Met pagi!
Enjoy.
******
BAGIAN TUJUH: PRIA DARI JAUH
Diana hampir tak mengenali pria yang sedang duduk menunggu sambil menikmati semangkuk bakso tanpa memedulikan lalat yang beterbangan mengelilinginya. Tyo duduk dengan kaki terangkat satu di bangku warung tenda pinggir jalan dekat stasiun Cawang-wilayah yang berbatasan dengan pemukiman dan cukup ramai-jelas, sengaja memilih tempat itu untuk menghindari sesuatu. Pakaiannya lusuh, berewok lebat menghiasi rahang kokohnya, rambutnya gimbal tak terurus, dan kulitnya yang sekarang terlihat gelap, tampak kering dan kusam, menunjukkan penderitaan meski tak terucap secara verbal. Diana langsung merasa ngenes, ke mana petugas yang tadinya gagah dan tampan itu? Begitu beratkah kehidupan di mana dia ditempatkan? Menimbang sejenak, ia menoleh kepada Bejo sambil tersenyum.
"Gue ketemu dia sendirian dulu, ya? Lo tunggu di sini dulu," pintanya.
Bejo terlihat sangsi melihat betapa seram pria yang akan ditemui rekannya itu, tapi ia mengangguk tanpa bantahan. Dia terbiasa dengan profesionalitas Diana, dan terlatih untuk percaya kepadanya. Sambil menghela napas berat, Diana pun turun dari mobil dan menghampiri pria yang lebih mirip gelandangan ketimbang petugas polisi itu.
"Mas Tyo?" sapanya.
Pria lusuh itu mengangkat kepalanya, dan tatapannya berserobok dengan Diana yang langsung teringat pada kejadian delapan tahun lalu. Tidak salah, ini memang Tyo. Meski dalam penampilan yang jauh berbeda, tatapan mata itu masih sama. Hangat dan cerdas.
"Mbak Diana," balas Tyo sambil tersenyum. "Maaf mengajak bertemu di sini. Sudah makan?"
Diana mengangguk. "Sudah. Sebelum ke sini."
Tyo mengangguk, dia menunjuk bangku di depannya. "Silakan duduk, mau pesan sesuatu? Kalau enggak mau makan, mungkin minuman?"
Diana menggeleng. "Enggak usah, Mas, nanti aja kalau kepingin. Mas Tyo makan saja. Kita bicara setelah Mas selesai," katanya sambil berusaha tersenyum. Astaga ... lihat tangan kurus dengan jari-jari seperti tengkorak itu. Apakah mereka membuat Tyo jadi sangat kelaparan? Siapa pun itu yang menugaskannya ke tempat yang jauh?
Tyo ikut tersenyum, tapi kemudian, matanya yang tajam melihat ada yang tidak beres pada ekspresi Diana. Gadis itu seperti ingin menangis. "Uhm ... Mbak Diana ... baik-baik saja?" tanyanya, khawatir.
Diana melebarkan matanya. "Ha? Ya, saya baik. Mas?" Tiba-tiba saja air mata mengalir di pipinya, membuat Tyo tertegun. Malu sendiri, Diana buru-buru menghapusnya dengan punggung tangan. "Sialan, cengeng banget gue," gerutunya, lirih. "Maaf, Mas."
Beberapa saat hening. Tyo memandangi Diana dengan serba salah, tapi kemudian dia memberanikan diri bicara. "Mbak Diana sedang sedih? Ada masalah? Ingin ditunda saja pertemuannya?"
Diana yang masih sibuk menenangkan dirinya, mengangkat wajah dan menggeleng cepat. "Saya enggak pa-pa, kok. Mas Tyo yang harusnya saya tanya. Baik-baik ajakah? Kenapa sampai kurus begini? Apa segitu susahnya di Sulawesi sana? Kenapa ... mereka bikin Mas sampek kurus begini? Apa Mas enggak bisa makan di sana?" cerocosnya sambil terisak.
Hening sejenak. Tyo melongo, lalu tawa terlempar bebas dari bibirnya. Membuat wajahnya yang semula terkesan sangar dan galak, berubah menjadi hangat dan ... tampan?
*****
Diana mengerucutkan bibirnya, wajahnya merah padam karena malu, dan dia melirik ke arah Tyo yang masih senyum-senyum sendiri. Ya ampun, biarpun sudah kacau balau begitu tampangnya, tetap saja dia terlihat tampan saat tersenyum.
Diana buru-buru menggeleng, menepiskan pikirannya. Astaga ... ada apa dengan matanya? Bagaimana mungkin tampang mirip gembel begitu dia bilang tampan?
"Saya minta maaf, ya, Mbak? Harusnya saya mandi dulu sebelum ketemu Mbak supaya Mbak enggak salah paham begini," kata Tyo dengan nada geli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diana, Sang Pemburu Badai
ActionTamat. Ayahnya terbunuh, dia sendiri mengalami kekerasan serta harus kehilangan tunangan. Namun, Diana tak mau menyerah kalah. Dia meneruskan jejak sang ayah menjadi seorang jurnalis, tak peduli risiko pekerjaannya begitu besar. Saat menginvestigasi...