16. Diincar

2.5K 589 17
                                    

Met pagi epribadeh!

Cekidot.

BAGIAN ENAM BELAS: DIINCAR

"Bu!" Diana berdiri di ambang pintu dapur sambil dengan susah payah memakai sepatu ketsnya dalam posisi berdiri di satu kaki. "Aku telat, minta rotinya dibungkus, dong!"

Marini yang sedang memelototi poselnya terkejut setengah mati dan hampir menjatuhkan benda itu. "Apa? Oh ... iya." Spontan jarinya hendak menghapus pesan yang diterimanya, tapi Diana lebih cepat.

"Jangan hapus!" serunya.

Sekali lagi Marini terkejut dan kali ini sungguhan melempar ponselnya, untung saja Diana masih sempat menangkapnya. Gadis itu langsung melihat pesan yang barusan dibaca ibunya dan memberikan tatapan mencela.

"Ibu ... kan aku sudah bilang, jangan dihapus. Kita mau pakai ini buat bukti," katanya, mengingatkan.

Ibunya meringis. "Ibu lupa. Maklum, deh."

Diana merengut. "Yo wes, jangan dihapus, simpan aja. Aku screenshot, ya?"

Ibunya mengangguk, lalu berjalan ke meja, membungkuskan roti untuk dibawa putrinya. "Kamu serius mau investigasi itu, Di? Enggak takut kalau ...." Kalimatnya terhenti. Ingatan pada suaminya membuat sengatan kesedihan di hati.

Diana mendekati dan memeluk sang ibu. "Bu, jangan cemas, ya? Kali ini situasinya beda. Aku punya banyak teman dan koneksi yang cukup kuat untuk menyuport aku. Ada pengacara idealis, polisi idealis, ada jaksa idealis, malah, uwaknya Ora, temenku itu, jaksa agung. Aku yakin mereka akan bantu aku kalau aku minta. Oke?"

Ibunya mengangguk sambil tersenyum lembut. Sejujurnya, Marini masih dan akan selalu merasa cemas, karena sampai sekarang musuh yang telah menghilangkan nyawa Aryo Seto dan pasangan suami istri itu masih belum berwajah. Tidak ada yang bisa dicurigasi, rasanya seperti berjalan dalam gelap. Bisa saja, putrinya menghadapi bahaya yang sama dengan Aryo Seto suatu saat nanti. Namun, mencegah Diana melakukan penelusuran adalah tindakan percuma. Tidak mungkin. Jadi, daripada menghalanginya, lebih baik dia mendukung dan mendoakan agar putri tunggalnya itu berhasil mengungkap kasus pembunuhan Aryo, dan mengembalikan nama baiknya.

"Seneng deh kalo Ibu satu suara sama aku," kata Diana sambil kembali mengamati foto yang dikirim kepada ibunya. Keningnya berkerut. "Semua fotonya diambil waktu aku di kantor ... hm, gimana dengan foto lain yang sudah Ibu hapus?"

Ibunya mencoba mengingat. "DI kantor juga, oh ... sama di rumah. Pas kamu baru keluar, ke mobil."

Diana manggut-manggut. "Berarti, dia enggak bisa ngikutin aku ke semua tempat, karena mobilitasku kan tinggi. Karena dia mengawasiku di tempat-tempat ini, kayaknya aku bisa minta tolong satpam atau siapa aja untuk cek, kira-kira ada enggak orang yang mencurigakan?"

"Gimana kalau minta tolong Mas Tyo?"

Diana langsung mengerutkan kening. "Ih, Ibu. Ibu jangan genit, deh. Dikit-dikit Mas Tyo, kayak abege aja. Mas Tyo itu tugas, intel loh. Kasihan kalau samarannya terungkap gara-gara kita, kan?"

Ibunya mendorong dahinya. "Genit? Kamu tuh yang genit. Ibu kan kasih saran, kalau menurut kamu enggak perlu bantuan dia, ya sudah."

Diana cengengesan. Dia menerima kantong plastik berisi roti untuk sarapan, dan mencium ibunya untuk berpamitan. "Aku jalan, ya?" Lincah dia melangkah cepat, tapi kembali tak lama kemudian dan menjenguk di pintu. "Bu, enggak usah minta Mas Tyo jagain aku, enggak enak. Kalo dia kenapa-napa, gimana? Oke? Dah!"

Ibunya hanya tersenyum sendiri. Sejak kapan Diana merasa tidak enak merepotkan seorang pria? Dia meraih ponselnya dan memandangi pesan ancaman yang tadinya terasa begitu menakutkan. Namun, melihat sikap Diana yang tidak terintimidasi sedikit pun, membuatnya ikut merasa tenang. Sedikit.

Diana, Sang Pemburu BadaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang