53. Selamat

1.6K 474 46
                                    

Met Senin pagi!

Semangat di minggu yang baru, ya. Diana-Tyo siap nemenin kalian, dan buat yang butuh motivasi dan pengen dengerin suara seksi eike, cuss meluncur ke Spotify, podcast Winnyraca. Susah nyarinya? Klik aja icon ijo di bagian kanan bawah cerita ini. Yups ... hanya beberapa penulis yang punya icon itu di ceritanya. Eaaaa.

Cekidot.
BAGIAN LIMA PULUH TIGA: SELAMAT

Bram mengerutkan kening dan berpikir untuk beberapa waktu. Ekspresinya keruh, saking marahnya, bahkan kulit wajahnya pun menghitam. Dia tidak habis pikir, bagaimana semua hal bisa kacau, tepat di saat dia sedang menyiapkan sesuatu yang begitu besar untuk tiga periode pemilihan presiden ke depan?

“Tina, sudah ada laporan dari Ferdy?” tanyanya kepada Tina yang sedang bicara dengan pemilik rumah abu tempat mayat dikremasi.

Tina menutup telepon. “Ferdy sedang dalam perjalanan ke sini, Pak, tapi ada laporan singkat kalau tiga laki-laki tewas, dan Bu Marini dibebaskan oleh putrinya serta seorang petugas polisi,” jawabnya.

Kerut di kening Bram makin dalam. “Petugas polisi?”

Tina mengangguk.

“Bagaimana bisa, ada petugas polisi yang terlibat?”

“Saya belum mendapatkan laporan lengkapnya, Pak.”

Bram berdecak. “Bagaimana Musri?”

“Almarhum sudah masuk perapian, dan pemilik rumah abu akan membuang abunya di laut nanti.”

“Jejaknya?”

“Saya sudah menyiapkan beberapa berkas dokumen kepergian beliau ke luar negeri. Terakhir, asistennya bilang kalau Pak Musri memang berencana pergi seandainya ada indikasi KPK menemukan bukti soal proyek wisma atlet dan dana yang kemungkinan dia korupsi.”

Bram mendengkus. “Dasar koruptor!” makinya pelan. “Baiklah. Buat seolah-olah dia meninggalkan negara ini selama-lamanya.”

“Baik, Pak.”

“Bagaimana dengan Gubernur Eddy? Kamu sudah berikan peringatan?”

“Sudah. Saya sampaikan kalau Bapak tidak akan mentolerir tindakan tanpa laporan lebih dulu.”

“Peringatan apa yang kamu berikan?”

“Gigi depan Pak Musri.”

Bram mengerutkan kening. “Kenapa?”

“Pak Musri dan Pak Gubernur memasang gigi palsu di dokter yang sama, pada hari yang sama juga. Mereka janjian, sebelum Pak Musri berhenti jadi asisten Bapak.”

Bram mengangkat alis, terkesan. Dia menggeleng sambil terkekeh. “Tidak salah saya menggantikan Musri dengan kamu, Tina. Jelas, level kamu jauh di atasnya,” pujinya, tulus.

Tina mengangguk tanpa sedikit pun perubahan di ekspresinya. “Terima kasih untuk pujiannya, Pak.”

“Tidak perlu berterima kasih. Itu adalah hal yang sebenarnya. Tapi….”

Tina menatap Bram, lekat. Sadar kalau sang atasan menggunakan nada yang berbeda, jauh lebih dingin saat menyambung kalimatnya.

“Kalau keputusan kamu menolong Bu Marini dan juga putrinya membuat masalah menjadi lebih besar, saya tidak akan segan memastikan kamu mengalami nasib seperti Musri. Mengerti?”

Beberapa saat Tina tertegun, ternyata dia ketahuan. Namun, ekspresinya masih tetap tenang dan datar. “Mengerti. Maaf karena saya tidak bisa sepaham dengan Bapak dalam satu hal itu.”

Bram mengangguk. “Saya tidak bisa memaafkan ketidakpatuhan kamu, tapi saya memahami kenapa kamu tidak patuh. Semoga saja keputusan kamu lebih benar dari saya.”

Diana, Sang Pemburu BadaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang