31. Alasan Sebenarnya

1.9K 505 35
                                    

Met malem epriwan.

Siapa yang masih nunggu Diana-Tyo? Maap eike sempet lupa apdet hari ini, jadi mereka manggung malem deh. Hehehe.

Ngingetin dulu, nih. Sebelum selesai baca, eike saranin kalian pencel tombol warna ijo di kanan bawah 👇. Itu adalah sambungan langsung ke podcast Dear Precious Me yang host-nya adalah ... eike!

Uhuy!

For now, enjoy.

BAGIAN TIGA PULUH SATU: ALASAN SEBENARNYA

Tyo mengamati Diana yang mengobati luka di tangannya dengan obat-obatan dari kotak P3K di mobilnya sambil tersenyum tipis. Dia bisa menduga apa yang ada di kepala kekasihnya saat ini. Bukan hanya wajahnya pucat, Diana jelas terlihat berhati-hati sekali. Mulutnya yang biasa cerewet, kali ini tidak mengatakan apa pun sejak tadi.

"Ini barang bukti, Di, bukan punyaku," jelasnya, memutuskan untuk menghentikan spekulasi di kepala Diana. Dia tidak ingin gadis itu salah paham dan menduga yang tidak-tidak.

Diana menatapnya. "Barang bukti?" ulangnya.

Tyo mengangguk. "Kamu, kan, tahu aku lagi nyamar? Nah, demi mendapatkan ini, aku terluka. Aku merebutnya dari anggota geng lawan."

Diana tercenung sejenak. "Apa ... urusan kamu narkoba?" tanyanya.

Tyo menggeleng. "Sebetulnya, bukan. Hanya saja, kalau urusannya dengan geng, pasti enggak jauh dari ini," jawabnya.

"Begitu?"

"Aku enggak pakek sama sekali, Di. Kamu enggak usah khawatir." Kembali, Tyo berusaha meyakinkan.

Diana mengangkat wajahnya dan menatap Tyo, lama. "Kamu pikir, aku cuma khawatir kamu pakek? Kalaupun iya, itu demi tugas kamu, kan?" tanyanya. Nada kesalnya membuat Tyo sedikit bingung.

"Iya. Kalau sampai aku pakek, pasti demi menutupi penyamaranku. Tapi, syukurlah, aku enggak perlu pakek. Kamu jangan marah, ya?" pintanya.

"Kamu minta aku jangan marah?" sergah Diana. "Kamu bisa aja kena bahaya yang lebih besar, Tyo! Lihat aja luka ini, atau ... bisa aja, kan, kamu dicekokin narkoba sampek mati seandainya ketahuan? Terus, kamu suruh aku jangan marah? Kerjaan kamu bahaya, Tyo!"

Tyo termangu. Jadi, karena itu Diana terlihat marah? Gadis itu khawatir ada keadaan Tyo dan bukannya mencurigai dia? Kehangatan seketika memenuhi dadanya. Lembut, dia tersenyum. "Di, kerjaanku memang berbahaya. Kita berdua tahu itu. Tapi, aku akan hati-hati, janji."

Diana mengerjap, berusaha mengusir air mata yang mendadak menggenang di pelupuk mata. "Janji? Gimana caranya kamu nepatin janji kamu? Bisa aja kamu ...."

"Didi," putus Tyo. "Kerjaan kamu juga bahaya, aneh kalau kamu cemas sama kerjaan aku. Apa bedanya kita?"

Diana termangu, lalu dia berdecak kesal dan memukul pundak Tyo. "Jadi gitu? Karena kerjaanku juga bahaya, aku enggak boleh cemas sama kamu? Kamu nyebelin! Aku baru tahu kamu orangnya enggak mau kalah."

Tyo terkekeh. "Bukan gitu, Didi."

"Terus, apa?"

"Oke, maaf. Enggak seharusnya aku ngebantah kamu, ya?"

Diana cemberut. Dia menaruh kapas penuh darah ke wadah darurat di dasbor, lalu mengambil plester dan menempelkannya di luka Tyo. "Seenggaknya, kamu harus ke klinik, Tyo. Ini butuh dijahit, lho," katanya lirih.

Tyo mengangguk. "Aku akan ke klinik, janji, tapi nanti."

"Janji betulan?"

"Iya."

Diana menaruh satu plester lagi, lalu membersihkan bekas-bekas pengobatan darurat yang barusan dikerjakannya. Dia tercenung sejenak sebelum menatap Tyo yang masih mengamatinya. "Tyo, sebetulnya kamu lagi apa, sih, di antara preman-preman itu?" tanyanya.

Diana, Sang Pemburu BadaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang