34. Mertua Berto

2K 506 32
                                    

Met malem epriwan!

Mon maap, lagi-lagi kemaren eike bablas gak sempet apdet. Maap banget.

So, Diana indehaus siap menghibur kelean dengan kegenitannya.

Sebelum itu, eike tanya dulu. Udah denger podcast Dear Precious Me episode 12, Versi Diriku Yang Lebih Baik di Spotify belum? Ada giveaway yang pertanyaannya akan disampaikan di situ loh. Hadiahnya masing-masing 250 koin Wattpad untuk dua orang. Rugi, lah, kalo enggak ikutan. Suer!

Now, enjoy.

BAGIAN TIGA PULUH EMPAT: MERTUA BERTO

Rachmat Wijaya adalah pria simpatik dengan tatapan hangat dan bibir selalu merekahkan senyum. Ekspresinya tetap kebapakan, meski Diana mengajukan banyak pertanyaan yang bisa dibilang menyudutkan. Jelas pria ini adalah orang yang sangat terkendali dan layak menjadi salah satu dari orang terkaya di Indonesia. Tanpa bantuan asisten ataupun ahli dari perusahaannya, dia memberikan penjelasan yang masuk akal berdasarkan data dan juga angka yang tertera dalam analisis keuntungan perusahaan, dengan atau tanpa adanya revisi dalam UU pertambangan. Menjawab dengan tepat setiap pertanyaan Diana yang terkadang sedikit menjebak, tampak mudah baginya.

Mau tak mau, Diana harus mengakui, pria gaek ini hebat.

"Jadi, kesimpulannya, perusahaan Bapak tidak berkepentingan sampai harus melakukan suap seksual, begitu?" Diana mengajukan pertanyaan pamungkas sambil menutup catatannya.

Rachmat menggeleng. "Ya. Tidak ada keuntungan apa pun yang kami peroleh dengan melakukan hal yang melanggar hukum seperti yang dituduhkan oleh siapa pun yang menjadi narasumber Ibu Diana," jawabnya, tenang.

Diana tersenyum. "Nara sumber saya tidak menuduh siapa pun, Pak. Dia hanya memberi tahu apa yang terjadi di gedung dewan, dan menyediakan bukti yang mendukung. Netizenlah yang membuat opini ataupun tuduhan itu."

Rachmat mengangguk-angguk. "Ah, ya, benar juga. Siapa pun nara sumber Anda itu bukan menuduh, tapi publiklah yang membentuk opini mereka sendiri, kebetulan, opini itu merugikan kami," komentarnya. "Dan ... media Andalah yang memuat artikel itu sehingga memancing opini itu terbentuk."

Diana melebarkan senyumnya. Meski ekspresi Rachmat tetap tenang dan ramah, akhirnya pria ini tidak bisa menyembunyikan fakta kalau dia terganggu dengan adanya artikel ataupun opini masyarakat.

"Itu sebabnya kami meminta wawancara ini, Pak, agar kami bisa memberikan hak jawab bagi subjek yang merasa disudutkan oleh komentar pada artikel. Sebagai bagian dari pers, itu adalah kewajiban kami, membuat berita yang berimbang," katanya diplomatis.

Rachmat terkekeh. Merasa kagum pada keberanian sekaligus keluwesan wartawati di depannya. "Anda betul sekali."

Diana menimbang sejenak, dan menatap Rachmat. "Uhm ... ini pertanyaan pribadi, off the record. Bukan hanya bapak yang disudutkan saat fakta soal paket proposal ini dibuka, tetapi juga ada beberapa pengusaha lain dengan bidang sejenis. Menurut Bapak secara pribadi, kenapa hanya tiga nama, termasuk Bapak, padahal ada puluhan pengusaha yang bergerak di bidang tambang?"

Rachmat menatap balik Diana dengan sorot tak terbaca. "Saya sendiri tidak tahu kenapa, adalah tugas Anda sebagai jurnalis menemukan jawabannya. Bukan kapasitas saya untuk berspekulasi."

Diana tercenung sejenak. Sebetulnya sejak tadi dia menahan diri untuk tidak menampilkan gejolak emosi yang dirasakan. Bagaimanapun, pria di hadapannya kemungkinan berkaitan dengan kematian ayahnya delapan tahun lalu. Banyak pertanyaan berjejalan di benaknya, tetapi, dia tidak yakin akan mendapatkan jawaban hanya dengan menanyakannya langsung. Mana mungkin pria itu bersedia menjawab pertanyaan yang tidak berkaitan dengan isu yang sedang dibahas saat ini, kan? Apalagi kalau pertanyaan tersebut menyerangnya secara pribadi.

Diana, Sang Pemburu BadaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang