa menang jika berhadapan dengan orang itu.
Sesal menyusup di hatinya. Kenapa Berto harus menjalin hubungan dengan putri dari orang yang dianggap berbahaya bagi pengusaha sepertinya? Tadinya, Herman berpikir, karena putrinya bertunangan dengan Berto, Aryo Seto akan berhenti mengulik lebih banyak tentang proyek pertambangan di daerah Kalimantan Timur miliknya. Namun, wartawan veteran itu terlalu idealis. Sepertinya dia tidak mengenal apa yang disebut kompromi.
Semua ini gara-gara pasangan suami istri subkontraktor itu. Kalau mereka memang merasa ada sesuatu yang melanggar nurani mereka, mundur saja. Kenapa harus menyelidiki apa yang seharusnya tidak perlu diketahui?
Suara langkah berderap di belakangnya membuat Herman menoleh. Tatapannya bertemu dengan sepasang mata kelam Berto yang menuduh. Dia menghela napas. Ini adalah saat yang tidak disukainya.
"Papa atau kroni Papa ada di belakang ini, kan?" tanya Berto tanpa tedeng aling-aling.
Herman menatapnya lama. "Apa maksudmu?" Dia balik bertanya.
Berto menghela napas. "Katakan, kematian Pak Aryo Seto, ada andil Papa di dalamnya?"
Herman terdiam, masih menatap putranya, lama. Dia menggeleng. "Tidak."
Berto tertawa sinis. "Benarkah?"
Herman menyesap teh hijaunya dan kembali menatap ke luar jendela. "Papa tidak ada andil, tapi orang yang Papa kenal, dia di balik itu."
Berto tertegun. Menduga-duga siapa yang dimaksud ayahnya.
"Jangan mencari tahu. Bahkan Papa pun tidak akan lolos darinya kalau berani macam-macam." Herman menyela pikirannya. "Mulai sekarang, jangan berhubungan lagi dengan putri Aryo Seto. Kita harus pandai memilih pihak."
Berto berdiri gamang. Dia langsung tahu siapa yang dimaksud ayahnya, dan rasa ngeri menjalari tulang punggungnya. Sesal kembali menguasainya, tapi kali ini, dibarengi oleh rasa tak berdaya. Ayahnya benar, kalau ingin masa depannya panjang, sebaiknya dia melupakan Diana, sebesar apa pun rasa cinta yang dia punya.
****
Diana duduk termangu di sudut perpustakaan, menatap pada ponselnya yang memampangkan pesan dari Tyo soal penugasannya ke daerah Sulawesi Utara. Petugas muda itu mengatakan kalau jadwal keberangkatannya diatur segera setelah dia kembali dari cuti masa duka. Dia tidak tahu kapan akan kembali, tapi jika itu terjadi, dia akan segera menemui Diana dan meneruskan perjuangan mereka. Keduanya sepakat akan saling mengabari.
Bagi Diana, saat ini rasanya seperti berada neraka. Dia sendirian, harus menjalani kehidupannya seperti biasa tapi dadanya seolah terbakar oleh dendam. Kasus penyuapan yang entah benar atau tidak terus diembuskan berbagai media, seolah-olah ayahnya memang melakukan perbuatan tercela itu. Pihak kejaksaan menyatakan penghentian penyelidikan karena orang yang dicurigai sendiri sudah meninggal. Seolah-olah menjadi pahlawan yang mengedepankan kemanusiaan, padahal tindakan itu justru meninggalkan pertanyaan besar yang akhirnya berakar jauh lebih dalam di benak masyarakat. Nama Aryo Seto yang selama ini harum sebagai wartawan idealis, ternoda bersama dengan kepergiannya yang tidak meninggalkan petunjuk apa pun.
Dengan mata berkaca-kaca Diana meraba anak kunci yang kini dipakainya sebagai liontin kalung, tersembunyi di dalam blusnya. Dia mewarnai ulang anak kunci itu dan memberi sedikit hiasan sehingga lebih mirip liontin sungguhan. Sekalipun ada yang melihatnya tergantung di leher gadis itu, butuh pengamatan lebih jauh untuk mengetahui kalau itu anak kunci sungguhan.
"Gue percaya bokap lo enggak salah." Suara dingin seseorang membuatnya menoleh. Deborah, mahasiswi hukum yang terakhir kali selalu menemaninya di saat penuh duka, duduk di bangku sebelahnya. Mahasiswi hukum cantik berkulit eksotis itu menatap Diana dengan sorot matanya yang tajam. "Lo harus bersihin nama bokap lo, sebagai anak, lo berutang itu."
Diana mengerjap, tidak mengira kalimat menyemangati itu terucap dari bibir mahasiswi yang dikenal paling sinis dan anti sosial itu. Sebuah senyum terulas di bibirnya, lalu dia mengangguk mantap. "Thanks, Ra. Di saat orang lain mandang gue sebagai anak penerima suap, lo malah ngomong kayak gini dan bikin gue merasa lebih baik," ucapnya tulus.
Deborah tercenung sejenak. "Gue tahu apa yang lo rasa, gue pernah ada di situasi itu. Satu-satunya orang yang percaya sama lo dan juga bisa lo andelin, adalah lo sendiri. Jadi, kalo lo patah semangat, lo kalah," katanya penuh kesungguhan.
Diana termangu. Deborah benar. Meski saat ini, seluruh dunianya seperti berakhir, kehilangan ayah, tunangan, bahkan Tyo, satu-satunya orang yang bisa membantunya pun diasingkan begitu jauh, tapi seperti kata Deborah, yang bisa dia percaya dan andalkan sekarang adalah dirinya sendiri. Tidak peduli berapa lama yang dibutuhkan, dan seberapa banyak pengorbanan yang diberikan, dia akan membuktikan kalau ayahnya tak bersalah.
BERSAMBUNG
So, semoga minggu kalian akan menyenangkan. Kerja keras itu penting, tapi jalanin dengan sukacita ya.
Salam sayang buat kalian yang selalu setia sama karya eike.
Winny
Tajurhalang Bogor 20 Juni 2022, publish ulang 23 Oktober 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Diana, Sang Pemburu Badai
ActionTamat. Ayahnya terbunuh, dia sendiri mengalami kekerasan serta harus kehilangan tunangan. Namun, Diana tak mau menyerah kalah. Dia meneruskan jejak sang ayah menjadi seorang jurnalis, tak peduli risiko pekerjaannya begitu besar. Saat menginvestigasi...