11. Deposit Box

2.8K 693 36
                                    

Pagi!

Now, enjoy.

BAGIAN SEBELAS: DEPOSIT BOX

Kenapa jadi begini? Benarkah Saskia bunuh diri? Diana menutup teleponnya dan kembali menyusut air mata. Dia berhasil menelusuri keluarga Saskia dan akhirnya bisa menghubungi mereka untuk menjemput jenazah sang putri yang katanya bunuh diri. Kenangan melintas kejam, kejadian delapan tahun lalu kembali dalam ingatannya. Apa yang dirasakan oleh keluarga Saskia pasti sama dengan apa yang dia dan ibunya rasakan waktu itu.

"Gue enggak nyangka seserius ini, Di," komentar Bejo. Wajahnya pucat, dan Diana tahu kalau kamerawannya itu sudah muntah entah berapa kali sejak mengidentifikasi jasad Saskia.

Diana mengangguk. "Menurut lo, dia beneran bundir, atau disingkirin? Kalo bundir, kenapa? Kalo disingkirin ... kok gue bingung, kenapa Saskia sedarurat itu untuk disingkirin?" Dia menggaruk kepalanya, bingung. "Dan ... kok bisa cepet banget mereka nyingkirin dia? Tahu dari mana mereka, dia ketemu kita?"

Bejo tercenung. "Di ... kalau menurut gue, dia beneran bundir, deh," terkanya. "Kayak kata lo, kecepetan banget dia ketahuan kalau seandainya memang ketahuan."

Diana ikut tercenung. "Gitu menurut lo?"

"Ya ... lo lihat sendiri dia kayak orang rada stres gitu pas cerita sama kita soal kerjaannya. Apa mungkin, sebetulnya dia cuma butuh tempat curhat sebelum kemudian ...."

"Mengakhiri hidupnya?"

Bejo mengangguk. "Lo bayangin, deh. Anak seumuran dia, kerja kayak gitu, apa bisa waras? Maksud gue, dia bukan dieksploitasi, tapi milih untuk jalanin itu dengan sadar. Bisa aja, dia merasa bersalah atau gimana setiap harinya, kan? Mungkin dia sampek di titik enggak sanggup lagi."

Diana tercenung. "Apa mungkin, dengan kita kasih kesempatan untuk cerita, dia akhirnya berani mutusin untuk bundir? Karena lebih berani?"

Bejo mengangkat bahu. "Enggak tahu. Tapi lebih baik kita enggak duga-duga sendiri."

Diana menghela napas. "Bener. Mendingan kita serahin ke ahlinya aja. Begitu keluarganya datang, semoga mereka minta otopsi."

*******

Diana melangkah gontai memasuki rumahnya. Dia kecewa berat. Ternyata keluarga Saskia tidak bersedia putri mereka diotopsi dan memilih langsung membawanya ke kampung halaman malam itu juga. Meski itu berarti kebuntuan pada kasus kematian Saskia, Diana tahu kalau keluarga yang sedang berduka itu punya alasan kuat. Kematian Saskia saja sudah merupakan pukulan, otopsi hanya akan menambah berat beban mereka.

"Bu, belum pulang?" Diana mengetuk pintu kamar ibunya. Tidak ada jawaban. Sepertinya beliau belum pulang mengajar.

Keras, dia mengembuskan napas dan melangkah ke dapur. Dilihatnya dapur dalam keadaan berantakan, piring-piring dan alat masak kotor sisa sarapan tadi pagi masih tergeletak di wastafel. Seharusnya dia dan ibunya menyewa asisten rumah tangga lagi karena sering kali mereka berdua tidak sempat melakukan pekerjaan rumah. Namun, sejak kejadian delapan tahun lalu, menyewa asisten rumah tangga bukan pilihan bijak. Mereka tidak ingin ada orang lain yang mengalami kengerian seperti saat itu, terlebih karena sekarang Diana meneruskan jejak ayahnya, menjalani karier yang penuh risiko.

Diletakkannya ransel di meja dapur, dan mulai berberes. Dia harus membuat dirinya sibuk agar bisa melupakan semua kejadian hari ini. Selang beberapa saat, ketika rumah sudah sepenuhnya rapi, dia pun duduk sambil menikmati secangkir cokelat hangat. Diraihnya amplop-amplop bank yang tadi ditemukannya di meja depan, lalu mulai ditelitinya satu demi satu. Dia tertawa kecil. Ternyata banyak juga tagihan kartu kredit ibunya. Tak apalah, setidaknya itu bisa sedikit menceriakan sang ibu yang dia tahu membutuhkan banyak hal kecil seperti ini untuk sekadar menjaga diri tetap waras.

Diana, Sang Pemburu BadaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang