Met Rabu pagi!
Tengah minggu tapi masih semangat, kan? Biar tetep on, yuks barengan Diana-Tyo dimari.Cuss.
BAGIAN ENAM PULUH: MEMANCING DI AIR KERUH
“Pak Herman Bulaeng minta bertemu lebih cepat, Pak.”
Bram menoleh dan menatap Tina dengan alis berkerut. “Pak Herman Bulaeng?”
Tina mengangguk. “Apakah saya boleh menjadwalkan siang ini jam sebelas?”
Bram tercenung sejenak. “Setelah sarapan, ada jadwal apa?”
“Bapak harus ketemu lima orang anggota dewan yang kita lobi untuk meloloskan UU pertambangan baru.”
“Tunda sebentar. Saya akan menemui Pak Herman dulu.”
“Baik, Pak.”
Sigap, Tina melakukan tugasnya, dan tak berapa lama, sosok konglomerat paling berpengaruh dari wilayah Timur Indonesia, Herman Bulaeng, sudah berdiri dengan sikap tak sabar di ruang tamu kediaman Bram. Hampir Bram tersenyum geli melihat sikap tubuh pria berkumis itu. Namun, luwes dia menyapa dan mempersilakan Herman duduk, tapi sesuai dugaan, pria itu langsung mengatakan maksud kedatangan.
“Pak Bram, saya ingin Anda membantu saya dan putra saya untuk tidak terlibat dalam urusan apa pun yang sedang direncanakan Pak Utomo. Tapi, saya ingin memastikan dulu, apakah Anda terlibat di dalamnya? Karena saya sangat berharap Anda netral.”
Bram termangu. “Terlibat apa?”
*******
“Bukankah tindakan Pak Utomo kelewatan, Tina?” tanya Bram sambil membaca dokumen yang diberikan Tina dalam perjalanan menuju rapat. “Dia tidak menunjukkan rasa hormat pada keluarga Bulaeng yang sudah menjadi sekutunya selama bertahun-tahun.”
Tina mengangguk. “Iya, Pak.”
“Tapi, meskipun idenya menjijikan, saya rasa itu bisa efektif juga. Dengan merusak nama baik Bu Diana, apa pun yang ditulisnya nanti tidak akan dipercaya oleh publik. Dan itu juga akan berefek pada media yang menaunginya. Satu langkah kotor seperti itu, menyingkirkan dua musuh potensial sekaligus. Bu Diana dan Pak Hadi.”
Tina mengerutkan kening, tak menjawab. Bram tersenyum dan mengangkat wajah lalu menatap asistennya. “Kamu tidak setuju?”
“Tidak, Pak. Langkah Pak Utomo tidak akan mungkin berhasil di era sekarang. Terlalu banyak risikonya, dan jelas, keluarga Bulaeng akan sangat dirugikan. Keterlaluan kalau dia berharap mereka maklum dan mau membantu.”
Bram mengangguk setuju. “Benar juga. Jadi bagaimana menurutmu? Perlukah saya membantu keluarga Bulaeng? Atau biarkan saja mereka bertengkar dan kita ambil keuntungan dari itu?” tanyanya menguji.
Tina menimbang “Membuat keluarga konglomerat sebesar Bulaeng berutang budi akan sangat menguntungkan Bapak di masa depan nanti. Bapak tidak perlu menyerang Pak Utomo kalau ingin membela Bulaeng, cukup memberi masukan agar Pak Utomo menyadari kalau langkahnya menimbulkan perpecahan dalam kongsi mereka. Akan lebih baik baginya kalau tidak mencari gara-gara dulu saat ini karena dia akan dirugikan seandainya segala sesuatu tidak berjalan sesuai rencana. Apalagi, saat ini Bu Diana bahkan belum diketahui keberadaannya.”
“Ide yang bagus. Apakah meminta keluarga Bulaeng memberikan imbalan secara langsung kalau kita menengahi mereka adalah tindakan yang pantas dilakukan, Tina?”
Tina mengangguk. “Sangat pantas, apalagi, Bapak berniat memajukan Pak Roberto saat pemilu nanti. Berapa kali lipat pun Bapak meminta dana kampanye nanti, saya yakin Pak Herman akan dengan senang hati melakukannya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Diana, Sang Pemburu Badai
ActionTamat. Ayahnya terbunuh, dia sendiri mengalami kekerasan serta harus kehilangan tunangan. Namun, Diana tak mau menyerah kalah. Dia meneruskan jejak sang ayah menjadi seorang jurnalis, tak peduli risiko pekerjaannya begitu besar. Saat menginvestigasi...