8. Ponsel Ibu

3.1K 743 24
                                    

Met pagi!
Biar semangat, yuk ditemenin Diana.

Enjoy.

*******

Ora membuka halaman demi halaman fail pembukuan yang ada di tablet milik Diana dan membacanya dengan teliti. Keningnya berkerut dalam, membuat Diana mulai merasa cemas.

"Ra." Dia memanggil.

Ora mengangkat satu tangannya, menghentikannya bicara. Pengacara jutek yang anehnya adalah sahabat Diana itu bergeming, terus membaca tanpa mau mengalihkan fokusnya sedikit pun. Diana pun hanya bisa merengut. Dia bersedekap dan bersandar ke punggung kursi, berusaha menunggu dengan sabar. Selang beberapa menit, Ora menegakkan tubuh dan melepas kacamatanya. Tajam, dia menatap Diana.

"Ini belum bisa dipakai buat bukti, Di. Pihak Olympus bisa mengeklaim ini sebagai data curian atau rekayasa. Kamu tahu, kan? Olympus bukan perusahaan sembarangan," komentarnya. "Legal mereka pasti siap menangani masalah begini."

Diana mengangguk. "Aku tahu. Tapi aku yakin, ada keterlibatan mereka dalam kematian Bapak, karena itulah yang sedang diselidiki Bapak dan membuatnya menemui pasangan suami istri itu," katanya.

Ora mengamatinya dengan sorot mata menilai. "Berurusan dengan perusahaan dari lingkar kekuasaan lama enggak akan mudah. Kamu sama saja menantang keseluruhan pondasi perekonomian negara ini, Di. Enggak takut?"

Diana tersenyum. "Aku tahu itu, kok. Lumayan takut, serem. Tapi, kalau kamu jadi aku, apa kamu akan berhenti?"

Ora menimbang jawabannya cukup lama sebelum menggeleng. "Enggak. Pastinya akan kuselidiki lebih dalam dan kulengkapi dengan bukti yang lebih valid dan tidak terbantahkan. Aku akan pastikan, begitu kasus ini maju sidang, dia enggak akan bisa dimentahin atau dianulir pihak mana pun."

Diana menggerakkan tangan dengan sikap puas. "Nah! Itu sebabnya aku cari kamu, Ra. Dari semua orang, aku yakin kamu bakal ngerti. Aku juga tahu kamu akan bantu aku, toh, suamimu kapolres, Ra. Pasti bisa dong bantuin?" katanya sambil menggerakkan alis, jenaka.

Ora mendengkus. "Aku bukan penganut nepotisme," katanya sinis.

"Aku tahu!" Diana menukas cepat. Wajahnya terlihat polos. "Tapi, kamu enggak keberatan kalau aku yang nepotisme, kan?"

"Maksudnya?" Ora mengerutkan kening. Curiga.

Diana mengedip cepat, masih setia memasang tampang polos. "Aku mau langsung minta bantuan Pak Kapolres, Ra. Kamu enggak usah ikut, enggak pa-pa. Yah ... siapa tahu, Pak Kapolres senggang dan bisa kasih waktu luangnya buat aku konsultasi berdua. Sekalian...."

Kalimat Diana tak selesai karena Ora bangkit dan mendorong dahinya dengan telunjuk sebelum kemudian beranjak. Diana terbahak-bahak di bangkunya, senang luar biasa melihat sahabat judesnya itu terlihat begitu jengkel. Mengusik soal suami Ora yang ganteng dan seksi serta mantan playboy itu adalah hiburan terbaik untuknya. Entah kenapa, Ora selalu saja cemburu padahal suaminya jelas cinta mati kepadanya.

"Ra, woy! Pengacara kok melakukan kekerasan ke jidat wartawan, sih?" godanya. "Kamu enggak takut aku somasi?"

Ora terus melangkah dan bicara dengan salah satu staf kantornya. "Tolong usir perempuan satu itu," katanya, memancing tawa yang makin berderai dari Diana dan cengiran geli dari orang yang diajak bicara.

*****

Foto-foto itu datang lagi! Dikirim seseorang yang tidak bernama, tetapi, Marini tahu persis kalau orang itu masih sama dengan yang dulu. Sedikit gugup, dia bangkit dan melangkah ke dapur. Dituangnya segelas air dan diminumnya buru-buru, membuatnya hampir tersedak. Gemetaran, dia menaruh gelas kembali dan memeluk dirinya. Ini mengerikan. Ternyata orang itu masih melakukan penguntitan terhadapnya dan Diana.

"Bu!"

Suara panggilan Diana yang sepertinya sudah selesai mandi dan bersiap kerja, mengejutkan dan merenggutnya dari pikiran yang kusut. Marini bergegas menghapus semua foto. Jangan sampai Diana tahu kalau dia mendapatkan ancaman, putrinya itu sudah terlampau banyak menanggung beban dalam hidupnya karena kematian Aryo delapan tahun lalu, dia tidak ingin putrinya terbebani oleh apa pun lagi.

"Bu!" Diana muncul di ambang pintu dapur dan bibirnya mengerucut. "Idih, Ibu ada di sini tapi enggak dengar aku manggil, sih?"

Marini berbalik dan tersenyum. "Maaf, Ibu lagi nanggung ngetik chat sama teman, Di. Kenapa?kamu sudah mau berangkat?" dalihnya.

Diana mengangguk. "He'eh. Hari ini mungkin aku pulang telat, ada beberapa liputan ke daerah yang lumayan jauh gitu, deh," katanya. Dia duduk sambil meletakkan ranselnya di lantai. "Sarapan, Bu," pintanya, sok imut.

Ibunya berdecak. "Kamu kan memang selalu pulang telat, Di," ujarnya sambil menaruh sepiring roti bakar. "Jangan skip makan siang, ah. Makin kemari kamu makin kurus, item lagi!"

Diana cengengesan. "Bu, anak Ibu yang item ini banyak yang suka, lho," katanya sambil mengedipkan sebelah mata.

Ibunya memberikan tatapan mencemooh. "Mana? Kamu enggak pernah bawa satu pun yang kamu bilang suka itu?"

Diana mengangkat bahu. "Itu karena aku selektif, biar enggak salah pilih lagi."

Ibunya langsung terdiam. Diana masih trauma dengan pertunangannya yang gagal dulu. Gadis itu masih merasa terkhianati meski kejadian itu telah lama berlalu.

"Bu ... Ibu tahu, Mas Tyo udah balik?" tanya Diana tiba-tiba.

Marini tertegun. "Mas Tyo?" Dia balik bertanya. "Kapan?"

"Yups, dua tahun lalu."

Kelegaan di wajah Marini menarik perhatian Diana, begitu juga tangannya yang mengenggam ponsel dengan cara terlalu posesif.

"Ah, syukurlah kalau begitu."

Diana mengangkat sebelah alisnya. "Syukurlah? Ibu enggak niat jodohin aku sama dia, kan? Kok kayaknya seneng banget dia balik?"

Ibunya ternganga. "Kenapa juga pikiran kamu sampai ke situ?" tanyanya, bingung.

Diana kembali mengangkat bahu. "Habis, Ibu kelihatan banget ... semringah gitu. Wajar dong kalau aku pikir Ibu mungkin jodohin aku sama dia, atau ... justru Ibu yang kepingin deketin dia. Enggak pa-pa sih, Bu. Ibu kan janda. Kalau aku punya adik tiri, pasti cakep kayak Mas Tyo."

Marini langsung mendorong kepalanya dengan telunjuk, membuat Diana terbahak-bahak. "Mulut itu kalau dipakai menyahuti orang tua, harus dijaga kesopanannya, Di. Asal njeplak aja," gerutunya. "Sudah, cepat sarapannya. Ibu mau berangkat ngajar sebentar lagi."

"Mau kuantar?"

Ibunya memandangi dengan heran. "Kok tiba-tiba? Biasanya enggak pernah menawari?"

Diana melirik ponsel di tangan ibunya. "Aku kepo. Siapa tahu kalau nganter Ibu aku bisa ketemu cowok yang chat sama Ibu sampek bikin Ibu posesif gitu sama hape," katanya sambil lalu.

Ibunya tertegun. Beliau menunduk, memandangi tangannya yang menggenggam ponsel dengan begitu impulsif sampai-sampai buku jarinya memutih. Dia lupa, Diana memiliki ketajaman ayahnya, yang dengan mudah mengenali adanya sesuatu yang janggal hanya dengan sekali lihat. Dalam hati dia berharap, semoga Diana tidak mencurigainya lebih dari itu.

Sayangnya, harapan Marini tidak terkabul. Diana bukan hanya curiga, tapi dia juga yakin kalau ada yang tidak beres dengan ibunya, dan itu berhubungan dengan ponsel, atau sesuatu yang ada di ponsel. Pesan yang mengancam, mungkin?

Dengan sikap santai dan tak peduli dia menghabiskan rotinya, tetapi dengan sudut matanya dia mengawasi saat sang ibu mengantongi ponsel dan buru-buru menghabiskan sarapannya sendiri. Jelas, tangan ibunya gemetaran.

BERSAMBUNG.

Buat yang mau baca cepet, Diana Sang Pemburu Badai bisa kalian pantengin di Karyakarsa, udah bab-bab terakhir di sana.

So, semangat biar seminggu ini terasa lebih menyenangkan yah. Apa pun yang terjadi hari ini, selalu berpikir positif dalam segala hal. Oce?

Stay safe, stay healthy, always care for everyone.

Winny

Tajurhalang Bogor 27 Juni 2022, publish ulang 23 Oktober 2022

Diana, Sang Pemburu BadaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang