41. Rencana Utomo

1.6K 407 28
                                    

Met Rabu pagi!

Eike indehaus, ngajak anak eike yang genitnya hampir nyamain Yemima, Diana.

Iya, kan? Kalo urusan genit dan pede, emang si Monkey kan gak ada tandingan, hehehe. Tetiba aja inget si mata ijo satu itu, jadi pengen bikin ceritanya dia lagi. Ah ... sudahlah.

So, eike nepatin janji, ya. Diana-Tyo manggung pagi-pagi. Jangan lupa vote dan komen.

Cekidot.

BAGIAN EMPAT PULUH SATU: RENCANA UTOMO

Diana mematikan komputer setelah memastikan semua pekerjaannya tersimpan, sekaligus siap untuk dirilis besok pagi. Surel sudah terkirim dan dikonfirmasi oleh kepala editornya, tinggal dua wawancara, dan salah satunya harus dilakukan malam ini, sendirian. Utomo menyatakan penolakan untuk diambil gambarnya, dan hanya mengizinkan wawancara dengan mengutip keterangannya saja. Salah satu sisa kekuasaan lama itu juga meminta draf wawancara sebelum secara langsung bertemu dengan Diana. Itu menambah kecurigaan kalau pria itu memang terlibat atau malah aktor utama di balik segala kegiatan penyuapan dalam rangka pelolosan RUU tertentu.

Tentu saja itu membuat Diana nyaris kehilangan objektivitasnya. Sebagai jurnalis, tidak seharusnya dia berprasangka. Tetapi, karena sikap calon nara sumbernya mencurigakan seperti ini, sangat normal kalau dia sudah menjatuhkan penilaian lebih dulu bahkan sebelum bertemu. Meski sangsi kalau dia akan sanggup bersikap netral, dia harus tetap melakukan pekerjaannya secara profesional.

“Berangkat sekarang, Di?” tanya Bejo yang sedang menyiapkan kameranya untuk sesi wawancara di studio.

Diana mengangguk. “Titip cek ulang ke Mas Gatot, soal email yang gue tadi kirim, ya? Tadi sih udah confirmed,” pintanya.

“Oke. Hati-hati, Di. Lo yakin bisa nyetir?” Bejo masih terlihat khawatir. Mengingat bagaimana Diana bisa begitu terpukul setelah mewawancarai Bram tadi siang, Bejo memang khawatir kalau wartawati itu masih belum sepenuhnya pulih dari pukulan mental yang dihadapinya.

Diana tersenyum sambil menunjukkan jempolnya. “Lo tahu gue, kan?” sahutnya. Dia mencangklong tasnya dan melambai sebelum kemudian keluar dari ruangan itu.

Tempat dia membuat janji temu dengan Utomo adalah sebuah rumah besar di daerah elit yang tidak terlalu jauh dari kantor. Diana tahu betul rumah yang terkenal itu, sebuah bangunan yang sering dipakai untuk pertemuan para petinggi partai besutan pangeran penguasa lama tersebut. Sepertinya, hanya Bramantyo satu-satunya tokoh besar yang mengundang siapa saja untuk bertemu di kediamannya, seolah-olah menunjukkan kalau dia tidak memiliki ketakutan terhadap apa pun. Seperti mendeklarasikan kepada publik, dirinya adalah tokoh yang tidak memiliki rahasia yang harus disembunyikan, dan pastinya, bisa dipercaya. Kalau mengingat apa yang terjadi tadi siang, Diana tidak heran kalau pria veteran itu bisa begitu percaya diri. Bagaimana tidak? Bahkan dirinya yang sering dianggap kritis pun, jatuh dalam jebakan pesona sang politisi paling berpengaruh.

Tempat parkir terlihat lengang, beberapa kendaraan memang sudah meninggalkan gedung karena ini jam bubar kantor. Saat akan membuka pintu mobil, Diana tertegun. Ada sedikit sayatan di karet jendela mobil, dan ketika diperiksa, dia pun mendengkus jengkel. Ada seseorang yang sudah membuka paksa pintu mobilnya, dan jelas, orang itu pro.

Cepat, dia memeriksa ke dalam mobil, memastikan tidak ada keanehan atau sesuatu yang tak semestinya. Ketika itulah dia sadar, ada yang hilang dari dalam mobilnya. Tas belanja yang tadi dibawanya dari bank.

Keras, dia mengembuskan napas. Diraihnya ponsel dan dihubunginya Bejo. Saat panggilan tersambung, instruksinya meluncur cepat. “Jo, gue butuh bantuan. Tolong minta Pak Satpam untuk kasih lihat rekaman CCTV sekitar jam kita balik dari tempat Pak Bram sampek jam sekarang. Lo kasih tahu nanti muka orang yang ngebobol mobil gue.”

Diana, Sang Pemburu BadaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang