Met malem epribadeh!
Winny yang mulai rajin apdet main di sindang, yuks, ikutin petualangan Mbak Diana dan Mas Tyo si preman alim.
Sebelumnya, promo dikit ya. Hari ini episode 5 Dear Precious Me dengan judul Mati Rasa udah tayang di Spotify, mau dengerin sharing eike?
Now, enjoy.
BAGIAN SEMBILAN BELAS: TYO YANG BERDEDIKASI
"Mas Tyo?" Spontan, Diana menghentikan gerakan tangannya yang hampir mengayunkan tongkat bisbol.
Tyo sampai terlonjak mundur saking kagetnya. "Mbak Diana?"
Diana melongo. "Mas Tyo ngapain?"
Tyo berdeham. "Uhm ... saya ... sedang mengawasi lingkungan Mbak Diana."
Diana mengembuskan napas keras, lega luar biasa karena orang yang dicurigai ternyata bukan penguntit. Tangan yang memegang tongkat bisbol pun turun, dan dia memandangi Tyo dengan heran. "Habis nyetirin saya, Mas Tyo enggak balik?" tanyanya.
Tyo menggeleng. "Saya merasa perlu memastikan kalau Mbak Diana dan Ibu dalam kondisi aman. Setelah kejadian tadi, tidak ada salahnya berjaga-jaga."
Diana mengusap tengkuknya. Merinding karena totalitas Tyo menjaganya. Hatinya diliputi oleh kehangatan, bercampur perasaan tak tega. "Tapi ... ini udah lewat tengah malem, lho. Udaranya dingin begini, bisa-bisa Mas kena pneumonia nanti," katanya.
"Saya sudah biasa dengan udara dingin. Tidak apa-apa." Tyo menjawab dengan penuh keyakinan.
Senyum terbit di bibir Diana. "Tapi, kalau ada yang lihat Mas Tyo di sini, bisa dikira maling nanti."
"Itu dia." Tyo menatap Diana, ekspresinya terlihat syok. "Bagaimana Mbak tahu saya ada di sini? Saya belum pernah ketahuan sebelumnya. Padahal, sudah seminggu saya mengawasi di sini, berharap bisa menangkap penguntit Mbak Diana, dan tidak ada yang pernah memergoki saya, termasuk hansip. Justru Mbak Diana yang ...." Dia kehilangan kata.
Diana cengengesan. "Tadi saya lagi diri dekat jendela, kebetulan lagi lihat-lihat luar dan ... uhm, enggak sengaja mata saya nangkep semacam gerakan gitu, makanya curiga," jelasnya.
Tyo melongo. "Mbak lihat gerakan dan langsung memeriksa? Itu berbahaya. Bagaimana kalau ini bukan saya, tapi orang jahat yang memang berniat mencelakai Mbak?" Spontan, dia langsung mengomel.
Diana tersurut. Waduh, ini cowok ... kok langsung ngegas?
"Saya kan bawa senjata, Mas. Ini?" Sambil nyengir dia menunjukkan tongkat bisbolnya.
Tyo mendengkus kasar. "Itu tidak cukup. Seandainya orang jahat itu memang berniat melakukan sesuatu yang buruk, bagaimana kalau Mbak Diana kenapa-napa? Apa Mbak enggak memikirkan perasaan ibu Mbak? Perasaan saya?" tukasnya.
Hening. Tyo tersadar akan kejanggalan dalam ucapannya dan langsung menelan ludah, gugup. Dia terbatuk kecil, berdiri bingung, tak tahu harus bagaimana. Di depannya, Diana menggaruk leher, lalu nyengir lucu.
"Uhm ... memangnya perasaan Mas Tyo kenapa?" tanyanya, iseng.
Batuk Tyo makin keras. "Anu ... itu ...."
"Mas punya perasaan sama saya, ya? Suka? Takut kehilangan kalau saya kenapa-napa?"
Kali ini tak tertolong, Tyo terbatuk demikian keras sampai wajahnya pun terlihat merah padam meski hanya diterangi lampu jalan. Diana tertawa geli, lalu meraih tangan Tyo dan menggandengnya masuk ke rumah.
"Ngomong di dalam aja yuk, Mas. Daripada ketangkep sama hansip," ajaknya.
Tyo tidak bisa menjawab. Dia mengikuti saja saat gadis cantik itu menyeretnya masuk ke rumah dan menghelanya untuk duduk di sofa ruang tamu. Diana menaruh tongkat bisbol di dekat pintu dan menjenguk sebentar ke kamar ibunya. Kemudian, dia menghilang sebentar di balik pintu dapur dan kembali dengan secangkir teh hangat. Dia meletakkan cangkir itu di meja sambil menempelkan telunjuknya di bibir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diana, Sang Pemburu Badai
ActionTamat. Ayahnya terbunuh, dia sendiri mengalami kekerasan serta harus kehilangan tunangan. Namun, Diana tak mau menyerah kalah. Dia meneruskan jejak sang ayah menjadi seorang jurnalis, tak peduli risiko pekerjaannya begitu besar. Saat menginvestigasi...