42. Delapan Tahun Lalu

1.6K 411 39
                                    

Yuhuuuu!

Met malem epribadeh, maapkeun eike yang hampir lupa apdet hari ini. Elah, eike kan minta diingetin, dibilang faktor U.

Yo weslah, cuss.

BAGIAN EMPAT PULUH DUA: DELAPAN TAHUN LALU

Bunyi ketukan konstan di kaca jendela membuat Bram menoleh dan mengerutkan kening. Dia baru sadar kalau malam ini turun hujan.

“Tina, apa di luar hujan?” tanyanya pada sang asisten yang sedang membuka satu buah map yang diambilnya dari banyak tumpukan di meja.

Tina mengangguk. “Iya, Pak. Sejak sekitar setengah jam lalu,” jawabnya.

Bram tercenung. Dia melangkah ke meja bar kecil di ruang kerjanya, memeriksa pemanas air yang mengepulkan uap melalui corongnya, lalu membuat dua mug besar teh panas. Satu mug hanya diberinya sesendok kecil gula, sedangkan satu mug lagi diberinya banyak susu kental manis. Dengan gerakan  teratur dan penuh kesungguhan seperti biasanya saat mengerjakan apa pun, dia mengaduk cairan teh dalam kedua mug. Dibawanya kedua mug ke meja Tina, dan diberikannya mug berisi teh dengan susu kepada sang asisten yang menerimanya sambil mengucapkan terima kasih tanpa canggung. Seolah-olah Bram sudah terbiasa melakukan hal itu, melayani asistennya sendiri.

“Tina, kamu ingat waktu awal kamu bekerja untuk saya?” tanya Bram. “Kapan itu, sembilan tahun lalu?”

Tina mengangguk. “Ingat, Pak,” jawabnya.

Bram mengangguk. “Kamu ingat Pak Aryo Seto, wartawan senior yang kalau bicara agak sedikit ketus?”

“Samar, tapi ingat.”

“Samar? Berarti kalau saya tanya kamu pendapat pribadi tentang beliau, hasilnya akan sia-sia, ya? Bagaimana mungkin kamu bisa menilai orang yang tidak terlalu kamu ingat, bukan?”

“Tapi saya bisa menarik kesimpulan dari apa yang saya lihat melalui pengamatan menyeluruh terhadap sikap kolega dan juga keluarganya saat kita melayat ke rumah duka, Pak.”

Bram termangu. “Ah, waktu itu kamu ikut, ya?”

Tina mengangguk.

Bram mengembuskan napas keras. “Kalau begitu, katakan.”

Tina menaruh map yang sedang ditelitinya, dan menatap atasannya dengan fokus. “Kalau melihat rasa kehilangan yang besar dari keluarga dan juga orang-orang terdekatnya, kemungkinan besar beliau adalah kepala keluarga dan juga ayah yang baik. Menilai sikap beberapa pelayat dari kantor siaran tempatnya bekerja dan juga kolega, bagaimana mereka terlihat segan tapi juga tidak percaya dengan rumor yang tersebar dan sengaja dibisikkan beberapa orang Pak Utomo, jelas beliau adalah orang yang selalu dikenal idealis. Sehingga, rumor itu tidak langsung dipercaya, tapi begitu mengendap, membuat respek dan rasa segan kebanyakan orang berubah jadi kebencian dan kekecewaan. Kalau biasanya beliau tidak dikenal sebaik itu, tidak mungkin efek yang ditinggalkan juga masif. Semakin baik seseorang akan semakin rusak namanya saat sebuah keraguan tentang kebaikannya diembuskan,” katanya panjang lebar.

“Apa kamu ingin mengatakan kalau kematian Pak Aryo Seto lebih banyak menimbulkan kerugian bagi negara kita dibanding keuntungan?”

Tina mengangkat dagu dan menjawab yakin. “Saya rasa, terkadang mengorbankan seseorang dalam menjaga persatuan negara adalah sebuah pilihan tak terhindarkan. Tapi, kematian Pak Aryo Seto jelas adalah sebuah kerugian, karena beliau justru adalah aset yang sangat berharga bagi negara dibanding banyak orang dalam koalisi Bapak.”

Bram tertegun. Dia menghela napas, ekspresinya keruh dan jelas perkataan Tina memengaruhinya sedemikian rupa. “Kalau begitu, Tina, kamu mengerti kenapa saya begitu berhasrat ingin menggandeng Pak Benjamin Mangkudilaga, bukan?”

Diana, Sang Pemburu BadaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang